Langsung saja ya. Biaya untuk konservasi warisan budaya itu tidak sedikit. Tapi berapa jumlah kontribusi warisan budaya yang menjadi obyek wisata untuk devisa negara? Ada yang tahu? Lalu bagaimana dan seberapa besar warisan budaya itu dapat memperoleh pendanaan untuk pelestarian atau konservasinya.Â
Kita bisa hitung dan cek, berapa rupiah yang dikeluarkan negara untuk merawat Candi Borobudur? Dan berapa rupiah hasil yang diperoleh dari 'menjual' wisata Candi Borobudur? Setelah itu bandingkan saja, lebih banyak mana pemasukan dengan pengeluaran.Â
Soal inilah yang ingin saya bahas dalam ulasan yang saya tayangkan di Kompasiana ini. Supaya kita tahu, bagaimana perhitungan untung rugi kalkulasi pembangunan obyek wisata warisan budaya? Kenapa rasa-rasanya perhatian pemerintah soal pengembangan obyek wisata budaya, seperti kurang terus. Apa sebab?
Bicara perhitungan ekonomi sumber daya budaya, rasanya memang masih jarang untuk tidak mengatakan belum ada. Berbeda halnya soal sumber daya alam.Â
Kita bisa bandingkan soal itu. Selalu ada kalkulasi soal untung rugi pembiayaan konservasi sumber daya alam. Penilaian atau valuasi ekonomi sumber daya alam, sudah atau selalu dipertimbangkan.Â
Kita lihat saja hitung-hitungan pemerintah atau publik soal Kawasan Cagar Alam, Hutan Lindung ataupun Kawasan Taman Nasional. Banyak pihak memperhitungkan, berapa perhitungan ekonomi yang dihasilkan dengan adanya cagar alam atau hutan lindung. Cek saja data dan referensinya, pasti sahabat pembaca bisa menemukannya.Â
Bagaimana dengan sumber daya arkeologi yang ditetapkan sebagai cagar budaya dan warisan budaya? apakah selama ini sudah ada yang menghitung berapa rupiah yang dihasilkan oleh museum setiap bulan dan setiap tahunnya, dibandingkan berapa rupiah yang harus dikeluarkan negara untuk perawatan koleksi-koleksi museum?Â
Apakah ada di Indonesia, pihak-pihak yang memikirkan bagaimana sumber daya budaya, warisan budaya itu dapat membiayai sendiri kebutuhan konservasinya? Semua masih tergantung anggaran negara yang sangat terbatas dan berdasarkan skala prioritas.Â
Kita tengok saja misalnya, apakah setiap orang harus membayar untuk dapat melihat Masjid Kuno Demak? Masjid Kuno Kudus atau Gereja Blenduk di Semarang, Benteng Rotterdam di Makassar, Benteng Vrederburg di Yogyakarta? Apakah setiap orang harus membayar untuk melihat semua obyek itu?Â
Sepertinya tidak khan? Lalu coba kita perkirakan berapa banyak setiap tahun anggaran pemerintah untuk mempertahankan keberadaannya. Berapa banyak anggaran pemerintah untuk melestarikannya.Â
Itu baru contoh bangunan-bangunan warisan budaya yang populer, yang kita semua tahu keberadaannya dan bagaimana program pemerintah dalam penanganan dan pengelolaannya.Â