Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengungkap Perjumpaan Budaya Tionghoa Pada Karya Arsitektur Nusantara

12 Februari 2021   21:56 Diperbarui: 15 Februari 2021   22:03 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Simbol buah nanas, pada masjid kuno di Desa Kaitetu, Maluku Tengah. Sumber: Balar Maluku

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa masjid kuno di Maluku, pada umumnya juga memiliki kesamaan dengan masjid Kuno di Jawa, terutama dalam arsitektur atap, yakni atap tumpang atau susun, yang merupakan pengaruh Hindu-Jawa. 

Tentang pengaruh pertukangan Tionghoa, jika fakta di Jawa digeneralisasi untuk kasus masjid Kuno di Maluku, beberapa diantaranya dapat diterapkan dan dapat menjadi bahan analogi atau perbandingan. 

Tradisi tutur masyarakat di Pulau Haruku, Maluku terdapat cerita tentang penyebar Islam yang disebut Upuka Pandita Mahuang, yang dipercaya berasal dari Tionghoa 

Selain itu juga tradisi tutur tentang marga Pattiasina yang juga dipercaya sebagai leluhur yang berasal dari Tionghoa. Pattiasina asal kata Pati dan Sina, yang berarti Raja dari Cina (Tionghoa). Jika tradisi tutur ini menjadi acuan, maka kemungkinan besar memang terdapat pengaruh komunitas muslim Tionghoa di Maluku. 

Dari fakta di lapangan untuk arsitektur masjid, pengaruh Tionghoa tampak jelas dari ukiran motif Naga di pintu beranda atau serambi. Selain itu ukiran-ukiran yang mengantarai atap tumpang tiga, berupa motif flora, tidak menutup kemungkinan juga merupakan pengaruh unsur pertukangan Tionghoa.

Soal yang berkaitan dengan hal ini, Reid (2011) menjelaskan terlepas dari semua kontinuitas dengan masa lampau Hindu-Jawa, masjid di Indonesia abad ke 16 dan 17 M mempunyai bentuk khasnya sendiri, yang pada dasarnya sama dari Aceh di barat hingga Maluku di Timur. 

Bangunan utamanya persegi empat, seringkali dilengkapi serambi di sebelah timur, tembok tipis dan empat tiang kayu besar untuk menunjang atap jerami yang berlapis-lapis. Kemudian, adanya tembok bata yang kuat biasnaya mengelilingi keseluruhan kompleks. 

Asal-usul pola ini tidak banyak diperdebatkan, khususnya apakah atap berlapis-lapis tersebut kelanjutan dari penggambaran Gunung Meru Hindu-Jawa, seperti yang terdapat di Bali (Guillot 1985, Tjandrasasmita, 1985) atau pola yang berasal dari Tionghoa muslim seperti di Demak dan Jepara abad 15 M (Slametmulyana, 1976). 

Menurut Reid (2011) bisa jadi orang-orang Tionghoa membantu pembangunan beberapa masjid besar, tapi gaya masjid yang sama tidak akan diterima di seluruh kepulauan Asia Tenggara pada abad ke 16 kecuali jika gayanya turut mengambil pola-pola agama dan bangunan yang lebih tua. 

Salah satu ciri spesifik dan mungkin yang paling menonjol adalah arsitektur masjid di Pulau Haruku, yakni Masjid Kuno Hatuhahamarima di Negeri Rohomoni, dengan motif hias naga yang sangat identik dengan pengaruh budaya Tionghoa. 

Bahkan, lebih dari itu terdapat beberapa masjid kuno di Maluku, yang memiliki hiasan berbentuk simbol buah nenas. Menurut Ahli Feng Sui yang mengetahui mengenai arti dan makna dalam sembahyang etnis Tionghoa, Bambang ES mengatakan, buah nenas merupakan lambang mekarnya rezeki. (https://medanbisnisdaily.com/).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun