Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Nawa Cita dan Pentingnya Mitigasi Bencana dalam Kalkulasi Pembangunan

19 Januari 2021   13:57 Diperbarui: 21 Januari 2021   21:47 1415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lagi, Indonesia berduka. Belum surut duka Indonesia atas tragedi kecelakaan Sriwijaya di perairan Kepulauan Seribu, yang hingga kini masih dalam pencarian korban. Kembali, di tengah malam gulita, masyarakat di Majene dan Mamuju, dikejutkan gempa dasyat. 

Sebelum bencana Sulbar, bencana banjir Kalimantan Selatan juga menghadang. Bantaran sungai yang melalui pemukiman-pemukiman warga di pedesaan hingga kota, meluap mengakibatkan terendamnya daerah-daerah pemukiman warga. 

Demikian juga bencana banjir di wilayah Jawa Barat, yang seakan menjadi bencana langganan setiap tahuannya. Belum lagi terhitung bencana letusan gunung-gunung aktif di berbagai daerah. Gunung Merapi di Yogyakarta dan Gunung Semeru di Jawa Timur, juga dikabarkan tengah mengamuk. 

Yang paling masif adalag bencana banjir Kalimantan Selatan dan Gempa di Sulawesi Barat. Gempa yang melanda Provinsi Sulbar dengan kekuatan 6.2 SR, dengan kedalaman 10 km dan terletak 6 km timur laut Kota Majene, tentu saja dirasakan sangat dahsyat. 

Ilustrasi Bencana Banjir Kalsel. (Sumber: ANTARA FOTO/BAYU PRATAMA S via Kompas.com)
Ilustrasi Bencana Banjir Kalsel. (Sumber: ANTARA FOTO/BAYU PRATAMA S via Kompas.com)
Akibat gempa di tengah malam buta itu, kantor Gubernur Sulbar ambruk, rata dengan tanah, begitu juga beberapa fasilitas publik lainnya. Dilaporkan Rumah Sakit Mitra di Kota Mamuju juga ambruk.

Informasi itu diperoleh dari foto dan video yang beredar di Whattsapp Grup (WAG), juga yang sudah di rilis di media-media online. Informasi itu valid adanya. 

Di grup WA yang saya peroleh, foto dan video dari tempat kejadian, yang diunggah oleh beberapa sahabat saya sesama alumni arkeologi Universitas Hasanuddin, yang kebetulan bermukim dan bekerja di Mamuju dan Majene, Provinsi Sulbar. 

Berbagai tanggapan dan ucapan doa dan turut prihatin, memenuhi ruang chat WAG Arkeologi Unhas, dimana saya banyak melihat kiriman foto dan video dari lokasi kejadian. Dikirim oleh beberapa sahabat saya di sana. 

Kondisinya memang memperihatinkan. Kota lumpuh, beberapa gedung perkantoran, hotel dan pertokoan hancur. Selain kiriman foto dan video, juga informasi dari sahabat yang mengalami langsung kejadian, yang diceritakan melalui chat WAG.

Hitung-hitungan risiko bencana dalam setiap kebijakan pembangunan, sudah mendesak. Mitigasi bencana sebagai manajemen risiko pembangunan, tampaknya harus menjadi bagian dari proses pembangunan itu sendiri. 

Di Kalimantan Selatan, hujan lebat yang mengguyur wilayah itu, yang konon tidak pernah terjadi sebelumnya, menuding kerusakan hutan dan alih fungsi lahan menjadi biang keroknya. 

Ilustrasi Kondisi bencana Sulbar. Sumber: Detik
Ilustrasi Kondisi bencana Sulbar. Sumber: Detik
Hutan heterogen yang banyak dan mendominasi lahan-lahan di Kalimantan, berubah menjadi hutan homogen, yaitu hutan sawit. Hal itu mengakibatkan resapan air menjadi sangat berkurang, apalagi jika perkebunan sawit itu berada di dataran tinggi. (Tribunnews). 

Akibatnya, ketika hujan lebat terjadi, tidak ada resapan air, yang kemudian menyebabkan banjir di daerah hilir sungai. Setiap pembangunan, selalu didahului oleh Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL), sebagai salah satu instrumen dan juga syarat pembangunan itu dapat dilakukan.  

Analisa dampak lingkungan sangat penting, untuk melihat sejauh mana dampak yang ditimbulkan dari adanya proses pembangunan, juga hasil dari pembangunan itu sendiri, terutama bagi keberlanjutan kualitas lingkungan hidup, tempat manusia hidup. 

Dampak pembangunan, dengan perlakuan buruk terhadap kualitas lingkungan hidup, bisa menjadi sumber bencana. Dengan demikian, bencana tidak saja ditimbulkan secara alamiah, sebagai bencana alam namun bisa jadi juga karena cara pembangunan yang tidak mempedulikan daya dukung lingkungan. 

Memperlakukan dengan buruk lingkungan hidup, sebagai bagian dari keseimbangan alam. Dengan demikian, bencana juga bisa ditimbulkan oleh karena ulah manusia. 

Menjaga keseimbangan antara alam, manusia dan Tuhan adalah inti dari sebuah peradaban. Alam memainkan ritme yang paling mendasar, karena tanpa alam manusia mati

Menjaga keseimbangan alam, adalah bagian dari manajemen risiko kebencanaan. Salah satunya dilakukan dengan mitigasi bencana. Dalam rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2015-2019 (BPBN, 2014) disebutkan Topik Penanggulangan Bencana dalam RPJPN 2005-2025 Misi Ke-6 Mewujudkan Indonesia asri dan lestari. Mitigasi bencana alam sesuai dengan kondisi geologi Indonesia. 

RPJMN III (2015–2019) yang menitikberatkan pada “Meningkatkan EFEKTIVITAS penanggulangan bencana”.Dalam menghadapi tantangan 5 (lima) tahun mendatang, maka perlu ditingkatkan efektivitas penyelenggaraan penanggulangan bencana sesuai Nawa Cita

Nawa Cita merupakan sembilan agenda prioritas dari Pemerintah Indonesia 2015- 2019.Program ini digagas untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan .

Arah kebijakan penanggulangan bencana untuk mencapai terciptanya agenda prioritas: 

Pertama, dalam cita kesatu; Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, dalam menghadapi ancaman bencana.

Kedua, dalam cita kedua; Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan, melalui pengembangan program Desa Tangguh Bencana dan penguatan kapasitas lokal. 

Ketiga, dalam cita kelima; Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan, melalui upaya pengurangan kerentanan dan peningkatan kapasitas.

Keempat, dalam cita kedelapan; Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional untuk mengembangkan budaya aman bencana, melalui penerapan kurikulum kebencanaan, Sekolah/Madrasah Aman Bencana, pengembangan IPTEK dalam kebencanaan. 

Berpijak pada program Nawa Cita, sesungguhnya miitigasi bencana sudah ada dalam kalkulasi pembangunan saat ini. Mitigasi kebencanaan baik pada tataran prakondisi, yakni melalui pendidikan dan penerapan kurikulum pendidikan, maupun dalam aksi tanggap terhadap potensi bencana. 

Meski demikian, mitigasi bencana memang perlu diterapkan sebagai sebuah manajemen risiko bencana. Dalam soal ini, sudah ada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 06/PRT/M/2009 tentang Pedoman Perencanaan Umum Pembangunan Infrastruktur di Kawasan Rawan Tsunami. 

Tentang mitigasi bencana, dalam peraturan itu ditetapkan beberapa hal penting terkait mitigasi bencana, yaitu:

Pertama, bahwa mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. 

Kedua, kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. 

Ketiga, pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana. 

Keempat, rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana. 

Kita semua paham, posisi Indonesia dalam lingkaran cincin api atau ring of fire menjadikan wilayah daratan kepulauan Indonesia rawan terjadinya bencana. Oleh karena segala risiko itu memang harus siap dihadapi. 

Kecermatan dan kearifan dalam proses pembangunan, suka tidak suka harus menjadi landasan bersama dalam setiap proses pembangunan. Gejala-gejala lingkungan alam, baik ketidakseimbangan maupun gangguan-gangguan baik secara alamiah maupun adanya dampak teknologi, harus disikapi dengan bijaksana. 

Kalkulasi pembangunan, harus menempatkan manajemen resiko dan mitigasi bencana sebagai landasan ataupun prinsip pembangunan. Banyak contoh sederhana bisa dikemukakan. 

Pengembangan dan pembangunan kota misalnya, di daerah-daerah rawan bencana. Pemerintah tidak melalukan pengembangan wilayah kota ke bagian-bagian tepi pantai.

Selain sangat rawan dampak akibat gempa dan tsunami, juga dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Beberapa dekade ke depan, harus dihindari kegiatan reklamasi untuk pengembangan kota. Hal ini berdampak pada beberapa kejadian banjir rob, atau luapan air laut saat pasang, hingga ke daratan di tepi pantai. 

Di kota Manado baru-baru ini, banjir rob, akibat luapan air laut saat air pasang dan ombak menerjang pusat perbelanjaan kawasan Mega Mas dan Manado Town Square (Tribunnews)

Kawasan itu adalah pengembangan Kota Manado, yang dihasilkan dari proses pengeringan atau reklamasi pantai yang dilakukan beberapa tahun lalu. 

Ilustrasi Ombak setinggi tiga meter yang melanda Kota Manado, sudah merusak banyak perahu yang parkir di pantai Megamas. Sumber: Tribunnews
Ilustrasi Ombak setinggi tiga meter yang melanda Kota Manado, sudah merusak banyak perahu yang parkir di pantai Megamas. Sumber: Tribunnews
Itu hanya salah satu ilustrasi, sedikit contoh tentang pentingnya menghitung-hitung pembangunan dalam kacamata mitigasi bencana. Contoh lain dapat diterapkan di wilayah-wilayah lain di wilayah Indonesia lainnya. 

Di Kalimantan Selatan khususnya, dan di Pulau Kalimantan umumnya, kalkulasi pembangunan dalam mitigasi bencana, misalnya mempertimbangkan untuk tidak lagi mengalihkan fungsi lahan, tidak membabat hutan untuk perkebunan sawit, dan sebagainya. 

Pada intinya kualitas lingkungan hidup ditentukan pula oleh kebijakan pembangunan. Mari kembali kepada kearifan lingkungan dan kearifan lokal. 

Menjaga alam dan melestarikan lingkungan adalah menghidupkan peradaban(Wuri Handoko)

Demikian. Salam Pembangunan...Salam Budaya...Salam Lestari

Salam Hormat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun