Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penghasilan Istri, Pembagian Kerja, dan Kesetaraan Gender

20 Desember 2020   09:22 Diperbarui: 20 Desember 2020   18:09 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Penghasilan Istri, Pembagian Kerja dan Kesetaraan Gender. Sumber: https://www.kemenpppa.go.id/i

Ada alasan dan persepektif kebudayaan yang melatar belakangi sehingga perempuanlah yang bekerja membuat gerabah. Selain itu jika dilihat dalam episode peradaban yang lain, ada indikasi bagaimana manusia prasejarah juga memiliki naluri tentang pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, walaupun sangat sederhana berdasarkan naluri semata. 

Ada bukti-bukti yang dapat menunjukkan bahwa sudah ada pembagian kerja antara kaum laki-laki dan perempuan. Hal yang lebih jelas soal peran perempuan, misalnya dalam artikel saya tentang peran perempuan pada masa klasik Hindu Budha pada artikel berjudul " Perempuan dalam Peradaban". 

Dalam artikel tersebut dengan sangat gamblang, sebagaimana digambarkan melalui relief-relief candi. Gambaran tentang hidupnya kesetaraan gender. 

Adanya kesamaan kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki dalam soal jabatan-jabatan, baik yang diperoleh secara genelogis atau karena keturunan maupun prestasi.

 Antara lain : Raja dan ratu, Putra Mahkota dan Putri Mahkota, Pakai (penguasa wilayah Watak), Pejabat hukum, pejabat keagamaan, pejabat desa (hulu wanua, hulair, wariga, dan lain-lain), yang memperlihatkan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan setara dalam konstruksi sosial sesuai zamannya. 

Jadi, soal istri penghasilan lebih tinggi dalam fenomena masa kini, adalah proses yang lahir dan berkembang secara alamiah, sebagai bagian dari proses perkembangan peradaban, tanpa melepaskan konteks tentang kodratnya sebagai wanita. 

Penghasilan bukan ditentukan oleh jenis kelamin, tetapi oleh kapasitas, kemampuan, tugas dan tanggungjawab. Pendek kata semua hal yang berlabel pada hubungan interpersonal dan sesuai beban tanggungjawab yang disandangnya.

Selain itu tidak ada pula norma agama yang dilanggar. Dalam kacamata agama, tidak ada yang melarang istri bekerja dan berpenghasilan lebih tinggi. Semua sebagai sebuah perkembangan peradaban, mengalir seiring waktu, tanpa melepaskan konteksnya secara kodrati sebagai bagian keteraturan Ilahiah. 

Kebudayaan, dalam konsep kesetaraan gender, juga dalam kacamata sosiologi sebagai konstruksi sosial. Kesetaraan gender menempati ruangnya dalam perkembangan zaman, perkembangan peradaban (budaya) dan perkembangan sosial. 

Demikian, soal penghasilan istri lebih tinggi, secara alamiah maka stigma pada suami akan semakin pudar. Hal ini jika fenomena itu bisa dikelola dengan baik, manajemen konflik diperlukan oleh suami dan istri. 

Ptensi-potensi konflik dalam rumah tangga, akibat tukar peran suami istri dan apalagi istri berpenghasilan lebih tinggi dikelola dengan komunikasi yang baik, bagian dari komunikasi personal, sekaligus komunikasi sosial. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun