Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ayah dan Anak Perempuan, dari Mitos hingga Budaya

8 November 2020   23:10 Diperbarui: 26 April 2021   13:51 22949
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak pertama saya adalah seorang perempuan. Semua keluarga bersyukur sekali, ketika anak pertama kami, seorang bayi perempuan. Kata mereka mirip sekali saya, ayahnya. 

Wajahnya, katanya mirip sekali saya. Bukan hanya keluarga saya, sahabat dan semua yang mengenal keluarga kami, melihat anak perempuan saya mirip sekali saya, ayahnya.  

Bahkan, semakin besar kini, anak perempuan saya,  perangai atau sifatnyapun dianggap mirip juga dengan saya. Dalam tradisi di Nusantara, tidak saja di Jawa, konon jika anak perempuan mirip dengan ayahnya, itu pertanda baik, pertanda keberuntungan. 

Sebaliknya, jika anak perempuan mirip ibunya, justru dipercaya sebagai pertanda yang kurang baik atau kesialan. Mungkin pernyataan ini bisa dianggap menyesatkan. Tapi mitosnya memang seperti itu adanya. Paling tidak di lingkungan keluarga saya, yang lahir dalam kultur Jawa. 

Entah benar atau tidak, namanya juga mitos. Namun sepertinya hal ini sudah umum diketahui di lingkungan Orang Jawa, bahkan sepertinya pada kebanyakan orang atau keluarga, bahkan di luar tradisi Jawa. Pada umumnya mereka percaya, kalau anak perempuan mirip ayahnya itu pertanda baik. 

Sebaliknya, anak laki-laki sebaiknya mirip ibunya. Mitos itu bahkan seperti kepercayaan yang secara kultur, begitu melekat menjadi semacam harapan. Jadi ketika bayi perempuan lahir, ayah ibunya berharap dan berdoa, bayi perempuan itu mirip ayahnya. 

Saya tidak paham dengan asal-usul atau fenomena mitos ini, namun nyatanya sangat dipercaya sekali, khususnya keluarga saya. Juga sepertinya keluarga jawa lainnya. 

Bahkan, menurut tetangga saya, mereka juga percaya bahwa kalau anak perempuan mirip ayahnya, itu pertanda yang baik. Kepercayaan tetangga saya yang orang Ambon keturunan Buton, Sulawesi Tenggara, ternyata demikian pula adanya.  Kebetulan anak pertama perempuan, dan anak kedua laki-laki saya, semuanya lahir di Ambon, Maluku. 

Jadi saya mengambil kesimpulan, dalam tradisi sebagian masyarakat Nusantara, ada semacam kepercayaan ataupun mitos, jika anak perempuan sebaiknya mirip dengan ayahnya. Kata 'sebaiknya' dimaksudkan sebagai doa dan harapan, agar kelak jika punya anak perempuan, itu mirip dengan ayahnya. 

Dalam tingkah laku sehari-hari, anak pertama perempuan saya, kebetulan juga secara emosional sangat dekat dengan saya, sejak dari bayi hingga saat ini sudah berumur 9 (sembilan) jalan 10 (sepuluh) tahun. 

Anak perempuan saya itu sangat susah disuruh makan, namun ketika saya membuatkan omelet dan nasi goreng, makannya sangat lahap. Dan dia tidak mau makan nasi goreng dan omelet, selain buatan saya. Kondisi itu, menggambarkan bagaimana dekatnya saya dengan anak perempuan saya itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun