Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Kompasiana, Ternyata Tempat Berkumpulnya Para Arkeolog

23 Oktober 2020   21:56 Diperbarui: 28 Oktober 2020   13:19 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Momentum 12 tahun Kompasiana, ternyata memberi banyak informasi untuk saya sebagai kompasianer pendatang baru. Untuk beberapa saat berlalu, saya merasa menjadi arkeolog kompasianer yang paling istimewa. Karena saya termasuk kompasianer langka. Kompasianer yang arkeolog awalnya saya anggap langka. 

Sebelumnya, pada awalnya nyemplung ke Kompasiana karena dorongan dan terinspirasi oleh Pak Djulianto Susantio. Awalnya saya hanya tahu, bahwa beliau satu-satunya arkeolog yang kompasianer. Berikutnya baru saya. 

Ternyata saya salah. Setelah empat bulan ini, ternyata sebelum saya, bukan hanya Pak Djulianto Susantio. Siapa sangka, ternyata ada beberapa kompasianer lain yang juga seorang arkeolog. Ternyata, Kompasiana juga tempat berkumpulnya para arkeolog...hehehe..

Beberapa diantaranya saya kenal baik, bahkan kolega yang sering bertemua di berbagai forum arkeologi, bahkan terlibat proyek bersama. Ternyata selama ini, mereka menyembunyikan identitasnya sebagai kompasiana. Buceeet deh, saya seperti kena prank jadinya...hehehehe 

Saya sempat membangga-banggakan diri, bahwa saya sekarang adalah Sang Arkeolog yang Kompasianer. Sang Kompasianer yang arkeolog. Dan mereka para arkeolog yang belakangan saya tahu, mereka adalah kompasianer juga, kok diem-diem bae. Tengsin saya jadinya, hehehe.  

Setelah 4 (empat bulan) aktif menulis di kompasiana, saya baru tahu bahwa ternyata bukan hanya Djulianto Susantio saja, arkeolog yang kompasianer. 

Selain Pak Dju, ternyata ada Churmatin Nasoichah, H. H. Sunliensyar, Yadi Mulyadi, Harry Octavianus Sofyan dan mungkin ada satu lagi arkeolog yang saya belum bisa pastikan, apakah dia orang itu. Untuk yang terakhir ini, saya tidak akan sebutkan namanya, karena masih samar. 

Selain sepertinya yang bersangkutan, hampir tidak pernah menulis konten arkeologi, kecuali tulisan yang di unggah di momen 12 tahun kompasiana ini, sempat memberi label arkeologi...hehehe...

Djulianto Susantio, saya kenal baik sebagai seorang arkeolog senior jebolan Universitas Univeristas Indonesia. Pak Dju, saya memanggilnya, adalah arkeolog freelance yang ahli numismatik juga.

Beliau di kalangan arkeologi Indonesia, memang sudah dikenal sebagai arkeolog yang sering menulis tentang arkeologi di media Kompas ataupun media cetak lainnya. 

Beliau juga sudah lama dikenal, sebagai arkeolog yang juga kompasianer. Hanya saya saja yang tidak update info. Mungkin saya satu-satunya arkeolog yang paling belakangan tahu, bahwa beliau juga seorang kompasianer. 

Meskipun saya termasuk belakangan mengetahui bahwa Pak Dju adalah juga kompasianer yang aktif menulis tentang arkeologi, namun begitu saya tahu, saya langsung ketularan dan ikut nyemplung ke dalam kawah Kompasiana, kawah candradimukanya para penulis pemula atau belajar menulis gaya jurnalis. 

Saya baru mengetahui Pak Dju sebagai kompasianer, saat kami menggelar webinar "Membumikan Arkeologi Cara Jurnalis" yang mengundang Ahmad Arif, jurnalis Kompas sebagai narasumber. 

Di saat itu Pak Dju disebut namanya oleh moderator webinar kami itu. Moderator webinar itu adalah Yadi Mulyadi, arkeolog universitas Hasanuddin, yang belakangan baru saya ketahui sebagai kompasianer juga. 

Nama yang saya sudah saya sebut sebelumnya, dalam deretan arkeolog yang juga kompasianer. Memang seperti kebetulan, dua kompasianer itu saya pertemukan di forum webinar yang saya gelar itu. 

Rasanya, setelah waktu berlalu, kejadian waktu itu jadi seperti momen yang lucu. Yadi Mulyadi moderator webinar kami itu, meminta Pak Dju memberi tanggapan atas materi webinar. Dan memperkenalkan Pak Dju sebagai arkeolog yang selama ini sering menulis populer arkeologi di media surat kabar. 

Yadi juga memperkenalkan Pak Dju sebagai kompasianer. Sementara Yadi Mulyadi menyembunyikan identitasnya, bahwa dia juga kompasianer..hadeuh....hehehe. 

Rasanya lucu juga, pihak yang menggelar webinar, yaitu saya, diam-diam mendaftar sebagai Kompasianer tanggal 24 Juni 2020, sehari setelah webinar selesai digelar. Tanpa memberi tahu Pak Dju dan juga Pak Yadi Mulyadi...hehehe.  

Yadi Mulyadi, baru sekitar satu dua bulan ini saya ketahui bahwa beliau juga seorang Kompasianer. Setelah tanpa sengaja saya berselancar menelusuri tulisan-tulisan arkeologi yang berlabel arkeologi. 

Disitulah saya ketemu arkeolog, yang sudah lama sekali saya kenal. Di Kampus Unhas, Yadi Mulyadi adalah yunior saya, tetapi di Kompasiana, beliau adalah senior saya. Meskipun belakangan tampaknya, belum aktif lagi. 

Selanjutnya, Churmatin Nasoichah mungkin satu-satunya arkeolog wanita yang juga kompasianer. Setidaknya yang saya ketahui sampai saat ini. Saya mengetahui bahwa yang bersangkutan adalah juga Kompasiana, juga hasil selancar saya menelusuri jejak-jejak arkeologi atau artikel berlabel arkeologi hehehe. Dari profilnya, beliau juga senior saya di Kompasiana. 

Saya mengenal Churmatin, adalah seorang arkeolog dari Balai Arkeologi Sumatera Utara. Beberapa kali bertemu dalam forum bersama tentang arkeologi, juga saling follow di beberapa akun medsos, walapun tidak akrab-akrab amat, karena beliau yunior saya jauh di instansi arkeologi. 

Kami sebenarnya sering bertemu namun sejak pandemi Covid, sepertinya belum pernah ketemu lagi, kecuali mungkin melalui pertemuan virtual. Sepanjang itu, saya tidak pernah mengetahui kalau beliau ini juga kompasianer. Astagaa...hehehe

H. H. Sunliensyar adalah salah satu arkeolog freelance seperti juga Pak Dju. Saya secara pribadi memang tidak mengenal beliau sebagai arkeolog. Justru saya mengetahui kalau beliau adalah arkeolog, dari Kompasiana.

Konten-kontennya adalah tentang arkeologi. Bahkan saya juga banyak belajar dari tulisan-tulisannya. Saya sempat berselancar tentang kiprah beliau di luar Kompasiana, dan saya menemukan nama beliau di salah satu artikel ilmiah arkeologi yang terbit online. 

Walaupun saya belum sempat menemukan lagi artikel ilmiah arkeologi yang beliau tulis, namun saya melihat, tampaknya beliau cukup aktif menulis di Kompasiana. Dan seluruh konten-konten arkeologinya sangat menarik dan inspiratif, juga kaya akan informasi baru tentang dunia arkeologi. 

Diantara arkeolog yang kompasianer adalah sahabat saya Harry Octavianus Sofyan, yang saat ini mengambil program doktoral arkeologi di Perancis. Beliau adalah sahabat saya, akrab dan hampir setiap hari kami berkomunikasi melalui chat WA. 

Astaga, baru tadi sore, beliau chat saya dan membuka identitasnya bahwa dirinya adalah kompasianer. Bahkan, melihat profilnya, dia sudah lama di Kompasiana, sejak 2010. 

Dan seperti artikelnya yang baru diunggah, berjudul 10 Tahun Meninggalkan Kompasiana. Sepertinya ini debut pertamanya, yang menandai come back nya Pak Harry di Kompasiana setelah 10 tahun vakum. 

Saya sempat heran, kaget, tercengang dan seperti tidak percaya. Hampir setiap hari, saya ngobrol dengan Pak Harry melalui chat, seringkali saya juga menshare tulisan saya di Kompasiana ke grup WA, dimana Harry juga bergabung. 

Setiap kali pula, Pak Harry membacanya, selalu memberi komentar positif dan menyemangati. Tapi tak pernah sekalipun memberitahukan bahwa dirinya juga Kompasianer. Hadeeeuh, tobat dah..

Harry adalah arkeolog muda yang saya kagumi. Smart dan multitalent. Di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Pak Harry juga multitasking. Sebelum melanjutkan S3 nya, juga dipercaya sebagai koordinator bidang pendayaagunaan hasil penelitian arkeologi. Sebuah bidang yang sangat strategis di lembaga yang berwenang dalam penelitian dan pengembangan arkeologi di Tanah Air. 

Saya seringkali, diskusi dengan Pak Harry tentang pendayaagunaan data arkeologi untuk pembangunan berkelanjutan. Salah satu isu yang dia garap, sebelum beberapa waktu lalu meninggalkan tanah air untuk melanjutkan program doktoralnya di Perancis. Selamat berjuang Pak Harry, kembali ke tanah air dan memajukan arkeologi Indonesia. 

Jadi, momentum 12 tahun Kompasiana, tampaknya juga menandai para arkeolog untuk come back. Mulai menulis lagi tentang arkeologi untuk pembaca Kompasiana. 

Ini juga memberi semangat untuk saya berkiprah di Kompasiana. Pada umumnya, para arkeologi itu adalah senior saya, atau lebih dulu mencemplungkan diri di Kompasiana. Dibanding mereka, saya adalah yunior kompasianer yang arkeolog.

Sang Arkeolog kata Hera Veronica dalam puisinya atau Dia Yang Mencintai Arkeologi seperti dalam puisi Lusy Mariana Pasaribu (LMP), tidak bisa saya klaim sendiri...hehehe. Ternyata selain Pak Dju yang senior dan saya yang yunior kompasianer arkeolog, masih banyak arkeolog lain yang juga kompasianer. 

Tentu saja ini akan saling memacu para arkeolog untuk menulis, mengabarkan tentang kesejatian diri Indonesia, berdasarkan warisan budaya materi yang ditinggalkan oleh para leluhur bangsa ini. Tentu ini sangat positif untuk semakin membumikan dunia arkeologi, dunia warisan budaya di Indonesia. 

Selamat berkiprah para arkeolog di Rumah Bersama Kompasiana. Mari Berkumpul untuk Membangun...

Salam Arkeologi...Viva Arkeologi....Bangun Bina Bakti Arkeologi Jaya...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun