Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Geliat Pembangunan Kawasan Kota Lama Gorontalo: Persimpangan Antara Beban dan Peluang

14 Oktober 2020   19:59 Diperbarui: 15 Oktober 2020   20:19 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bangunan kolonial yang masih dimanfaatkan di Kota Gorontalo. Sumber: Irfan/balar sulut

Sudah 17 (tujuh belas) tahun Gorontalo berdiri sendiri sebagai wilayah Provinsi, setelah mekar dari Provinsi induknya, Sulawesi Utara. Sejak saat itu, Gorontalo punya hak otonom untuk mengatur dan membangun sendiri wilayahnya. 

Gorontalo adalah satu dari sekian provinsi di Sulawesi yang memiliki peninggalan arkeologi sejarah yang kompleks dan potensial sebagai modal pembangunan di masa depan. 

Di Provisi Gorontalo, banyak peninggalan warisan budaya, dari masa prasejarah hingga masa kolonial. Benteng Otanaha adalah salah satu peninggalan cagar budaya yang paling ikonik. Selain itu banyak peninggalan arkeologi lainnya yang juga potensial untuk di kelola. Salah satu yang diandalkan adalah bangunan-bangunan kolonial yang tersebar di tengah Kota Gorontalo. 

Suasana batin masyarakat di Kota Gorontalo, tampaknya menghendaki mereka punya ikon budaya yang bisa dibangun. Yaitu kawasan kota lama yang membanggakan di hari depan. 

Adalah komunitas Gorontalo Tanah Pusaka yang selama ini getol memperjuangkannya. Sebagai salah satu elemen masyarakat yang peduli, sudah lama komunitas Gorontalo Tanah Pusaka, mengkampanyekan lahirnya kawasan Kota Lama Gorontalo. 

Meskipun karakter kotanya berbeda dengan Kota Tua Batavia Jakarta, ataupun Kota Lama Semarang, namun suasana batin masyarakat tampaknya berharap Provinsi Gorontalo memiliki kebanggaan, sebuah ikon budaya yang menjadi ciri yang lekat dengan sejarah perjuangan masyarakat Gorontalo di masa penjajahan kolonial Belanda. 

Kawasan Gorontalo, awal abad 19. Sumber: Irfan/Balar Sulut
Kawasan Gorontalo, awal abad 19. Sumber: Irfan/Balar Sulut
Sebelum masa penjajahan keadaaan daerah Gorontalo berbentuk kerajaan-kerajaan yang diatur menurut hukum adat ketatanegaraan Gorontalo. Kerajaan-kerajaan itu tergabung dalam satu ikatan kekeluargaan yang disebut "Pohala'a". Menurut Haga (1931) daerah Gorontalo ada lima pohala'a:
  • Pohala'a Gorontalo
  • Pohala'a Limboto
  • Pohala'a Suwawa
  • Pohala'a Boalemo
  • Pohala'a Atinggola

Dengan hukum adat itu, maka Gorontalo termasuk 19 wilayah adat di Indonesia. Antara agama dengan adat di Gorontalo menyatu dengan istilah "Adat bersendikan Syara' dan Syara' bersendikan Kitabullah". 

Pohala'a Gorontalo merupakan pohala'a yang paling menonjol diantara kelima pohalaa tersebut. Itulah sebabnya Gorontalo lebih banyak dikenal. Asal usul nama Gorontalo terdapat berbagai pendapat dan penjelasan antara lain :

  • Berasal dari "Hulontalangio", nama salah satu kerajaan yang dipersingkat menjadi hulontalo
  • Berasal dari "Hua Lolontalango" yang artinya orang-orang Gowa yang berjalan lalu lalang.
  • Berasal dari "Hulontalangi" yang artinya lebih mulia.
  • Berasal dari "Hulua Lo Tola" yang artinya tempat berkembangnya ikan Gabus.
  • Berasal dari "Pongolatalo" atau "Puhulatalo" yang artinya tempat menunggu.
  • Berasal dari Gunung Telu yang artinya tiga buah gunung.
  • Berasal dari "Hunto" suatu tempat yang senantiasa digenangi air

Jadi asal usul nama Gorontalo (arti katanya) tidak diketahui lagi, namun jelas kata "hulondalo" hingga sekarang masih hidup dalam ucapan orang Gorontalo dan orang Belanda karena kesulitan dalam mengucapkannya diucapkan dengan Horontalo dan bila ditulis menjadi Gorontalo (gorontaloprov.go.id)

Kondisi lanskap Gorontalo tahun 1920 (kiri) dan sekarang (kanan). Sumber: Irfan/Balar Sulut
Kondisi lanskap Gorontalo tahun 1920 (kiri) dan sekarang (kanan). Sumber: Irfan/Balar Sulut
Jadi wajar saja, ketika Gorontalo memiliki potensi warisan budaya yang melimpah. Sejarahnya sudah panjang terurai dari sejak masa prakolonial, hingga sekarang. Juga, wajar ketika masyarakat memiliki angan atau cita-cita, Gorontalo memiliki ikon budaya yang bisa berumur panjang. Kawasan kota lama, adalah bentuk perhatian dan sekaligus kepedulian masyarakat melestarikan warisan budaya leluhur. 

Kepedulian masyarakat adalah potensi, juga energi positif untuk bergeliat membangun. Kawasan Kota Lama Gorontalo, mungkin juga sebuah mimpi. Bagaimanapun, membangun kawasan kota lama bukan usaha yang mudah, meskipun juga bukan utopia. Tidak mudah, karena perkembangan kota yang cepat, bisa jadi mengancam wajah kota lamanya. 

Kawasan bisnis juga semakin bergeliat. Dimana-mana hotel, mall dan pertokoan seakan berlomba berdiri. Satu sisi akan saling berebut lahan strategis. Sementara lahan-lahan strategis, banyak pula berdiri bangunan lama. Mana yang akan didahulukan? Mana yang akan dikorbankan.  

Menurut Fitra Arda, Direktur Perlindungan Kebudayaan, kawasan kota lama selama ini dianggap beban pembangunan kawasan perkotaan. Hal ini wajar, karena dinamikanya kawasan kota lama mengalami pergeseran dan kemunduran. Kemudian ditinggalkan untuk berbagai aktivitas. 

Banyak bangunan-bangunan lama, yang rusak dan tidak terawat dibiarkan begitu saja. Akibatnya kawasan menjadi tampak kumuh dan ditelantarkan. 

Akibatnya banyak bangunan lama dihancurkan, diganti dengan bangunan-bangunan baru yang tidak kontekstual. Hal ini tentu menjadi tantangan untuk masyarakat dan pemerintah. 

Di banyak kasus di dunia, kawasan kota lama di satu sisi bisa menjadi tulang punggung dalam peningkatan karakter dan sosial budaya, juga ekonomi masyarakat. 

Oleh karena itu perlunya pentaan kota lama dalam mendorong bentuk produktivitas baru, juga pembangunan sosial, ekonomi dan budaya yang berkelanjutan. 

Hal ini agar pembangunan kawasan kota lama, menjadi kekuatan baru bagi pembangunan ke depan. Bagaimana pembangunan kawasan kota lama, seperti halnya kawasan kota lama Gorontalo yang tengah diperjuangkan ini, dapat menjadi bagian penting dalam pembangunan karakter atau identitas kota Gorontalo. 

Artinya, keberadaan kawasan kota lama Gorontalo, harus bisa menjadi representasi atau mencerminkan karakter budaya masyarakatnya. 

Bangunan kolonial yang saat ini sudah hilang dan rusak. SUmber: Irfan/Balar Sulut
Bangunan kolonial yang saat ini sudah hilang dan rusak. SUmber: Irfan/Balar Sulut
Jika melihat kondisi ini, semestinya kawasan kota lama Gorontalo bisa dikembangkan. Hal ini karena Gorontalo memiliki potensi, yakni perjalanan sejarah yang panjang. Ditandai sejak munculnya kerajaan-kerajaan tradisional, hingga episode penjajahan bangsa kolonial baik Portugis maupun Belanda. 

Perjalanan sejarah yang panjang itu, meninggalkan warisan budaya yang beragam. Diantara warisan budaya yang beragam itu, yang menjadi modal pembangunan yang paling potensial dalam menata kota adalah banyaknya bangunan-bangunan cagar budaya dari masa kolonial. 

Tercatat puluhan bahkan berdasarkan inventarisasi data yang diperoleh Balai Arkeologi Sulawesi Utara, tercatat mencapai ratusan bangunan peninggalan kolonial,

Namun menurut Irfanuddin Wahid Marzuki, peneliti yang banyak bekerja mengumpulkan data di lapangan mengatakan, seiring waktu banyak bangunan-bangunan yang hilang, diantaranya karena desakan pembangunan kawasan pertokoan. Pada awal dilakukan penelitian, beberapa bangunan kolonial yang ada masih dijumpai, namun sekarang banya diantaranya sudah rusak atau berganti bangunan baru. 

Dalam pengembangan kawasan kota lama Gorontalo, menurut Fitra Arda, setidaknya ada dua undang-undang yang bisa dijadikan acuan, yaitu UU Nomor 11 tahun 2010, tentang Cagar Budaya dan UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. 

Jadi berdasarkan acuan kedua UU tersebut, menurutnya pengembangan kawasan kota lama, tidak saja melestarikan warisan budaya benda (tangible) atau sumberdaya arkeologi dan cagar budaya semata. Namun juga memunculkan dan mempertahankan atau melestarian warisan budaya tak benda (intangible) antara lain tradisi lisan, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, seni, bahasa, permainan tradisional dan sebagainya. 

Bangunan kolonial yang masih dimanfaatkan di Kota Gorontalo. Sumber: Irfan/balar sulut
Bangunan kolonial yang masih dimanfaatkan di Kota Gorontalo. Sumber: Irfan/balar sulut
Fakta di lapangan, meskipun banyak bangunan yang harus segera diselamatkan, namun banyak pula bangunan yang rusak atau bahkan berganti wujudnya. Oleh karena itu untuk menyelamatkan bangunan-bangunan lama peninggalan sejarah, perlunya penetapan kawasan kota lama Gorontalo. 

Namun pucuk dicinta ulampun tiba, suasana batin masyarakat Gorontalo yang bercita-cita memiliki kawasan kota lama itu dijawab oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo. Melalui Bappeda, Pemprov Gorontalo akan membangun geopark, yang didalamnya juga terdapat cultural dirversity. 

Menurut Budiyanto Sidiki, Kepala Bappeda Provinsi Gorontalo berdasarkan penelitian Balai Arkeologi Sulawesi Utara, pihaknya semakin yakin, bahwa untuk mendukung pembangunan Geopark, kekayaan warisan cagar budaya bisa mendukung geosite cultural diversity dalam mendukung geoprak itu sendiri. 

Potensi ini justru akan mendukung pembangunan sosial ekonomi, sehingga tidak menjadi pembangunan kawasan perkotaan. Selama ini, pemeliharaan warisan budaya, membutuhkan biaya yang besar dan belum pernah diperhitungkan. Namun dengan adanya geopark, sekaligus sebagai upaya pelestarian warisan cagar budaya. 

Namun Budiyanto Sidiki, mengingatkan agar penataan kawasan kota lama Gorontalo, jangan hanya memiliki semangat yang terkesan latah. Bukan saja, hanya ingin seperti kota lama Semarang dan kota tua Batavia, tanpa kajian atau berbasis riset yang memadai. 

Oleh karena itu data-data hasil riset oleh Balai Arkeologi Sulawesi Utara, dapat menjadi arahan dalam penataan kawasan kota lama Gorontalo. 

Pemerintah Provinsi sendiri sangat berkepentingan dalam pengembangan dan pemanfaatan warisan budaya, untuk mendukung pembangunan geo park, yang diharapkan di masa depan, dapat menjadi ikon Kota Gorontalo dalam pengembangan dan memperkuat Gorontalo sebagai destinasi wisata budaya, yang menjangkau banyak wisatawan termasuk dari Eropa. 

Menjawab soalan itu Balai Arkeologi Sulawesi Utara dalam proses ke depan akan semakin kuat membuat program hulu. Yaitu memperkuat basis data agar kegaitan atau program hilir seperti pengembangan kawasan kota lama mencakup pengelolaan, pelestarian dan pemanfaatan warisan cagar budaya dapat dilakukan dengan lebih terencana dan terukur. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun