Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama FEATURED

Banjir Sudah dari Dulu, Mitigasi Mestinya Belajar dari Pengalaman Masa Lalu

4 Oktober 2020   20:49 Diperbarui: 5 April 2021   06:57 2522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Macet Karena Banjir -- Jalan-jalan di Kawasan Grogol dan Pluit di daerah Penjaringan, Jakarta Utara, macet total pada Rabu siang, 16 Januari 1985, karena tergenang air yang merendam beberapa bagian Ibukota sejak Selasa akibat hujan yang mengguyur Jakarta. (KOMPAS/JB SURATNO)

Jika saja setiap manusia itu arif dan bijaksana, tentu hidupnya akan lebih aman sentosa. Jika saja, kita bijaksana belajar dari kearifan-kearifan lokal masa lalu, bencana bisa dihindarkan.

Tapi lacur, apa mau dikata. Bumi semakin tua, dan manusia yang tinggal di atas bumi, semakin kehilangan kearifan untuk bersahabat dengan bumi. Banyak pelajaran dari masa lalu, dari kearifan-kearifan lokal tentang budaya masa lalu, yang mengajarkan pula tentang kearifan lingkungan.

Padahal sejarah purba, sudah memberikan pelajaran yang sangat berharga tentang bencana banjir. Sahabat pasti tahu, soal bencana air bah bencana banjir pada masa Nabi Nuh.

Dalam Al Qur'an maupun Al Kitab juga menceritakan kisah tentang air bah dan Bahtera Nuh. Banjir yang paling pertama kali dikenal dalam dunia ini.

Soal Air bah dan bahtera Nuh, mungkin tidak bersangkut paut dengan tata kelola lingkungan dalam mewaspadai banjir. Tetapi setidaknya ada hikmah tentang bagaimana manusia menjalankan perintah Tuhan, Sang Maha Pencipta.

Kita tahu, hanya Nuh dan pengikutnya yang selamat dari air bah, sementara yang lainnya tenggelam dalam lautan air bah. Nuh, sudah diperingatkan sebelumnya dari awal oleh Tuhan, untuk bersiap manakala air bah datang menerjang. 

Masa lampau mengajarkan banya hikmah, jika saja kita manusia sekarang bijak belajar dari pengalaman masa lalu. Setidaknya, apa yang sudah atau pernah terjadi di masa lampau. Baik yang sudah dibuktikan oleh arkeologi, maupun yang masih menjadi cerita mitos atau legenda turun temurun, bisa menjadi pengingat (reminder) atau rujukan kita yang hidupnya sekarang dalam menghadapi bencana (banjir). 

Ilustrasi Air Bah dan Bahtera Nuh. Sumber: kompas.com/skola
Ilustrasi Air Bah dan Bahtera Nuh. Sumber: kompas.com/skola
Studi-studi arkeologi yang mempelajari masa lampau, sebenarnya banyak mengajarkan bagaimana leluhur kita dulu menata lingkungannya. Di wilayah Kedatuan Sriwijaya dulu, misalnya, orang-orang menata dan membangun rumah panggung di atas rawa. Sebagai salah satu cara beradaptasi dengan lingkungan lahan basah, lingkungan rawa. 

Soal bencana bukanlah fenomena yang terjadi di masa sekarang saja. Jejak-jejak peradaban membuktikan bahwa berbagai bencana itu hadir seiring dengan usia bumi dan manusia hadir di jagat raya ini. Namun, manusia adalah mahluk yang berpikir, namun kadang tidak bijak dalam bertindak dan bertingkah laku. 

Mungkin faktor kebutuhan yang semakin kompleks, membuat segala cara dilakukan untuk mempertahankan hidupnya. Meski kadang berakibat fatal. Berbagai contoh kerusakan lingkungan, itu diakibatkan ulah manusia yang tidak bijak. Tidak memperhitungkan daya dukung lingkungan di sekitar tempat tinggalnya. 

Banyak contoh kasus, ulah manusia membongkar hutan yang berpohon besar dan heterogen, menjadi kelapa sawit yang homogen. padahal dengan bentang lahannya yang banyak kelerengan yang tajam. Akibatnya, begitu hujan besar melanda, tidak ada lagi penyerapan air, sehingga banjir menerjang wilayah-wilayah pemukiman dengan permukaan tanah yang lebih rendah. 

Berbagai kasus illegal logging, merusak daya dukung lingkungan untuk penyerapan air. Akibatnya, di hulu sungai, air meluap tak terkendali. Daya tampung sempadan sungai tak memadai. 

Air meluap dan menerjang dengan deras, lingkungan sekitar dan juga pemukiman. Banjir melanda kampung. Kebun-kebun dan ladang, tersapu banjir. Demikian juga rumah-rumah, diterjang banjir, hingga membedol pondasi rumah, terbawa arus hingga ke pantai. Kondisi ini pernah terjadi sekitar agustus tahun 2012 lalu di wilayah Maluku, tepatnya di Seram Bagian Barat. 

Mungkin juga daerah-daerah lainnya pernah mengalami kondisi seperti ini. Baru-baru ini di Masamba, juga Gorontalo, diterjang banjir. Menyisakan lumpur di jalanan dan dinding-dinding rumah.

Kayu-kayu besar dari hutan, yang terbawa arus sungai teronggok di jalanan desa. Daerah pedesaan, yang diperkirakan orang, masih asri dan lingkungan terjagapun tak luput dari amukan banjir. Semuanya itu karena salah kelola lingkungan. 

Apalagi di daerah perkotaan, yang sudah tidak ada lagi penyerapan air tanah, akibat bangunan-bangunan pencakar langit menyesaki ruang di perkotaan. Di desa, banjir lebih diakibatkan meluapkan air di hulu sungai, akibat pembabatan hutan secara liar.

Di kota banjir, karena terjangan hujan yang tidak terserap ke dalam tanah, akibatnya mengumpul di bantaran-bantaran sungai, bahkan kanal-kanal buatan, yang seakan tak kuasa menahan debit air pada saat intensitas hujan sangat tinggi. 

Jakarta, misalnya gedung-gedung beton pencakar langit dianggap sebagai biang kerok. Resapan air tanah, sangat terbatas, terhalang oleh beton-beton dan aspal. 

Drainase mampet, karena ulah orang-orang kota yang jorok, sembarangan membuang sampah. Juga, mampet karena aliran air tidak lancar, karena di kiri kanan got banyak pondasi bangunan. Kota jakarta, bahkan diramakan tenggelam, karena naiknya permukaan air laut, juga susahnya air hujan dalam debit yang besar meresap ke dalam tanah. 

Padahal, bicara banjir Jakarta, sudah dari dulu terjadi. Sejak awal abad 19, atau tahun 1800an, konon Jakarta sudah mengalami banjir. Kaum cerdik pandai, cendekia, sudah banyak yang menganalisis juga memberi solusi. Bahkan kanal-kanal buatan sudah dibangun.

Namun, Jakarta tetap banjir. Bahkan siklus banjir 5 tahunan, seperti kabar yang mengerikan. Juga kisah yang memilukan.

Ibukota banjir, bukan hanya di pinggiran, bahkan sampai ke istana, pusat pemerintahan. Hmmm...bicara banjir Jakarta, tak ada habisnya, semua seperti sudah terlambat. Tinggal pasrah kepada alam saja. Semoga alam semakin bersahabat saja dari waktu ke waktu. Sambil berbenah sebisanya, semampu mungkin. Hanya itu sepertinya yang bisa dikerjakan. 

Ah,,,bicara banjir di Indonesia, bukan hanya Jakarta. Banyak lagi, contoh-contoh lain di berbagai tempat dari kampung hingga kota. Dari gubuk derita hingga istana. 

Semuanya terancam banjir. Apa pasal? Banyak pengamat tata kota, menyalahkan sistem tata ruang dan master plan kota. Para aktivis lingkungan, banyak menyoroti tentang perusakan lingkungan dan hutan. Semuanya benar adanya. Tapi kita lupa belajar dari kearifan lokal juga kearifan masa lalu. 

Mitigasi Banjir dalam Rekam Arkeologi

Bicara waspada banjir, sebenarnya bicara tentang mitigasinya. Sepertinya juga kita bisa berkaca dari masa lalu. Beberapa data arkeologi mendeskripsikan dengan jelas bagaimana Kolonial Belanda, membangun pertahanan yang baik, bukan saja terhadap musuh, juga terhadap ancaman alam, terutama banjir. Soal ini, tidak ada salahnya kita berkaca pada masa lalu, juga belajar dari Belanda. 

Perhatikan dan lihat lagi sendiri, benteng-benteng besar pertahanan Belanda dulu, selalu dikelilingi kanal, yang langsung berhubungan ke laut. Jika saja, sistem drainase sejak dulu kala, dipikirkan. Mungkin banjir kanal, sudah dibuat jauh-jauh hari mengelilingi kota-kota yang berpotensi banjir.

Di zaman Hindia Belanda, drainase-drainase ditata sedemikian rupa, menjadi bagian dari landmark kota, sehingga wilayah ini harus bebas hambatan. Namun zaman sekarang, sistem drainase yang sudah dibuat pada masa pemerintahan Belanda ditimbun dan dibangun jalan aspal.

Akibatnya, aliran air terhambat. Di mana-mana genangan air terlihat dalam debit yang tinggi, akhirnya meluap, membuat banjir dalam kota.

Masa lampau, sesungguhnya sudah mengajarkan tentang alam, sehingga bisa menjadi rujukan dalam proses mitigasi bencana, termasuk banjir. Saya ambil contoh, Beberapa kampung-kampung kuno, yang mungkin umurnya sudah ribuan tahun dari sekarang, leluhur membangun parit-parit yang mengelilingi tembok pertahanan. 

Saya beberkan contoh yang saya tahu, kampung kuno di Pulau Lakor, Maluku Barat Daya. Di perkampungan tradisional Serra, di Pulau Lakor yang mungkin sudah berumur ratusan atau ribuan tahun lalu, mereka sudah mengenal pembuatan kanal yang mengelilingi kampung.

Mereka membuat kanal batu. Kanal batu merupakan bangunan penyekat antara pagar keliling luar dengan pagar keliling dalam. Di antara kedua pagar tersebut terdapat sebuah kanal yang mengelilingi pusat kampung, sehingga sebelum memasuki kampung akan betemu dulu dengan kanal tersebut.

Dasar kanal berupa batu-batu alam pembentuk dari dataran ini sehingga dasar kanal akan tampak bergelombang sesuai dengan kontur dataran tersebut. Bangunan kanal ini posisinya mengelilingi kampung mulai dari pintu gerbang sampai pada pinti gerbang kembali. 

Dibuatnya kanal, oleh leluhur masyarakat di Pulau Lakor, Kabupaten Maluku Barat Daya itu, tentu saja ada maksud. Menjebak musuh, yaitu suku-suku lain pada masa perang suku di masa lampau. Juga melindungi kampung dari ancaman banjir.

Betapapun sederhana dan kecilnya kampung masa lampau dibandingkan sekarang, tapi setidaknya mereka sudah memiliki kecerdasan lokal (local genius), juga kearifan lokal (local wisdom) dalam menata lingkungannya. Juga kecerdasan lokal dalam mitigasi bencana (banjir).

Kearifan Lokal Menata, Menjaga, dan Melestarikan Lingkungan

Dalam dunia sekarang yang lebih kompleks, sebenarnya, kearifan lokal masa lampau, dalam konteks ruang dan waktu bisa diadaptasi, bisa diadopsi, jika saja kita melihat masa lampau, sebagai sebuah pelajaran berharaga dan penting. 

Tidak ada satupun pelajaran dari masa lampau, yang tidak bisa diambil hikmahnya. Cara berpikir masyarakat kekinian, yang meremehkan masa lalu, adalah ciri masyarakat yang tidak memiliki jati diri. 

Jika bicara soal kearifan lokal tentang menjaga dan melestarikan lingkungan, banyak contoh yang bisa dibeberkan pada komunitas-komunitas adat di Indonesia. Saya mengambil satu dua contoh saja. Jauh sebelum ada kebijakan atau aturan pemerintah soal hutan lindung ataupun cagar alam, masyarakat sejak dulu kala memiliki mekanisme lokal seperti itu. 

Di Maluku, di Pulau Seram, ada istilah Hutan Larangan, di Seram Bagian Barat. Meskipun informasi yang sampai kepada kita, bahwa hutan larangan, tidak boleh dimasuki oleh siapapun, karena untuk di hutan itu, ada sebuah tempat di dalam hutan melakukan ritual Kakehan (ritual masyarakat suku asli di Pulau Seram). Namun sebenarnya, ada pesan tersirat, bahwa hutan tidak boleh dirambah, apalagi di rusak.

Karena dengan merusak hutan, apalagi menebang pephononan di dalam hiutan larangan itu, berakibat banjir untuk penduduk kampung. Pesan tersirat itu bersifat simbolik, berhubungan dengan ritus.

Namun secara kontekstual, hutan larangan itu adalah sebuah mekanisme, cara masyarakat melindungi hutan juga sekaligus melindungi kehidupan manusia. Salah satunya dari ancaman banjir. 

Demikian, manusia yang hidup sekarang ini, dalam kondisi yang lebih kompleks, tetap harus berlajar dari masa lampau, belajar dari kearifan masa lalu dalam membangun kearifan lingkungan menjaga dunia kampung, dunia kota yang sekaligus makrokosmos tempat manusia berpijak dan hidup. Lagi-lagi tentang keseimbangan kosmos. Keseimbangan antara manusia dengan alam dan Tuhannya. 

Sekian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun