Dibuatnya kanal, oleh leluhur masyarakat di Pulau Lakor, Kabupaten Maluku Barat Daya itu, tentu saja ada maksud. Menjebak musuh, yaitu suku-suku lain pada masa perang suku di masa lampau. Juga melindungi kampung dari ancaman banjir.
Betapapun sederhana dan kecilnya kampung masa lampau dibandingkan sekarang, tapi setidaknya mereka sudah memiliki kecerdasan lokal (local genius), juga kearifan lokal (local wisdom) dalam menata lingkungannya. Juga kecerdasan lokal dalam mitigasi bencana (banjir).
Kearifan Lokal Menata, Menjaga, dan Melestarikan Lingkungan
Dalam dunia sekarang yang lebih kompleks, sebenarnya, kearifan lokal masa lampau, dalam konteks ruang dan waktu bisa diadaptasi, bisa diadopsi, jika saja kita melihat masa lampau, sebagai sebuah pelajaran berharaga dan penting.Â
Tidak ada satupun pelajaran dari masa lampau, yang tidak bisa diambil hikmahnya. Cara berpikir masyarakat kekinian, yang meremehkan masa lalu, adalah ciri masyarakat yang tidak memiliki jati diri.Â
Jika bicara soal kearifan lokal tentang menjaga dan melestarikan lingkungan, banyak contoh yang bisa dibeberkan pada komunitas-komunitas adat di Indonesia. Saya mengambil satu dua contoh saja. Jauh sebelum ada kebijakan atau aturan pemerintah soal hutan lindung ataupun cagar alam, masyarakat sejak dulu kala memiliki mekanisme lokal seperti itu.Â
Di Maluku, di Pulau Seram, ada istilah Hutan Larangan, di Seram Bagian Barat. Meskipun informasi yang sampai kepada kita, bahwa hutan larangan, tidak boleh dimasuki oleh siapapun, karena untuk di hutan itu, ada sebuah tempat di dalam hutan melakukan ritual Kakehan (ritual masyarakat suku asli di Pulau Seram). Namun sebenarnya, ada pesan tersirat, bahwa hutan tidak boleh dirambah, apalagi di rusak.
Karena dengan merusak hutan, apalagi menebang pephononan di dalam hiutan larangan itu, berakibat banjir untuk penduduk kampung. Pesan tersirat itu bersifat simbolik, berhubungan dengan ritus.
Namun secara kontekstual, hutan larangan itu adalah sebuah mekanisme, cara masyarakat melindungi hutan juga sekaligus melindungi kehidupan manusia. Salah satunya dari ancaman banjir.Â
Demikian, manusia yang hidup sekarang ini, dalam kondisi yang lebih kompleks, tetap harus berlajar dari masa lampau, belajar dari kearifan masa lalu dalam membangun kearifan lingkungan menjaga dunia kampung, dunia kota yang sekaligus makrokosmos tempat manusia berpijak dan hidup. Lagi-lagi tentang keseimbangan kosmos. Keseimbangan antara manusia dengan alam dan Tuhannya.Â
Sekian