Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bersakit-sakit dahulu, Bercerai Kemudian: Itu Deritamu!

4 September 2020   10:42 Diperbarui: 4 September 2020   11:20 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://primaradio.co.id/

Itu hal yang jamak, mungkin semua orang mengalami. Ada yang mampu melewatinya, tapi tak sedikit yang kemudian jatuh dan gagal? Apa pasal? ya itu tadi, semua tergantung jiwa-jiwa yang ada dalam setiap insan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Jiwa-jiwa yang dibangun oleh setiap insan pengguna jiwa, dalam memahami arah dan tujuan hidup dirinya.  

Jadi ketika ramai kasus perceraian di Bandung, maka itu sesungguhnya adalah fenomena gagalnya insan-insan mempertahankan usaha penyatuan perbedaan. Gagalnya upaya dua jiwa mempertahankan keseimbangan. Kegagalan mempertahankan keseimbangan, membuat dua insan saling melupakan janji saling berserah dan saling menerima. Melupakan keteguhan komitmen. Melupakan usaha pemuliaan diri setiap insan. Itu kenapa perceraian itu di benci. Perceraian, dalam skema pandangan individu dua insan, artinya melepaskan diri dari rasa saling dalam proses menyatukan dirinya. 

Dalam skema sosial, perceraian mencerabut dan bisa jadi merusak tatanan rasa sosial, karena mengorbankan jiwa-jiwa dari anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan. Bahkan juga rasa sosial dua keluarga dari kedua orang tua pasangan. Tak jarang bukan, perceraian menjadi bibit permusuhan dua besan berturut keluarga-keluarga lainnya. Meskipun itu hanya contoh kecil, karena tidak sedikit persaudaraan keluarga dari masing-masing tetap terjaga atau tidak terpengaruh oleh perceraian. Tapi anak-anak pasti menjadi korban pertama dari sebuah perceraian. Sekali lagi, itu kenapa perceraian dibenci!. 

Banyak contoh tentang hal proses perjalanan keluarga di kehidupan nyata. Namun, coba kita bayangkan, bilamana yang terjadi, dua insan saling jatuh cinta, lalu mensahkan rasa saling cinta itu melalui ritual sakral lembaga pernikahan. Kadangkala rasa saling yang begitu besar. Awalnya. Bahkan ibaratnya makan nasi dan garampun akan dilalui (itu dulu, sekarang mah enggak lah yauw, hehehe) demi bisa hidup bersama karena cinta (itu dulu, sekarang mah makan tuh cinta). 

Artinya, seringkali kita menjumpai keluarga yang dibangun dengan dasar jiwa yang saling berkomitmen, susah payah untuk tetap bersama, meskipun hidup pas-pasan, karena komitmen atas dasar saling cinta, semua dijalani dan berhasil melalui ujian keluarga, yang mudah saya contohkan kehidupan ekonomi. Semua bisa saling menerima dan bertahan, bahkan sampai kehidupan ekonominya membaik, bahkan terus berkembang dan sukses. Saling menjaga dan mempertahankan keseimbangan, ujian hidupnya dilalui dan berhasil. adalah sebuah contoh keberhasilan membangun kehidupan keluarga. 

Sebaliknya, ada proses perjalanan keluarga yang dilalui awalnya sebuah pernikahan yang bahagia, kehidupan ekonomi mencukupi atau bahkan misalnya terbilang sukses, namun banyak batu sandungan, batu ujian dalam kehidupan rumah tangganya. Seringkali kemampuan ekonomi mempengaruhi cara berpikir dan bertindak. 

Semua serba ada, dianggapnya kunci bahagia. Lalu ketika ada batu ujian, misalnya karena masa pandemi ini. Kehidupan ekonomi terganggu, kebutuhan mulai seret, lambat laun merasa serba kekurangan. Dan bahagia dianggapnya sudah menghilang. Lalu dianggapnya itu menjadi derita. Pun kemudian berpisah dianggap satu-satunya jalan keluar dari kondisi derita itu. Kondisi itu sepertinya tidak salah kalau digambarkan sebagai sebuah perjalanan yang bersakit-sakit dahulu, bercerai kemudian. Itu sudah pasti derita sesungguhnya. 

Ada keluarga dibangun, dilalui melalui pernikahan karena atas dasar cinta, namun rasa saling berserah dan menerima tidak paripurna. Jiwa-jiwa dua insan hanya dilandasi perihal rasa yang sesaat, lalu pudar setelahnya, seiring waktu yang berkarat. Ada pula keluarga dibangun melalui pernikahan tanpa dasar cinta, ada yang bertahan ada yang kemudian sekarat dan gagal. Namun tak sedikit juga yang terjaga, rasa saling cinta dibangun seiring rasa saling percaya. Saling berserah dan menerima, karena satu tujuan bersama, memuliakan hidupnya, kodrat sebagai manusia. 

Intinya, perjalanan hidup manusia, apapun yang kita rencanakan, kita lalui, dan kemana berakhir muara, semua didasari oleh tujuan hidup kita, memuliakan hidup menurut kodrat kita sebagai manusia. #SelfReminder

Salam bahagia selalu.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun