Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bersakit-sakit dahulu, Bercerai Kemudian: Itu Deritamu!

4 September 2020   10:42 Diperbarui: 4 September 2020   11:20 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://primaradio.co.id/

Pernikahan adalah simbol penyatuan diri dua insan yang saling menepati janji. Pernikahan itu sebuah ritual pernyataan diri bahwa saya dan kamu yang satu, tunggal dan sendiri menjadi kita yang bersama, dwitunggal, kita yang tak lagi tunggal dan melahirkan kemajemukan. Itu pasti, hukum alam, sebab ketika kita menyatakan diri untuk berjanji hidup bersama, menikah dan berkeluarga, sesungguhnya itu ritual sakral, karena dari situ semua mengalir secara alamiah memiliki anak, memiliki keturunan dan seterusnya. 

Artinya, fungsi kita yang tunggal dengan melakukan pernikahan berarti kita melakukan fungsi kodrati, secara biologis kita menjalankan fungsi dan peran kita sebagai mahluk hidup, yang memang sudah digariskan oleh Tuhan, Allah SWT untuk berpasang-pasangan. Demikian sesungguhnya filosofi keseimbangan diciptakan. Keseimbangan berarti, menyatunya dua perbedaan, untuk saling menjaga dan mempertahankan keadaan penyatuan itu sendiri. 

Namun jauh soal itu, kita juga menjalankan fungsi dan tugas kita sebagai mahluk sosial, membentuk keluarga dan lingkungan sosial baru. Seorang laki-laki individu yang tunggal, sendiri dan satu, begitu menikah dia disebut suami, dan ketika punya anak dia disebut ayah. Predikat itu, selain melekat fungsi alamiahnya sebagai seorang mahluk hidup tunggal yang kemudian berpasangan dan memiliki keturunan, juga berfungsi ganda dalam kehidupan sosial, karena dia menyandang predikat sebagai kepala keluarga. 

Kenapa saya sebut, pernikahan itu melahirkan kemajemukan? Tentu saja, karena kita yang tunggal, kemudian harus mau menerima perbedaan, dari fisik seorang wanita, seorang istri berikut segala perbedaan tingkah laku dan sifat. Suami dan istri, itu kemajemukan tingkat pertama dari sebuah pernikahan. 

Lalu, melahirkan anak-anak yang satu sama lain tidak ada yang sama sifat dan karakternya, juga tak ada yang sama persis wajahnya, meski kembar siam sekalipun, pasti ada pembeda. Menikah dan memiliki anak, adalah kemajemukan tingkat kedua dalam perkawinan. Dan seterusnya, tingkat kemajemukan semakin kompleks, ketika bercucu, cicit dan sebagainya. Setiap individu berpotensi melahirkan kemajemukan-kemajemukan baru dan dalam skala sosial yang besar, berbagai keluarga saling bertemu. Melahirkan keluarga dan persaudaraan yang majemuk. 

Secara kodrati baik biologis maupun sosiologis, sebenarnya pernikahan itu awalnya lahir dari sebuah cita-cita luhur untuk membangun keluarga dan persaudaraan. Secara alamiah dan naluriah, ketika seorang saling jatuh cinta, maka ia sesungguhnya dalam proses menuju menciptakan sebuah llingkungan sosial yang baru, yaitu keluarga. Kenapa? iya karena setiap individu laki-laki dan perempuan, begitu saling jatuh cinta, secara alamiah dan naluriah, timbul hasrat untuk saling bercinta. 

Setelah bercinta, setiap pasangan berpotensi melahirkan keturunan dan membentuk keluarga baru. Lalu, kemudian disahkan dalam lembaga pernikahan oleh agama dan pemerintah. Jadilah, sepasang suami istri yang sah baik secara agama maupun secara hukum dan aturan pemerintah. Dalam hal ini, agama dan pemerintah mengatur kelembagaannya. Agama dan pemerintah sebenarnya melembagakan cinta. Itu prinsipnya. 

Betapa indah bukan ritual sakral yang disebut pernikahan. Terang saja, karena pernikahan adalah pelembagaan dari sebuah rasa setiap insan, yang saling jatuh cinta. Dan setiap insan yang saling jatuh cinta dan kemudian mensahkan dirinya dalam pernikahan adalah upaya pemuliaan dirinya sebagai manusia. Berbeda dengan mahluk lain, saling jatuh cinta dan bercinta kapan saja, tidak perlu melalui lembaga pernikahan, karena mahluk lain selain manusia, tidak pernah berpikir untuk memuliakan dirinya. Sedangkan manusia sejati, selalu berpikir memuliakan dirinya, memuliakan hidupnya. Begitulah kodrat manusia sesungguhnya diciptakan oleh Sang Maha Pencipta. 

Namun yang pasti, pernikahan itu memang sakral, karena pernikahan yang paling purbapun, itu dimulai karena ada jiwa-jiwa saling jatuh cinta. Lalu ada keinginan untuk selalu bersama dan menyatakan serta menyatukan diri untuk terus bersama. Setiap pernikahan ada ikatan sumpah. Sumpah yang tidak hanya sebuah teks yang dibaca menurut aturan agama dan pemerintah. Namun sesungguhnya ada sumpah yang lebih tinggi lagi soal itu, yakni sumpah dari jiwa-jiwa saling kasmaran, sumpah yang lebih hakiki, yaitu dari lubuk hati sanubari setiap insan secara kodrati.

Karena pernikahan adalah simbol memuliakan cinta, memuliakan kehidupan, maka pernikahan yang sakral itu selalu ada upaya saling menerima dan saling berserah. Ada komitmen untuk saling berserah diri, ada keteguhan jiwa untuk saling menerima pula satu sama lain. Saling berserah dan saling menerima diri, adalah ruh dari jiwa pernikahan itu sendiri. Sesungguhnya.

Apakah saling menerima dan saling berserah itu cita-cita yang utopis? Bisa ya, bisa juga tidak. Semua tergantung masing-masing pasangan tentang bagaimana memahami cara memuliakan dirinya sebagai manusia. Adakalanya, keluarga bahagia, dilalui dengan berbagai cobaan dalam perjalanan hidupnya. Ketidakcocokan, egoisme, cemburu, benci dan sebagainya, seringkali menjadi batu sandungan dan ujian pernikahan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun