Tak mengherankan, jika sejak episode kedatangan para pedagang asing, lambat laun tradisi penggunaan gerabah semakin berkurang, dan jika melihat saat ini, di nusantara sangat sedikit tempat seni kriya gerabah yang masih bertahan. Jadi, tradisi gerabah yang masih bertahan hingga kini, perlu terus dipertahankan dan dilestarikan.
Tradisi membuat gerabah di nusantara hingga kini sebagian kecil masih bertahan, di tengah modernisasi peralatan rumah tangga yang semakin maju. Meskipun hanya sedikit saja, tempat-tempat di nusantara, namun tradisi kuno ini membuktikan tradisi seni kriya membuat perkakas dari tanah liat itu budaya asli nusantara yang tetap bertahan di tengah badai alih teknologi yang semakin meninggalkan masa silam.Â
Di Sulawesi Utara pun demikian. Saat ini hanya ada satu tempat pengrajin gerabah, yakni di Pulutan, Kabupaten Minahasa. Tradisi gerabah Pulutan, sudah lama sekali.Â
Di Sulawesi Utara, sebelumnya juga dikenal tradisi pembuatan gerabah di Kepulauan Talaud, di tempat yang hampir sama yakni Pulutanna. Namun di tempat itu, tradisi membuat gerabah sudah hilang sejak sekitar tahun 80-an.Â
Apakah ada hubunganya antara Pulutanna di Talaud dengan Pulutan di Minahasa? Bisa jadi seperti itu, mengingat perkembangan tradisi gerabah, berkembang pesat seiring persebarannya pada masa silam.
Proses Pembuatan Gerabah
Tanah Lempung, tanah liat atau tanah lempung merupakan bahan yang terutama, untuk pembuatan gerabah di desa Pulutan. Tanah ini diambil dari kebun atau halaman di sekitar rumah penduduk.Â
Tanah liat yang berasal dari halaman rumah penduduk (pekarangan), biasanya tidak baik untuk membuat gerabah jenis besar; karena tanah liat jenis ini mengandung padas.Â
Tanah liat yang sesuai untuk membuat gerabah, adalah tanah liat yang diambil dari kedalaman  setengah hingga satu meter di bawah permukaan tanah.Â