Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Indonesia Bertutur: Merawat Kearifan Lokal Melalui Tradisi Tutur Nusantara

29 Agustus 2020   19:34 Diperbarui: 29 Agustus 2020   20:01 892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://arifsastra.blogspot.com/

Tradisi tutur nusantara, adalah salah satu bentuk kearifan lokal, tradisi menuturkan peristiwa sejarah dan peristiwa budaya yang sudah lama sekali dikenal, sejak dulu kala. Diperkenalkan oleh leluhur bangsa, sebagai sebuah bentuk kekayaan budaya, yang masih terus hidup hingga kini. Dan harus terus dirawat untuk menjaga Keindonesiaan. Menjaga kearifan lokal. 

Menurut Joko Pinurbo, penyair senior yang menjadi narasumber dalam sebuah diskusi daring mengatakan, bahwa tradisi seni bertutur adalah bagian dari sastra lisan yang diturunkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Sebelum kita mengenal puisi. Jauh sebelum sastra, novel dan sebagainya, yang tumbuh sekarang ini, sesungguhnya tradisi tutur ini jauh lebih dulu tumbuh di masyarakat.

 Cerita rakyat yang sangat dikenal misalnya saja mite atau mitos. Menurut Jokpin, panggilan populer Joko Pinurbo, misalnya sangat dikenal mitos tentang Nyai Roro Kidul, di kalangan masyarakat Yogyakarta ataupun masyarakat Jawa pada umumnya. Katanya, mitos Nyai Roro Kidul, sesungguhnya memiliki pesan yang sangat mendalam, untuk menydarkan manusia menjaga hubungan baik dengan alam dan lingkungannya. Dalam hal ini laut. Jadi mitos Nyai Roro Kidul, sebenarnya mengandung pesan, agar kita merawat atau menjaga laut. 

"Jadi memperlakukan alam dengan baik sebagai sesama mahluk hidup" kata Jokpin. Menurutnya nenek moyang kita menciptakan mitos, agar manusia tidak memperlakukan sewenang-wenang kepada alam. Bukan hanya mitos besar seperti Nyai Roro Kidul, bahkan ada mitos kecil, mislanya dulu saat masih anak-anak, kita sering mendengar orang tua kita, melarang anak-anaknya untuk bermain-main di dekat pohon besar, nanti 'kesambet'. Pesan moral dari mitos itu adalah agar kita tidak seenaknya menebang pohon, untuk menjaga kelestarian lingkungan, untuk menjaga keseimbangan alam. 

Contoh lain dalam mitos, misalnya tentang legenda Tangkuban Perahu, dalam legenda tersebut tokoh Sangkuriang yang mencintai ibunya sendiri. Dalam kacamatanya sebagai seorang penyair, Jokpin mengatakan, bahwa legenda Tangkuban Perahu, sesungguhnya mengungkapkan tentang pudarnya identitas diri. Sangkuriang tidak mengenal ibunya, ibunya tidak mengenal Sangkuriang, bahkan Sangkuriang tidak mengenal lagi lingkungan tempatnya dilahirkan.

Menurut Jokpin, cerita Tangkuban Perahu, sangat relevan dengan kondisi kekinian kita, yang banyak kehilangan identitasnya. "Jadi melalui sastra lisan, cerita rakyat mengandung pesan agar kita tidak kehilangan orientasi hidup" tandas Jokpin. 

Demikian, sekelumit narasi yang saya kutip dari Diskusi Daring, Diskusi daring Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui chanel Youtube @budayasaya, menampilkan topik yang menarik tentang Keindonesiaan, melalui tradisi bertuturnya. Diskusi yang dipandu oleh penyanyi Oppie Andaresta dengan narasumber Joko Pinurbo, seorang penyair asal Yogyakarta itu. Juga menampilkan beberapa narasumber dari berbagai wilayah di Indonesia, yang mengabdikan dirinya, berprofesi sebagai penutur cerita atau pendongeng hingga saat ini. 

Dalam artikel ini, saya memang tidak dalam posisi untuk rewriting, atau menuliskan kembali materi yang diperbincangkan dalam diskusi daring itu. Saya hanya mengutip sebagian kecil narasi yang ditampilkan oleh narasumber Joko Pinurbo, seorang penyair itu. Apa yang disampaikan oleh seorang Jokpin, cukup mewakili tentang narasi kearifan lokal yang tumbuh dan terus hidup dalam berbagai cerita rakyat yang berkembang.

Dari narasi yang saya kutip sebagaian kecil itu, saya hendak membandingkannya dengan pemahaman dan pengalaman saya menemukan tradisi lisan yang saya temukan di wilayah lain, di Indonesia. 

Di berbagai wilayah di Indonesia, sesungguhnya masih banyak tradisi tutur atau sastra lisan yang berkembang. Hanya saja, tidak banyak yang terungkap, karena tidak banyak yang mempublikasikannya. Sesungguhnya, tradisi-tradisi lisan atau sastra lisan itu jika dikemas dengan baik, akan tetap hidup dan bisa terus diakses oleh generasi saat ini.

Sudah saatnya, meskipun tradisi lisan atau sastra lisan sifatnya tuturan, lisan atau verbal, namun untuk tetap menjaganya agar selalu terjaga, perlu dikemas dalam bentuk tulisan, atau dituliskan, dibukukan atau dalam bentuk media yang lainnya, yang terlihat dan dapat disimpan. bukan hanya dalam ingatan, namun juga dalam ruang dan media yang bisa dibaca. 

Cerita-cerita dalam bentuk fabel misalnya, yang sangat terkenal dengan mempersonifikasikan tokoh binatang, seperti dalam fabel cerita Kancil dan Buaya, misalnya sesungguhnya ada pesan moral yang baik dalam berbagai fabel itu. Atau jika kita ingat kembali mitos dan legenda tentang Candi Loro Jonggarang, yang dibangun dalam semalam. Mitos itu sebenarnya sudah dituliskan, sehingga masih bisa tetap hidup karena bisa dibaca, dan tidak hanya ada dalam ingatan kepala, tetapi tersedia dalam ruang atau media yang bisa dibaca. 

Kearifan lokal dalam mitos Candi Loro Jonggrang, yang dibangun oleh tokoh Bandung Bondowoso, bisa dipetik pesan moralnya. Dalam khasanah arkeologi, yang seringkali tidak bisa dilepaskan dengan cerita-cerita seputar mitologi, soal Candi Loro Jonggrang, yang lebih dikenal sekarang sebagai Candi Prambanan, adalah selain memiliki pesan moral, juga tafsir kebudayaan yang sangat tinggi.

Para arkeolog, bisa menerjemahkan mitos pembangunan Candi Prambanan yang dikerjakan dalam semalam oleh tokoh Bandung Bandowoso, sebagai sebuah tafsir kebudayaan, bahwa pada abad 9 Masehi, organisasi sosial pada masa Mataram Kuno itu sudah demikian sistematis. Jadi, arkeolog seperti saya, misalnya mengintepretasikan, bahwa pembangunn Candi Prambanan, bisa jadi melibatkan seribuan orang pekerja, pada masa itu. Tidak ada satupun cara, membangun Candi Prambanan, tanpa ada 'gawe besar' melalui gotong royong dan kerjasama. 

Relasi kekuasaan antara penguasa Rakai Pikatan dengan rakyatnya, yang mampu diorganisir untuk bergotong royong membangun candi megah itu. Itu interpretasi umum, belum lagi jika ada interpretasi berdasarkan relief-relief yang tertera di panil-panil candi. Untuk soal ini, saya bukanlah ahlinya, karena untuk memahaminya, ahli arkeologi klasik, lebih paham. Namun prinsipnya, bahwa di dalam mitologi seperti legenda Loro Jonggrang, pesan moral ataupun tafsir kebudayaan bisa muncul karenanya. Melalui simbol-simbol budaya tertentu, tentu saja. 

Jadi legenda Loro Jonggrang yang meminta dibuatkan candi seribu dalam semalam jadi, memiliki pesan moral bahwa 'gawe besar' hanya bisa dikerjakan melalui pengorganisasian yang besar, gotong royong masyarakat secara bersama, yang melibatkan orang dalam jumlah yang masif atau banyak, juga tentu saja pesan moral lainnya, bahwa rakyat patuh terhadap raja atau pemimpinnya, sehingga apa yang diperintahkan pemimpinnya, wajib diikuti. Tentu saja berdasarkan azas kepatutan, azas ketaatan dan azas hukum dalam ruang dan waktu dimana zaman dilalui.

Kembali ke soal tradisi lisan atau sastra lisan, di Indonesia tumbuh subur di berbagai daerah. Sebagaimana di awal, bahwa dalam sastra lisan, selalu mengandung pesan moral atau makna mendalam, juga tafsir kebudayaan yang tinggi, sebagai ungkapan untuk melihat bentuk-bentuk kearifan lokal dan juga jati diri bangsa. Saya ingat di Maluku misalnya, dimana saya pernah bekerja sebagai peneliti arkeologi selama kurang lebih 12 tahun. Saya banyak menjumpai beberapa tradisi atau sastra lisan yang berkembang.

Di wilayah Maluku, tradisi atau sastra lisan dikenal dengan sebutan atau nama Kapata, yang diartikan sebagai tradisi menuturkan atau menceritakan peristiwa sejarah dengan cara membacakan syair-syair yang dinyanyikan. Sastra lisan seperti itu juga terdapat di wilayah lain, di banyak tempat di Indonesia.

Di Maluku, dalam syair Kapata, mengandung berbagai pesan moral dan makna yang dalam tentang suatu peristiwa sejarah, atau peristiwa budaya. Hingga ini, beberapa orang, terutama tokoh-tokoh tua atau tokoh-tokoh adat di desa-desa adat (negeri), pada umumnya masih bisa menuturkannya. Berikut saya contohkan salah satu tradisi tutur yang saya ketahui dan masih dikenal oleh masyarakat, terutama di Pulau Haruku, Maluku Tengah, sebagai berikut: 

Hena masa ami
Loto Eri Alaka
Puna Isa Amarima Hatuhaha
Am Olo olo rumae sigito
Epaune ite kiberatu kira rorio 

Hena masa ami
Loto eri alaka
Tanita etautalu masok maso susoki
Elamita
Kurue uma huru ima kuru kurue
Kuru rai eta hurariu
Wele wele kuriala weleo
Lai paruttu eke haturesio nakoke rakanyawa 

Terjemahannya :

Dahulu kala,
Kami berada di Alaka
Jadi satu persekutuan Lima Negeri Di atas batu (pulau)
Kami mendirikan rumah, yaitu masjid
Ia melindungi kita, persekutuan besar
Dulu kala, kami berada di Alaka
Gunung ya gunung hampir-hampir tiba,namun tetap gunung
Turun terus turun Turun menuju Hulaliu
Berseru-seru berkeliaran, sambil tetap berseru untuk datang berkumpul 

Di Hulaliu, pelabuhan rakanyawa 

Tradisi tutur yang begitu indah bak syair puisi pujangga itu sesungguhnya memiliki makna yang sangat dalam. Tradisi tutur atau sastra lisan, yang dituturkan oleh salah seorang tokoh adat di Desa Hulaliu, Kecamatan Pulau Haruku, Maluku Tengah itu sesungguhnya merupakan tuturan yang menceritakan peristiwa sejarah.

Ketika masyarakat Hulaliu masih menjadi satu kampung di gunung yang dikenal sebagai Bukit Alaka, dengan kelompok negeri lainnya yakni Rohomi, Pelauw, Kabauw dan Kailolo. Sebelum mereka tinggal di pesisir, mereka tinggal di atas gunung bersama, waktu mereka pertama kali mengenal agama Islam. Kemudian masuknya pengaruh Portugis, Hulaliu turun ke pantai dan memeluk Katholik/Kristen, namun persaudaraan secara adat tetap terjaga atau mereka tetap satu kesatuan persaudaraan secara adat.

Menariknya, dalam sudut pandang budaya material, data arkeologi di Pulau Haruku menunjukkan, corak arsitektur masjid kuno Hatuhahamarima, di Pulau Haruku, menggambarkan pula, apa yang dinyanyikan melalui sastra lisan Kapata tersebut. Tentang masjid kuno Pulau Haruku, sudah saya tulis sebelumnya di edisi Kompasiana sebelumnya. 

Jadi contoh tradisi tutur itu mengandung pesan moral yang sangat dalam, juga tafsir kebudayaan yang sangat tinggi, bahwa masyarakat Maluku sejak dulu kala, hidup dalam persaudaraan karena disatukan oleh adat. Meskipun saat ini memeluk agama yang berbeda-beda, namun secara geneologis, mereka tetap bersaudara. Hal ini karena awalnya sebelum mengenal agama modern seperti saat ini, mereka hidup bersama, dalam persekutuan adat yang sama. 

Itu hanyalah satu contoh saja dari sekian banyaknya tradisi tutur yang hidup di Maluku. Sayangnya, para penutur sekarang semakin berkurang. Tokoh-tokoh adat, tokoh-tokoh tua, sudah banyak yang tidak ada dan tidak adanya regenerasi yang bisa menggantikannya untuk tetap menjaga tradisi tutur itu tetap hidup. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Maluku, mungkin seluruh nusantara, mengalami kondisi yang sama. 

Beberapa pendongeng yang masih ada, seyogyanya mendapat perhatian yang terbaik dari pemerintah, juga perlunya upaya-upaya regenerasi, menuturkan suatu peristiwa, menuturkan sastra lokal dari generasi ke generasi. Indonesia sesungguhnya kaya sekali akan sastra, seni dan budaya, sehingga ini akan menjadi kebanggaan nasional, menjadikan identitas dan jati diri bangsa terus hidup dan berkembang.

Oleh karena itu, momentum Indonesia Bertutur: Merawat Kearifan Lokal dari Tradisi Tutur Nusantara, semestinya dipahami sebagai upaya menghidupkan panggung-panggung sastra daerah, sastra lokal. Menghidupkan tradisi tutur, tradisi lisan. Merawatnya dengan menyediakan ruang yang layak, menyediakan tempat terbaik bagi tumbuh dan hidupnya sastra lisan, tradisi tutur sebagai kekayaan sastra dan budaya di seluruh Nusantara, seraya memperbanyak penulisan-penulisan cerita rakyat yang bersumber dari tradisi tutur yang masih hidup di berbagai wilayah di Nusantara.

Salam Literasi...salam budaya...salam sastra lisan...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun