Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kota Ternate dan Gunung Gamalama: Kosmologi Kota Tua nan Magis

26 Agustus 2020   23:09 Diperbarui: 27 Agustus 2020   12:26 1963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kedaton Ternate. Sumber: Dokpri

Jika kita berkesempatan ke kota Ternate, sempatkanlah mengunjungi tempat-tempat bersejarah sambil kita mengelusuri lorong waktu, sejarah masa lalu hingga perkembangannya saat ini. Hmmm...tetapi sesungguhnya, semua sudut kota di Ternate itu bersejarah.

Semua orang pasti mengenal Ternate. Sebuah kota, dimana dulu menjadi pusat kekuasaan Islam di wilayah timur Nusantara, yang pengaruhnya konon bahkan hingga Filipina.

Sejarah Kota Ternate, tak bisa dilepaskan dengan sejarah Islam di Kepulauan Maluku. Ia menguasai lebih separuh wilayah-wilayah di Kepulauan Maluku. Dari utara ke selatan, dan barat ke timur.

Bersama Tidore, Ternate adalah penguasa, dari sisi politik kekuasaan, ekonomi perdagangan, bahkan sosial budaya. Wajah Kota Ternate hari ini, adalah wajah Kota Ternate yang masih meninggalkan jejak sejarah kejayaannya.

Jejak kejayaan masa lalu itu tak lekang dimakan waktu, tak tenggelam dalam hiruk pikuk perkembangan zaman. Hanya perlu dijaga dan dipertahankan, Jangan diperdebatkan. Kita tahu, belakangan ini Ternate semakin tampak menjadi kota yang berlapis metropolis.

Tapi Ternate sebagai kota tua bersejarah, kota multibudaya tetap terjaga. Karena hanya dengan menjaga aura sejarah masa lalunya, justru itu Ternate tetap kelihatan digdaya, perkasa sebagai kota yang dulu menjadi simbol tentang sebuah kejayaan.

Kedaton Ternate dan Kota: Simbol Kosmos Penghubung dan Penyatuan Dunia 

Setiap kali melihat Ternate, maka kemegahan Kedaton Sultan, adalah simbol yang memberi tanda tentang kejayaan Kesultanan Ternate tempo dulu.

Saat ini, Kedaton Ternate sudah lama ditinggalkan oleh pemimpinnya, seorang Sultan Mudaffar Syah, yang meninggal sekitar 2015 lalu, dan berkedudukan sebagai Sultan yang menduduki tahta terakhir.

Ternate, sebagai kota dan bandar niaga yang sangat maju di abad 16-17M, tentu menjadi kota yang menjadi lokus dan fokusnya pada pedagang dari berbagai mancanegara. Kota bergeliat di masa-masa itu. Pedagang Arab, Cina dan berikut Eropa silih berganti juga bercampur baur ke Ternate.

Kota yang tumbuh sejak ibu kotanya berpindah dari Foramadiahi, di atas bukit, ke pesisir pantai yang saat ini disebut Soa Sio. Untuk ulasan kali ini, cara pandang arkeologi, akan melihat hubungan Kota Ternate dengan Gunung Gamalamanya, yang keduanya bak sebuah frase kata yang tak bisa dipisahkan.

Justru keduanya, menggambarkan bagaimana Kota Ternate, sebagai kota tua yang penuh magis. Gunung dan kota merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, sementara kedaton itu sendiri berperan sebagai penghubung antara dunia gaib (gunung) dan dunia manusia (kota). Masyarakat lokal Ternate, mengenal benar konsep kosmologi gunung.

"Gedung adalah tempat orang-orang tertinggi dan termulia yaitu tempat bersemayamnya sultan-sultan yang diatas pundaknya beliau (serajul qulub/ cahaya hati ). Sultan- sultan islam yang diserahkan menurut adat takanda zulkarnain, keturunan sultan- sultan yang adil baik dan shaleh, yaitu sultan muhammad ali tenu serajurrahman beserta menteri-menteri dan semua orang besar bermusyawarah mencari suatu tempat yang layak untuk mendirikan kedaton /istana sebagai tanda kehormatan bagi keturunan beliau yang menjadi sultan pada akhir zaman...... ("walam yajd salamatuh haiya alaiya yaumil qiyamah"). Permulaan kedaton / istana ini dibangun pada hari "ahad" 30 hari bulan zulkaidah tahun 1228 hijriyah. 

Demikian, tulisan prasasti yang terdapat pada pintu masuk utama, Kedaton Ternate. Bangunan kedaton berbentuk segi delapan di atas bukit Limau Santosa, yang termasuk wilayah Soa Sio.

Di sisi depan menghadap ke selatan terdapat pintu gerbang yang disebut Ngara Opas (pintu penjaga). Sementara itu di sebelah timurnya ada bangunan yang dikenal dengan nama Ngara Lamo (pintu besar), yang tampaknya merujuk pada pengertian sebagai tempat berukuran besar yang difungsikan sebagai tempat untuk berunding atau musyawarah.

Bangunan kedaton Ternate berorientasi ke arah timur. Bentuk dan letaknya istana ini dilambangkan sebagai seekor singa sedang duduk di atas tempat yang tinggi dan menghadap ke timur, menggambarkan seorang raja yang duduk di atas takhtanya dan sedang memperhatikan dan melindungi rakyatnya dan ia selalu siap menerima resiko dan siap pula menerima tantangan serta cobaan yang selalu datang setiap saat.

Bukit menggambarkan takhta atau kedudukan Sultan yang tinggi. Menghadap ke timur menggambarkan selalu siap menerima datangnya matahari yang membawa rezeki dan tantangan serta godaan yang selalu datang setiap saat di waktu siang dan malam. Meski demikian, penempatannya yang persis di kaki gunung sebelah timur, menandai bahwa konsep gunung sebagai simbol kosmos tidak dilepaskan begitu saja.

Dalam konteks kosmologi kota Islam Ternate, tampaknya konsep Islam terintegrasi dengan kepercayaan lokal.

Istana atau kedaton berikut komponen pendukung yakni masjid dan alun-alun sebagai penanda pusat kota Islam, bagaimanapun tidak bisa dilepaskan dengan kepercayaan lokal terhadap gunung sebagai simbol pelindung, tempat bersemayamnya para leluhur gaib yang melindungi kota. Dunia gaib ini dimediasi oleh kedaton sebagai wilayah suci, menghubungkan antara dunia gaib dan dunia manusia (kota).

Kota Ternate, sebagai kota Islam, tampaknya tidak terlepas dengan konsep atau pemahaman budaya lokal sebagai basis filosofis dalam menata kota. 

Oleh karena itu selain pemahaman kosmologis didasarkan pada pemahaman Islam, namun, tampaknya unsur pemahaman lokal juga saling terintegrasi. Pemahaman kosmologis terhadap keberadaan gunung, adalah basis kosmologi yang dipahami masyarakat menurut aturan lokal.

Oleh karena itu, hubungan gunung dan kedaton dalam satu sumbu, merupakan bagian aspek kosmologi pusat kota. Tampaknya hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Coedes, 1963, bahwa peranan kosmologis sangat penting dalam penataan struktur kota kuno yang bersifat magis religius. Segala sesuatu ditempatkan menurut aturan alam, dewa, dan hubungan integrasi totalitas dunia.

Dalam konsep kosmologi Kota Ternate, antara gunung dan kedaton, memiliki sumbu saling tegak lurus antara puncak gunung dengan pintu masuk kedaton, baik di sebelah barat (belakang) hingga pintu depan kedaton (sebelah timur) hingga ke jembatan Sultan, menuju laut.

Hasil penelitian, menunjukkan antara gunung dan kedaton tidak ada areal pemisah yang digunakan sebagai aktivitas bermukim, hal ini menjadi penanda, bahwa antara gunung dan kedaton terjaga hubungan langsung, yang menjadi simbol bahwa gunung merupakan bagian dari simbol kosmos yang tak terpisahkan dengan kedaton.

Gunung Gamalama: Simbol Kosmos Dunia Suci

Kota Ternate dan G. Gamalama, dilihat dari arah laut menuju Sofifi. Sumber: Dokpri
Kota Ternate dan G. Gamalama, dilihat dari arah laut menuju Sofifi. Sumber: Dokpri

Gunung di sebelah barat, adalah simbol dunia gaib, sedangkan kota di sebelah timur, adalah simbol dunia manusia atau kota, yang melambangkan aktivitas duniawi manusia dan ditengah-tengahnya terdapat kedaton, sebagai pusat orientasi, pusat keramat kerajaan (negara) yang menjadi penghubung antara dunia gaib (gunung) dan dunia manusia (kota).

Melalui arah laut di sebelah timur kedaton, merupakan arah datangnya manusia dari berbagai penjuru dunia, yang membawa rezeki sekaligus berbagai cobaan, oleh karena itu di sebelah timur ditempatkan pelabuhan sultan.

Untuk menuju kedaton, tempat sultan bertahta dihubungkan melalui Jembatan Sultan yang diujungnya terdapat bundaran sehingga disebut Ujung Bundaran (Bululu Madehe).

Dengan konsep tersebut, orang Ternate memaknai alam semesta dalam kosmologi nilai-nilai adat di ruang interaksi sosial mereka dengan alam seperti gunung misalnya dianggap sebagai representasi sifat dan simbol Ibu (perempuan). 

Logika dan asumsi ini memandang bahwa layaknya seorang Ibu memiliki kodrat untuk melahirkan, sehingga terjadinya erupsi dipahami sebagai prosesi yang menyerupai tuntutan kodrat tersebut.

Sifat dan naluri keibuan lainnya adalah kasih sayang yang tidak ada batasnya, menciptakan rasa aman yang dalam serta merta memiliki naluri alamiah sebagai sumber kesuburan sehingga meskipun terjadinya bencana akan turut membuat tanaman menjadi subur. 

Terkecuali adanya ketidakselarasan atau melanggar keseimbangan alam maka diyakini akan melahirkan bencana dan merugikan bagi manusia itu sendiri.

Bagi orang Ternate, gunung dimaknai sebagai dunia suci karena menurut kepercayaan setempat Gunung Gamalama, dianggap sebagai tempat singgasana mahluk gaib dan tempat bersemayamnya para leluhur orang Ternate. Aktivitas gunung Gamalama yang berkelanjutan juga memunculkan adanya tradisi Kololi Kie, yang kini digelar rutin oleh masyarakat.

Menurut catatan yang ditulis oleh Rinto Thaib, yang saat ini menjabat sebagai kepala Museum Rempah Ternate, tradisi masyarakat Gamalama warisan nenek moyang ini berupa sebuah ritual tradisional mengitari Gunung Gamalama sambil mengunjungi sejumlah tempat dan makam-makam keramat.

Ritual ini dilakukan sebagai pengharapan agar Gamalama tidak meletus. Gunung Gamalama dipercaya memiliki banyak nilai-nilai keramat. Tak heran jika banyak mitos yang beredar, dan semakin memperkuat kekeramatan gunung ini.

Penempatan pusat kota di kaki gunung Gamalama sebelah timur, tentu dengan pertimbangan tertentu, diantaranya jika merujuk teori Catanese, 1986. Gunung Gamalama, mewakili aspek astrobiologis : konsep kosmologi berdasarkan ramalan dan pengetahuan tentang keadaan atau sifat dunia.

Dalam sejarah tidak ditemukan catatan bahwa daerah pusat kota, lokasi berdiri kedaton Ternate, terkena dampak letusan Gunung Gamalama. Nama Gunung Gamalama diambil dari kata Kie Gam Lamo ("negeri yang besar").

Gamalama sudah lebih dari 60 kali meletus sejak letusannya pertama kali tercatat pada tahun 1538 M. Erupsi yang menimbulkan korban jiwa setidaknya sudah empat kali terjadi, dengan korban terbanyak jatuh pada tahun 1775.

Kedaton Ternate dibangun oleh Sultan Muhammad Ali pada tahun 1813 M, melalui pertimbangan dan perencanaan yang matang, penempatan kedaton sebagai pusat kota kemungkinan mempertimbangkan faktor keadaan alam pada masa itu, yakni keadaan yang secara faktual menjelaskan bahwa meskipun seringkali gunung Gamalama meletus, namun daerah pusat kota tempat kedaton Ternate berdiri, terhindar dari dampak langsung letusan Gunung Gamalama.

Peta kerawanan bencana erupsi G. Gamalama. Sumber: Baharudin, Direktorat Vulkanologi, 1996 Sumber:
Peta kerawanan bencana erupsi G. Gamalama. Sumber: Baharudin, Direktorat Vulkanologi, 1996 Sumber:
Kondisi demikian, semakin menguatkan faktor keseimbangan kosmos dalam kepercayaan lokal, bahwa meskipun Gunung Gamalama seringkali meletus, namun sebagai simbol Ibu, gunung Gamalama juga melindungi pusat kota, yakni lingkungan Kedaton, Masjid Sigi Lamo dan alun-alun yang menjadi tanda wilayah sakral.

Meskipun pada masa Belanda, campur tangan pihak kolonial sangat kuat, namun dalam penentuan pusat kota, otoritas kekuasaan Islam dan pertimbangan aspek lokal sangat dijunjung tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun