Justru keduanya, menggambarkan bagaimana Kota Ternate, sebagai kota tua yang penuh magis. Gunung dan kota merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, sementara kedaton itu sendiri berperan sebagai penghubung antara dunia gaib (gunung) dan dunia manusia (kota). Masyarakat lokal Ternate, mengenal benar konsep kosmologi gunung.
"Gedung adalah tempat orang-orang tertinggi dan termulia yaitu tempat bersemayamnya sultan-sultan yang diatas pundaknya beliau (serajul qulub/ cahaya hati ). Sultan- sultan islam yang diserahkan menurut adat takanda zulkarnain, keturunan sultan- sultan yang adil baik dan shaleh, yaitu sultan muhammad ali tenu serajurrahman beserta menteri-menteri dan semua orang besar bermusyawarah mencari suatu tempat yang layak untuk mendirikan kedaton /istana sebagai tanda kehormatan bagi keturunan beliau yang menjadi sultan pada akhir zaman...... ("walam yajd salamatuh haiya alaiya yaumil qiyamah"). Permulaan kedaton / istana ini dibangun pada hari "ahad" 30 hari bulan zulkaidah tahun 1228 hijriyah.Â
Demikian, tulisan prasasti yang terdapat pada pintu masuk utama, Kedaton Ternate. Bangunan kedaton berbentuk segi delapan di atas bukit Limau Santosa, yang termasuk wilayah Soa Sio.
Di sisi depan menghadap ke selatan terdapat pintu gerbang yang disebut Ngara Opas (pintu penjaga). Sementara itu di sebelah timurnya ada bangunan yang dikenal dengan nama Ngara Lamo (pintu besar), yang tampaknya merujuk pada pengertian sebagai tempat berukuran besar yang difungsikan sebagai tempat untuk berunding atau musyawarah.
Bangunan kedaton Ternate berorientasi ke arah timur. Bentuk dan letaknya istana ini dilambangkan sebagai seekor singa sedang duduk di atas tempat yang tinggi dan menghadap ke timur, menggambarkan seorang raja yang duduk di atas takhtanya dan sedang memperhatikan dan melindungi rakyatnya dan ia selalu siap menerima resiko dan siap pula menerima tantangan serta cobaan yang selalu datang setiap saat.
Bukit menggambarkan takhta atau kedudukan Sultan yang tinggi. Menghadap ke timur menggambarkan selalu siap menerima datangnya matahari yang membawa rezeki dan tantangan serta godaan yang selalu datang setiap saat di waktu siang dan malam. Meski demikian, penempatannya yang persis di kaki gunung sebelah timur, menandai bahwa konsep gunung sebagai simbol kosmos tidak dilepaskan begitu saja.
Dalam konteks kosmologi kota Islam Ternate, tampaknya konsep Islam terintegrasi dengan kepercayaan lokal.
Istana atau kedaton berikut komponen pendukung yakni masjid dan alun-alun sebagai penanda pusat kota Islam, bagaimanapun tidak bisa dilepaskan dengan kepercayaan lokal terhadap gunung sebagai simbol pelindung, tempat bersemayamnya para leluhur gaib yang melindungi kota. Dunia gaib ini dimediasi oleh kedaton sebagai wilayah suci, menghubungkan antara dunia gaib dan dunia manusia (kota).
Kota Ternate, sebagai kota Islam, tampaknya tidak terlepas dengan konsep atau pemahaman budaya lokal sebagai basis filosofis dalam menata kota.Â
Oleh karena itu selain pemahaman kosmologis didasarkan pada pemahaman Islam, namun, tampaknya unsur pemahaman lokal juga saling terintegrasi. Pemahaman kosmologis terhadap keberadaan gunung, adalah basis kosmologi yang dipahami masyarakat menurut aturan lokal.
Oleh karena itu, hubungan gunung dan kedaton dalam satu sumbu, merupakan bagian aspek kosmologi pusat kota. Tampaknya hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Coedes, 1963, bahwa peranan kosmologis sangat penting dalam penataan struktur kota kuno yang bersifat magis religius. Segala sesuatu ditempatkan menurut aturan alam, dewa, dan hubungan integrasi totalitas dunia.
Dalam konsep kosmologi Kota Ternate, antara gunung dan kedaton, memiliki sumbu saling tegak lurus antara puncak gunung dengan pintu masuk kedaton, baik di sebelah barat (belakang) hingga pintu depan kedaton (sebelah timur) hingga ke jembatan Sultan, menuju laut.