Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kemajemukan: Dari Pemikiran, Kebijakan, hingga Tindakan, Sebuah Refleksi 75 Tahun Pendidikan RI

21 Agustus 2020   17:01 Diperbarui: 22 Agustus 2020   13:25 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Balitbang Kemendikbud

Kita merayakan 75 tahun kemerdekaan Indonesia. Namun 75 tahun juga kita hidup dengan beragam pemikiran, ideologi, identitas. Tentu Indonesia, dengan 17 ribu pulau, maka juga beragam konteks dan situasi menjadi tantangan Bangsa Indonesia untuk terus menghidupi kemajemukan dalam mempertemukan inisiatif-inisiatif dan juga karya-karya di bidang pendidikan maupun kebudayaan. Karena pada akhirnya, kemampuan untuk hidup di dalam ragam kemajemukan itulah arti kemerdekaan sesungguhnya, kemerdekaan yang paling hakiki. 

Di dalam 20 tahun terakhir, kemajemukan dalam pendidikan, dirasakan agak terkikis. Hal ini karena ada yang luntur dari kemajemukan budaya, hayati, geografi serta bentuk-bentuk kemajemukan lainnya, yang tidak saja dirasakan di lingkungan kita semata, namun juga di bagian-bagian lain tanah air kita. Keadaan itu berdampak pada lahirnya, kebijakan yang dirasa kurang universal dan relevan ketika kita ingin mengimplementasikannya secara langsung. 

Demikian, Amanda Witdarmono, Chief of Teachers’ Initiatives dari Zenius Education, sebagai host dan moderator dalam diskusi daring yang digelar Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud. Overview yang dilakukan Amanda, tentu saja menjadi materi yang akan diperbincangkan dan sekaligus memantik diskusi yang dibuka oleh Kepada Balitbang Kemdikbud, Totok Suprayitno.

Diskusi ini sendiri menghadirkan para inisiator-inisiator yang bekerja di garis depan kemajemukan, juga para akademisi-akademisi hebat yang memahami dan konsen dalam soal-soal Keindonesiaan dan kemajemukan.  Hadir sebagai narasumber dalam diskusi daring itu, antara lain Baihajar Tualeka, Pegiat Perempuan Perdamaian dan Penyintas Kekerasan Lintas Agama/Pendiri Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LAPPAN), Sr. Klemensia Kelen, Adm., Pegiat Pendidikan dan Lingkungan Hidup, Sovia Hane, aktivis dan penggiat lingkungan dari komunitas Trash Hero Belu, Karlina Supelli, Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan Prof. Dr. M. Amin Abdullah, Guru Besar Filsafat Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta/Ketua Komisi Kebudayaan, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

Totok Suprayitno, Kepala Balitbang Kemendikbud, dalam sambutannya mengungkapkan bahwa, dalam HUT 75 RI, Pendidikan di Indonesia, sudah berkembang pesat, terutama dalam hal akses, wajib belajar enam tahun, sembilan tahun, menyebabkan anak-anak Indonesia bisa bersekolah. Namun satu hal lain, bersekolah tidak selalu identik dengan belajar. Kita amati prestasi belajar anak, relatif tidak meningkat sesuai rencana dan harapan.

Hal yang paling menonjol adalah kurangnya nalar dan kreativitas. Hal ini terlihat dari berbagai assesmen yang dilakukan oleh Kemdikbud, pada umumnya anak-anak kita masih jauh dari tingkat penalaran level minumum yang kita harapkan. Kalau kita lihat lebih dalam, hal itu terjadi karena kreativitas dalam hal belajar dan mengajar itu sendiri. "Minimnya kreativitas menyebabkan matinya penalaran" demikian kata Totok Suprayitno, merefleksikan kondisi pendidikan di Indonesia. 

Menurutnya praktek-praktek pembelajaran seringkali masih berbasis pada buku yang satu, jawaban yang satu. Pemikiran-pemikiran dan ide yang satu atau tunggal ini dari para pendidik dan guru, dikhawatirkan menimbulkan pola pikir yang tunggal, tidak majemuk. "apapun yang dikatakan buku, dianggap sudah benar, tidak ada pemikiran alternatif sebagai pembanding, apapun jawaban yang diberikan kunci, dianggap sebagai kebenaran, tidak ada pemikiran 'how if', 'why not' dan sebagainya" Demikian Totok memberi ilustrasinya. Oleh karena itu, penalaran sangat dibutuhkan oleh generasi anak didik Indonesia.  

Dari sisi kebijakan, menurut Totok, mengelola Indonesia yang sangat majemuk ini, memang tidak mudah. Mengelola Indonesia yang sangat bervariasi agama, budaya, etnik dan bahasa juga tingkat sosial ekonomi yang beragam dengan konteks dan budaya yang sangat majemuk, itu tidaklah mudah. Namun demikian, tidak boleh juga dipermudah atau disederhanakan dengan kebijakan yang tunggal.

Jadi katanya, jika kita memang menghargai dengan sungguh-sungguh, respect full terhadap kemajemukan, maka kebijakannya juga harus mempertimbangkan kemajemukan  dan tindakan kita juga menghargai kemajemukan.  Setelah overview oleh Kepala Balitbang Kemdikbud, disusul kemudian pengalaman tindakan para pelaku, inisiator dan proponen kemajemukan dan pemikiran-pemikiran hebat para akademisi. 

Mula-mula, seorang muda Sovia Hane, penggiat lingkungan dari Komunitas Trash Hero Belu, dari Atambua menyampaikan pemikiran refleksif tentang kemajemukan Indonesia. Ia katakan bahwa kita semua masih dalam satu kapal, jadi perbedaan sebagai sebuah realitas, harus dipahami sebagai penggerak dalam kemajuan Keindonesiaan. Namun beberapa hal penting ia sampaikan terutama soal pendidikan di Indonesia.

Katanya, sistem pendidikan atau pembelajaran di Indonesia, belum sepenuhnya memberdayakan generasi Indonesia, katanya pula pendidikan kita masih menggantungkan substansinya pada angka dan poin atau skor, yang tercantum di raport-raport, ijazah dan sebagainya. Padahal bicara pendidikan bukan melulu soal skor dalam melihat mutu pendidikan Indonesia. 

Indonesia yang sangat majemuk, Indonesia yang banyak pulaunya itu disatukan oleh laut. Jadi laut adalah pemersatu Indonesia, bukan memisahkan pulau-pulau. Meski demikian, sistem pendidikan masih sangat Jawa sentris. Kita dari SD dulu diajarkan tentang "ini Budi" yang tidak dikenal ditempat lain, seperti di Atambua, yang tidak mengenal "Budi". Selain itu kami belajar batik, tapi kami tidak diajarkan tentang budaya kami sendiri yakni membuat tenun, sehingga kadang kami merasa terasing dari budaya kami sendiri. 

Kemajemukan juga dilihat dari kemajukan Tanah dan Air. Tanah di Jawa yang subur, berbeda dengan Tanah di Nusa Tenggara Timur yang kering. Sehingga memaknai kemajemukan, juga dengan cara menjaga tanah dan air. Tidak membuang sampah plastik sembarangan. Membuat tanah tidak subur. Membuang sampah plastik ke laut, menjadi mikro plastik dan dimakan oleh ikan, lalu ikan dimakan oleh manusia. Sesungguhnya itu berbahaya bagi manusia.

Problem lingkungan adalah problem serius, sehingga Sovia dan komunitasnya, melakukan clean up lingkungan pantai di pesisir Atambua. Misi Trash Hero Belu, menuju Atambua bebas sampah, karena kami mencintai Atambua, mencintai Indonesia, mencintai kemajemukan Indonesia, mencintai Indonesia dengan menjaga tanah air kita."Jangan pernah terlelap, jangan pernah tertidur, menjaga Keindonesiaan" tutup Sovia. 

Pengalaman menyentuh lainnya diungkapkan oleh Suster Klementia, dalam tayangan video yang ditampilkan dalam diskusi daring itu, kita bisa melihat aktivitas atau aksi Suster Klementia, mengajak anak didik umur 6-15 Tahun di Paroki Bunda Allah Santa Maria di Ponu. Pegiat pendidikan dan lingkungan ini, dengan tekun menginisiasi menanam berbagai jenis tanaman di lahan kering di Ponu, NTT di masa kemarau. Cara merawat kemajemukan, merawat Keindonesiaan, dengan cara menjaga tanah dan air di lingkungan tempat tinggalnya. 

Baihajar Tualeka, satu dari sedikit aktivis perempuan Maluku, yang mengalami langsung bagaimana kerentanan konflik, senantiasa menguji perdamaian di Indonesia. Sehingga kemajemukan adalah ragam konteks, warisan budaya yang harus dijaga dan dipelihara. Pendidikan adalah realitas, untuk meningkatkan rasa dan kepekaan sosial, untuk menguatkan Keindonesiaan. Maluku, yang pernah mengalami konlfik, maka kita berusaha selalu merajut perdamaian dari wilayah yang tersegregasi karena konflik. Kemajemukan adalah kekayaan warisan budaya, yang harus kita jaga dan justru karenanya kita bisa merajut nilai dalam memperbaiki kohesi sosial, meskipun dampak konflik sosial itu sempat mengganggu kohesi sosial itu. 

Namun harus diakui, dalam kehidupan sehari-hari, anak dan perempuan adalah kelompok yang paling rentan dari dampak konflik. Selain itu dalam kondisi kekinian, yakni kondisi pandemi, di banyak tempat gizi buruk mengancam anak-anak Indonesia, karena dampak orang tuanya yang kehilangan pekerjaan. Juga karena tingkat pendidikan orang tua yang sangat rendah, serta beberapa kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan juga meningkat. 

Ketika kita bicara pendidikan informal, untuk merubah perilaku para pelaku kekerasan, maka yang perlu diintervensi oleh negara adalah bagaimana melakukan diskusi, bersama suami istri untuk pola asuh keluarga yang lebih baik, yang ramah terhadap anak. Pola asuh ini untuk meningkatkan pendidikan keluarga berwawasan gender. Jadi dalam keluarga, peran domestik seorang perempuan bukan hanya tugas istri, namun dapat berbagi dengan peran dan tugas suami atau ayah di dalamnya.

Dalam situasi pandemi, tugas seorang ibu menjadi lebih berat, karena pola asuh dan sistem pendidikan, menyebabkan tugas seorang ibu menjadi lebih berat, selain tugas domestik mengasuh anak, juga dibebani dengan pendampingan atau menjadi guru di rumah. Inisiasi dan kreativitas dalam situasi pandemi, justru banyak dilakukan oleh para ibu, sehingga memang beban lebih berat. 

Menurutnya dalam situasi pandemi ini. Anak juga  harus belajar dari lingkungannya, anak diberi ruang untuk berpartisipasi. Bagaimana anak, bisa mengeksplorasi apa yang terjadi, dan bersama orang dewasa melibatkan partisipasi, dalam bersama memberi dukungan kepada anak. Orang dewasa berperan memberikan pendidikan tentang nilai. Anak bukan obyek, tetapi setara tentang hak pendidikan yang layak.  Anak tidak boleh terlalu terbebani dengan sistem pendidikan yang ada sekarang, karena bisa jadi membuat anak menjadi stress dan pada akhirnya tidak bahagia. Bahkan beberapa anak, mengalami ancaman terhadap kekerasan. 

Maka dibutuhkan pendidikan yang lebih integratif. Mendesain metodologi interaksi anak, sehingga anak belajar dengan bahagia. Kreatif dan inovatif dalam pendidikan anak dalam situasi sulit. Di Maluku, memberi ruang belajar anak tentang nilai-nilai kemajemukan. Anak-anak yang tinggal di Maluku, tersegregasi, maka perlu diajarkan tentang nilai-nilai kemajemukan dan nilai-nilai toleransi, agar anak menghargai dan saling menghormati, membuka ruang-ruang perjumpaan dalam perbedaan untuk merawat perdamaian. 

Prof Amin Abdullah, Guru Besar Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga, mengatakan pendidikan di tanah air, menghadapi situasi plural dari banyak aspek, jadi tantangan terhap kemajemukan. Pendidikan yang nalar ketunggalan, memang tidak relvan, tidak cocok untuk Indonesia yang majemuk. Sistem pengajaran di Jawa, dengan di Ambon, dengan di Atambua misalnya, memang sepertinya tidak bisa tunggal, tidak bisa diseragamkan. 

Menurut Amin Abdullah, ada pesan persirat dengan pintu masuk lingkungan, aksi nyata membina lingkungan, adalah tema paling netral untuk dikerjakan bersama. Bahwa narasi kemajemukan berpikir, itu sangat bagus sekali  dan relevan dalam ruang kemajemukan Indonesia. Hal ini paling perlu dikedepankan dalam sistem pendidikan Indonesia. Kemajemukan berpikir, mensaratkan pendidikan Indonesia tidak boleh anti realitas. Realitas Atambua, realitas Ambon, berbeda dengan dengan realitas Jawa, Sunda dan sebagainya. Pendidikan memangtidak boleh anti realitas, karena realitas kita berbeda antara satu dengan yang lain. 

Desentralisasi dan sentralisasi kesannya hanya manajemen, belum do way to think, belum do way to good live. Kadangkala, kita melupakan bahwa berpikir itu beragam, sehingga muncul intolerasi. Intoleransi muncul karena kurang cermatnya kita, bahwa berpikir itu beragam. Kita gagal menjelaskan narasi bahwa kita masing-masing memang punya keunikannya sendiri-sendiri, kita tidak ada yang tunggal, tapi semuanya beragam. Kita tidak boleh eksklusif. Jadi tidak boleh mengklaim bahwa kita paling benar. Cara pandang itu yang bisa menumbuhkan intolerasi dan radikalisme. 

Pendidikan yang kreatif dan kritis, sesungguhnya sangat dibutuhkan untuk masyarakat majemuk. Jadi berpikir tingkat tinggi dan tidak mudah berprasangka buruk. Oleh karenanya nilai-nilai itu yang harus dijunjung tinggi. Refleksi pendidikan pada 75 tahun Indonesia merdeka, mengutip pernyataan Mas Nadiem, Amin Abdullah mengatakan, 3 dosa besar di era majemuk, pertama, intoleransi terhadap yang berbeda. Itu sangat tidak boleh. Indonesia mempunyai instrumen pemikiran sebagai negara kepulauan. 

Nilai-nilai itu yang harus dikuatkan kembali. Yang kedua, bullying; yang ketiga kata Mas Menteri, kekerasan seksual. Ketiga hal itu menjadi agenda pendidikan kita ke depan. Konsep tidak tunggal dalam berpikir, tidak hanya depens terhadap pemikiran tunggal, sehingga guru-guru semestinya memperkaya multi reference, multi perspektif. Hal itu wajib untuk guru-guru apalagi dosen.  Kedua, komparatif perspektif, yaitu cara berpikir yang tidak tinggal, sebaliknua harus ada pembanding. Ketiga; dialogis, masyarakat majemuk harus membangun ruang dialog. Maka pendidikan yang integratif dan membuka perjumpaan ruang dialog, hukumnya wajib untuk masyarakat majemuk. Oleh karena itu, maka yang harus ditinjau ulang bukanlah konten pembelajarannya, namun metodologis dan pendekatan yang harus ditinjau ulang. " Perlu reformasi metodologis dan pendekatan pembelajaran atau pendidikan, bukan kontennya" jelas Amin Abdullah. 

Menurut Karlina Supelli, akar kemajemukan itu ada dua yaitu yang bersifat alami atau kodrati. Setiap orang tidak bisa memilih warna kulit dan bentuk rambutnya, lurus atau keriting misalnya. Itu adalah akar kemajemukan yang alami. Sementara itu akar kemajemukan sosial budaya. Misalnya, kita melihat pria memakai busana adat Bundo Kanduang, Kimono untuk orang Jepang, dan sebagainya. 

Dalam kemajemukan bercorak sosial budaya, misalnya kita melihat sistem kepercayaan yang berbeda, pakaian, kuliner dan sebagainya. Akar kemajemukan sosial budaya, memiliki sifat yang berbeda dengan yang alami atau kodrati. Kemajemukan semakin rumit, karena akar kemajemukan yang bersifat alami berkelindan dengan yang sosial budaya. Misalnya, rambut keriting bisa menjadi lurus, gunung bisa direkayasa menjadi lembah dan sebagainya lewat sains dan teknologi. 

Realitas kitapun menjadi realitas hibrida. Jadi kemajemukan itu semakin kaya, sehingga cara pikir yang menyempitkan arti kemajemukan menjadi realitas yang tunggal, tentu selain utopis juga patologis. Karena yang kita pelajari sekarang, ada kenyataan obyektif. Dan kemajemukan itu obyektif, mau tidak mau itu nyata adanya.  Bahkan peristiwa kemerdekaan Indonesia, itu juga peristiwa yang menarik, diperkenalkan sebagai perisitiwa politik, tapi dengan realitas kemajemukan, peristiwa itu adalah peristiwa kebudayaan. 

Ada transformasi cara hidup bersama. Semula sebelum ada kemerdekaan, sebelum NKRI, tatatan hidup berdasarkan kesukuan, agama, budaya lokal, kekuasaan raja-raja lokal, kemudian ditransformasi berdasarkan prinsip-prinsip kewarganegaraan, yang memiliki hak politik yang sama. Hal inilah yang dikelola, salah satunya di dalam pendidikan. Jadi dalam pendidikan, memang tidak bisa ada anasir tunggal, karena itu menjadi tekanan terhadap kemajemukan. 

Dalam proses pendidikan, proses yang berayun diantara yang alami dan sosial budaya, sehingga manusia tidak terperangkap di dalam keterbatasan alaminya, namun juga tidak menganggap yang alami itu sebagai lawan.

Sebagai contoh, manusia secara alami ketika kecemplung di air, akan tenggelam, namun melalui proses belajar, manusia bisa mengolah tubuhnya yang alami itu menghadapi sungai dengan berenang. Tapi sayangnya kita sering berpikir serba dikotomis, serba dilawankan. Nalar dilawankan dengan intuisi. Cara berpikir ilmiah dilawankan intuisi, religius dan sebagainya. Padahal dalam kehidupan itu tidak bisa dipisahkan, hanya memang dibutuhkan sistematisasi. Dalam sistem pendidikan, harapan tentang pola pikir, cara berperspektif terus dikembangkan. Oleh karena itu,  dalam sistem pendidikan betul-betul menjadi ranah mengembangkan nalar dan juga hasrat, emosi dan kehendak yang dilatih atau diarahkan menjadi energi yang positif. Sistem pendidikan tidak saja diharapkan dapat mengembangkan nalar, namun juga emosi, kehendak, agar dapat mewujudkan cita-cita sesuai yang diharapkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun