Menurut Amin Abdullah, ada pesan persirat dengan pintu masuk lingkungan, aksi nyata membina lingkungan, adalah tema paling netral untuk dikerjakan bersama. Bahwa narasi kemajemukan berpikir, itu sangat bagus sekali  dan relevan dalam ruang kemajemukan Indonesia. Hal ini paling perlu dikedepankan dalam sistem pendidikan Indonesia. Kemajemukan berpikir, mensaratkan pendidikan Indonesia tidak boleh anti realitas. Realitas Atambua, realitas Ambon, berbeda dengan dengan realitas Jawa, Sunda dan sebagainya. Pendidikan memangtidak boleh anti realitas, karena realitas kita berbeda antara satu dengan yang lain.Â
Desentralisasi dan sentralisasi kesannya hanya manajemen, belum do way to think, belum do way to good live. Kadangkala, kita melupakan bahwa berpikir itu beragam, sehingga muncul intolerasi. Intoleransi muncul karena kurang cermatnya kita, bahwa berpikir itu beragam. Kita gagal menjelaskan narasi bahwa kita masing-masing memang punya keunikannya sendiri-sendiri, kita tidak ada yang tunggal, tapi semuanya beragam. Kita tidak boleh eksklusif. Jadi tidak boleh mengklaim bahwa kita paling benar. Cara pandang itu yang bisa menumbuhkan intolerasi dan radikalisme.Â
Pendidikan yang kreatif dan kritis, sesungguhnya sangat dibutuhkan untuk masyarakat majemuk. Jadi berpikir tingkat tinggi dan tidak mudah berprasangka buruk. Oleh karenanya nilai-nilai itu yang harus dijunjung tinggi. Refleksi pendidikan pada 75 tahun Indonesia merdeka, mengutip pernyataan Mas Nadiem, Amin Abdullah mengatakan, 3 dosa besar di era majemuk, pertama, intoleransi terhadap yang berbeda. Itu sangat tidak boleh. Indonesia mempunyai instrumen pemikiran sebagai negara kepulauan.Â
Nilai-nilai itu yang harus dikuatkan kembali. Yang kedua, bullying;Â yang ketiga kata Mas Menteri, kekerasan seksual. Ketiga hal itu menjadi agenda pendidikan kita ke depan. Konsep tidak tunggal dalam berpikir, tidak hanya depens terhadap pemikiran tunggal, sehingga guru-guru semestinya memperkaya multi reference, multi perspektif. Hal itu wajib untuk guru-guru apalagi dosen. Â Kedua, komparatif perspektif, yaitu cara berpikir yang tidak tinggal, sebaliknua harus ada pembanding. Ketiga; dialogis, masyarakat majemuk harus membangun ruang dialog. Maka pendidikan yang integratif dan membuka perjumpaan ruang dialog, hukumnya wajib untuk masyarakat majemuk. Oleh karena itu, maka yang harus ditinjau ulang bukanlah konten pembelajarannya, namun metodologis dan pendekatan yang harus ditinjau ulang. " Perlu reformasi metodologis dan pendekatan pembelajaran atau pendidikan, bukan kontennya" jelas Amin Abdullah.Â
Menurut Karlina Supelli, akar kemajemukan itu ada dua yaitu yang bersifat alami atau kodrati. Setiap orang tidak bisa memilih warna kulit dan bentuk rambutnya, lurus atau keriting misalnya. Itu adalah akar kemajemukan yang alami. Sementara itu akar kemajemukan sosial budaya. Misalnya, kita melihat pria memakai busana adat Bundo Kanduang, Kimono untuk orang Jepang, dan sebagainya.Â
Dalam kemajemukan bercorak sosial budaya, misalnya kita melihat sistem kepercayaan yang berbeda, pakaian, kuliner dan sebagainya. Akar kemajemukan sosial budaya, memiliki sifat yang berbeda dengan yang alami atau kodrati. Kemajemukan semakin rumit, karena akar kemajemukan yang bersifat alami berkelindan dengan yang sosial budaya. Misalnya, rambut keriting bisa menjadi lurus, gunung bisa direkayasa menjadi lembah dan sebagainya lewat sains dan teknologi.Â
Realitas kitapun menjadi realitas hibrida. Jadi kemajemukan itu semakin kaya, sehingga cara pikir yang menyempitkan arti kemajemukan menjadi realitas yang tunggal, tentu selain utopis juga patologis. Karena yang kita pelajari sekarang, ada kenyataan obyektif. Dan kemajemukan itu obyektif, mau tidak mau itu nyata adanya.  Bahkan peristiwa kemerdekaan Indonesia, itu juga peristiwa yang menarik, diperkenalkan sebagai perisitiwa politik, tapi dengan realitas kemajemukan, peristiwa itu adalah peristiwa kebudayaan.Â
Ada transformasi cara hidup bersama. Semula sebelum ada kemerdekaan, sebelum NKRI, tatatan hidup berdasarkan kesukuan, agama, budaya lokal, kekuasaan raja-raja lokal, kemudian ditransformasi berdasarkan prinsip-prinsip kewarganegaraan, yang memiliki hak politik yang sama. Hal inilah yang dikelola, salah satunya di dalam pendidikan. Jadi dalam pendidikan, memang tidak bisa ada anasir tunggal, karena itu menjadi tekanan terhadap kemajemukan.Â
Dalam proses pendidikan, proses yang berayun diantara yang alami dan sosial budaya, sehingga manusia tidak terperangkap di dalam keterbatasan alaminya, namun juga tidak menganggap yang alami itu sebagai lawan.
Sebagai contoh, manusia secara alami ketika kecemplung di air, akan tenggelam, namun melalui proses belajar, manusia bisa mengolah tubuhnya yang alami itu menghadapi sungai dengan berenang. Tapi sayangnya kita sering berpikir serba dikotomis, serba dilawankan. Nalar dilawankan dengan intuisi. Cara berpikir ilmiah dilawankan intuisi, religius dan sebagainya. Padahal dalam kehidupan itu tidak bisa dipisahkan, hanya memang dibutuhkan sistematisasi. Dalam sistem pendidikan, harapan tentang pola pikir, cara berperspektif terus dikembangkan. Oleh karena itu, Â dalam sistem pendidikan betul-betul menjadi ranah mengembangkan nalar dan juga hasrat, emosi dan kehendak yang dilatih atau diarahkan menjadi energi yang positif. Sistem pendidikan tidak saja diharapkan dapat mengembangkan nalar, namun juga emosi, kehendak, agar dapat mewujudkan cita-cita sesuai yang diharapkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H