Selain itu, sebagai kota yang dijuluki Kota Bunga, di sepanjang jalan, kami juga menjumpai barisan lahan-lahan yang ditumbuhi berbagai bunga dengan aneka rupa dan warna. Merah, putih, kuning, dan ungu. Pandangan kami terus memburu dan rasa yang mengharu biru, tatkala bunga-bunga di sepanjang jalan itu, semakin menuju ke daerah perbukitan Kakaskasen, semakin raya, dan mengumpul dalam satu kawasan obyek wisata di Bukit Mahoni dan Bukit Pelangi.
Taman bunga di Bukit Kakaskasen. Sumber: Dokpri
Kami menuju Bukit Mahoni, tempat para muda mudi, tua muda, jejak pria, kakek dan nenek bergemberia ria dan rupa wajah bahagia dan larut dalam kegiatan swafoto bertubi-tubi tanpa henti dan berganti-ganti latar, bingkai dan resolusi cahaya. Semua itu adalah cara mereka bahagia, dengan sederhana, merumput, mencium bunga, juga canda tawa disertai gerak gemulai melangkah di tepian bunga dan lahan sayuran.Â
Di bukit Kakaskasen, tanaman bunga tertata rapi, juga diletakkan bingkai menawan untuk berfoto ria, melukis dengan cahaya. Dari bukit Kakaskasen, kita bisa melihat hamparan lembah dan pemukiman warga di bawah kaki bukit Mahawu. Bingkai panorama yang memang lengkap dan memikat.Â
Berfoto di taman bunga, Bukit Kakaskasen, Tomohon, Sumber: Dokpri
Setelah puas menghabiskan waktu di bukit Kakaskasen, kami melanjutkan memburu perjalanan ke bagian sisi yang lain dari kaki Gunung Lokon, yakni di bagian Woloan. Kami menari bersama di Amphiteater, Woloan yang kini digandrungi muda mudi dan semakin viral. Lahan parkir mobil yang meskipun belum tuntas, namun tak menurunkan kualitas keindahannya. Begitu memasuki kawasan amphiteater, kita akan disambut bangunan klasik berbahan kayu, sebagai salah satu spot menawan untuk menikmati hidangan kopi khas Woloan dan juga berbagai olahan makanan pisang goreng. Kafe itu memiliki beranda, yang bak panggung menggantung yang langsung menghadapkan wajah kita ke Gunung Lokon.Â
Deretan Waruga, di pintu gerbang pelataran Amphiteater, Tomohon. Sumber: Dokpri
Di pelataran, kita juga akan menjumpai deretan Waruga, di kanan kiri jalan begitu memasuki pintu gerbangnya. Waruga, bagi Orang (Suku) Minahasa, termasuk yang tinggal di Tomohon, adalah tentang sejarah dan budaya leluhurnya. Dalam kacamata arkeologi, Waruga adalah peninggalan kubur batu yang dikenal pada zaman megalitik, dapat menggambarkan asal usul Orang Minasa dari mana berasal. Waruga juga dapat mengungkap identitas, jati diri masyarakat Minahasa. Waruga adalah simbol budaya warisan leluhur nenek moyang masyarakat Minahasa. Pada waruga, juga dapat mengungkap perilaku sosial masyarakat Minahasa masa lampau, yang kemudian terus berlanjut hingga saat ini. Dulu, ribuan tahun yang lalu, awal leluhur Minahasa, menggunakan waruga sebagai bekal kubur. Dan terus berlanjut hingga masa kolonial.Â
Kawasan Amphiteater, Latar Gunung Lokon, Menjelang senja. Sumber: Dokpri
Setelah melewati beberapa deretan waruga, kita akan menjumpai taman bunga, salah satu spot untuk swafoto, berlatar Gunung Lokon, dan di waktu senja adalah cara mengabadikan keindahan tiada tara, bahkan jika kita ingin mengabadikan hitam temaramnya tubuh kita dalam siluet senja yang menawan. Di sebalah kanan taman bunga, ada Amphiteater, pusat segala aktivitas dapat dilakukan. Pagelaran tari kabasaran, olah raga dan aktivitas swafoto dibawah temaran senja, atau kabut pagi Gunung Lokon yang aduhai memikat lagi mempesona. Keindahan tiada habisnya.Â
Foto dibawah senja Aphiteater, berlatar Gunung Lokon. Sumber: Dokpri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya