Siang yang terik di tahun 1949, saat agresi militer Belanda II. Seorang lelaki paruh baya dengan pikulannya menyeberang jalan di sebuah kota kecil yang berbatasan dengan wilayah Yogyakarta sekarang. Siang yang terik dan menyengat itu tak menyurutkan langkah lelaki itu mencari nafkah untuk istri dan keenam anaknya. Lelaki bersahaja, yang terbilang sukses di masa itu.
****
Ahmad Tarman, iya lelaki itu adalah seorang pedagang keliling yang sukses. Siang itu istrinya Siti Halimah Sadiyah, melarangnya berjualan. Di luar udara sangat terik dan khawatir sedari tadi di atas langit, menderu pesawat-pesawat pembom Belanda bolak-balik ancang-ancang untuk mendarat di pangkalan Maguwo.
Namun lelaki itu tak menghiraukan istrinya. Ia bergeming karena sudah berjanji mengantarkan dagangan ke pelanggannya. Dilihatnya keenam anaknya yang masih kecil-kecil. Yang terbesar barulah menginjak umur 14 tahun, Tamatan sekolah rakyat (SR), lelaki semata wayang anak Ahmad Tarman yang sangat dibanggakannya. Kelima adiknya adalah perempuan semuanya. Anak bungsunya seorang putri yang baru berumur tiga  tahun, kelak dikemudian hari ia menjadi seorang ibu yang tangguh, ulet dan tabah hingga anak-anaknya dewasa.
Melihat keenam anaknya itu, justru membuat Ahmad Tarman semakin bersemangat untuk berjualan keliling dengan pikulannya. Ia bukanlah seorang yang kaya, namun warisan tanah dari mendiang orang tuanya cukup luas. Mungkin sepertiga dari dusun tempatnya tinggal, tanahnya adalah milik mendiang orang tuanya. Namun beberapa tempat sudah digunakan untuk tempat tinggal tetangganya.
Tanah warisan yang dimilikinya tidak lantas membuat Ahmad Tarman malas bekerja. Tanah yang tak tergarap itu dibiarkan begitu saja, karena berada di dalam kampung. Lambat laun, justru ditempati orang untuk mendirikan rumah, tapi bagi Ahmad Tarman itu sebagai pengorbanan. Maklum pihak Belanda waktu itu membatasi orang-orang untuk memiliki lahan sendiri. Sehingga lahan-lahan di kampung yang dimiliki Ahmad Tarman direlakannya untuk tempat tinggal orang-orang di sekitarnya.
Ahmad Tarman, membuka pintu, beberapa tetangganya menanyakan dan melarang Ahmad Tarman untuk pergi ke kota. Belanda sudah mengepung dan menguasai kota, kata tetangganya itu. "Kang, hari ini tidak usah jualan dulu, dimana-mana tantara Belanda berjaga, mending di rumah saja". Nasehat tetangganya itu sempat membuat Ahmad Tarman ragu dan mengurungkan niatnya untuk berjualan. Diapun kembali ke dalam rumah. Istri dan keenam anaknya menunggu dengan senyuman.
Anak bungsunya tiba-tiba menangis kencang, rupanya lapar. Susu bubuk murahan yang disediakan beberapa hari sebelumnya, sudah habis rupanya. Anak keduanyapun, mengatakan katanya persediaan beras menipis, mungkin hanya cukup untuk hari ini. Si Sulung bilang, minyak tanah sudah habis, sebentar malam, akan lebih gelap dari biasanya, katanya. Sang pedagang keliling itupun termangu, antara keraguan untuk tetap tinggal di rumah, atau keluar rumah untuk membawa pikulannya ke pasar, mengambil dagangan dan mengantarkannya ke pelanggan. Ditengoknya istrinya yang sedang menggendong si bungsu, matanya berlapis kaca, membendung mata air dari sudutnya yang sedari tadi sudah terkumpul, dan sedikit lagi tertumpah.
Lelaki pemikul sayuran dan buah-buahan itu tampak cemas dan bingung lalu melangkah pelan ke arah pintu keluar. Diliatnya istrinya mengangguk, tanda mengizinkannya keluar berdagang. Ia pun bersemangat dan rasa cemat dan takut tiba-tiba seperti hilang begitu saja. Anaknya yang paling besar, seperti tak peduli, ia malah pura-pura tidak melihat ayahnya keluaru rumah, sibuk memperbaiki lampu teploknya. Anaknya yang bungsu tampak tenang, dalam pangkuan ibunya. Empat anak pempuan yang lain sibuk bermain. Dua yang besar umur 11 dan 9 tahun, sibuk bermain bola bekel, dan dua lainnya yang masih kecil berumur 7 dan 5 tahun, sibuk bermain boneka kayu.
Tetangganya kembali mengingatkan Ahmad Tarman untuk tidak keluar rumah dulu, tapi Sang pedagang pikulan itu sudah terlanjur teguh. Ia tetap akan berjualan ke pasar untukm kulakan, mengambil dagangan dan mengantarkannya keliling dari kampung ke kampung untuk para pelanggannya. "Ati-ati wae kang, sing waspodo, londo nangndi-ndi lagi jogo-jogo, nek ono rame-rame, dihindari wae (hati-hati saja, Belanda dimana-mana, lagi patroli, kalau melihat ada keramaian dihindari saja). Demikian tetangganya menasehati pedagang pikulan itu. Tarman hanya mengangguk dan tersenyum. Hatinya sudah teguh, niatnya untuk pulang membeli beras dan minyak tanah, juga sisa sayuran sudah bulat. Keenam anaknya butuh makan, dan juga sebentar malam, rumahnya butuh penerangan lampu minyak.
" Kang, kenapa gak kamu jual saja tanahmu di ujung desa, supaya kamu gak jualan lagi ke pasar, dalam situasi genting begini, tanahmu khan banyak". Begitu kata tetangganya yang sempat ditemui di ujung jalan kampung itu, saat menyapa dan mengingatkan Ahmad Tarman saat hendak pergi berdagang. Mendengar itu Tarman hanya tersenyum dan menjawab singkat "situasi begini, siapa yang mau beli tanah Won" jawab Tarman balik mengingatkan Kliwon, tetangganya itu.
Pedagang itupun melanjutkan langkahnya. Tanah kering dalam kampung itu berdebu. Jalanan di kampung itu tampak lengang. Tarman sudah sampai di ujung jalan kampung, menuju kawasan kota. Diliatnya jalan juga sepi. Hanya satu dua dokar melintas, dengan penumpangnya yang satu dua orang saja. Tarman sudah biasa berjalan kaki. Dari rumah ke pasar di dekat alun-alun itu hanya 6Km jauhnya.
Jalanan yang lengang itu membuat Tarman tenang. Ia ingat nasehat tetangganya, kalau ada keramaian dihindari saja. Ia pun terus berjalan ke arah timur ke arah alun-alun. Baru sekitar 1 Km perjalanan, tiba-tiba dari arah timur, dari kejauhan ia melihat seseorang mengayuh sepeda ontelnya dengan sangat kencang. Saat melintas di depan Tarman, lelaki bersepeda ontel itu berteriak "Kang, balik kang, ono londo, nggowo bedil, wis balik wae' (Kang, balik kang, ada tentara Belanda, bawa senapan, balik saja)" teriak lelaki itu sambil terus mengayuh sepeda ontelnya. Â
Tarman tampak kebingungan, mendengar teriakan lelaki bersepeda ontel itu. Ia menengok ke kanan dan ke kiri, ke depan dan ke belakang. Ia memandang jauh ke arah timur, arah asal lelaki bersepeda ontel itu mengayuh sepedanya sambil berteriak. Tidak dilihatnya tentara Belanda. Tarmanpun bergegas melanjutkan langkahnya ke arah timur, ke alun-alun.
Tiba-tiba Tarman mendengar suara mobil jip meraung dengan parau. Dari arah pertigaan jalan kira-kira 200 meter arah depan tempat Tarman hendak melangkah, sebuah mobil jip penuh dengan tentara Belanda menghadangnya. Mobil jip itu belok ke kiri langsung berhenti, tepat di depan Tarman yang berdiri gemetaran. Tarman gemetaran, gugup bukan kepalang, dan ketakutan teramat sangat hinggap di wajahnya yang pucat dan berkeringat dingin.
Tarman tak bisa menghindar lagi, nyawanya tergantung Tuhan dan belas kasihan tentara Belanda yang menghadangnya itu. "Kamu orang mau kemana" hardik tentara itu sambil menodongkan moncong senapannya ke jidat Tarman yang putih pucat, seperti tak berdarah itu. "Mau ke pasar, jualan tuan" jawab Tarman dengan gugup.
"Tidak boleh, kalian orang tidak boleh berjualan, semua sudah kami kuasai, mengerti" bentak tentara Belanda itu dengan galaknya. Tarman coba membela diri "tapi tuan, anak-anak saya butuh beras, butuh makan tuan" jawab Tarman mencoba mengharap belas kasihan tantara Belanda itu.
Tentara Belanda itu tampak berbincang dengan teman-temannya, berbisik-bisik seperti hendak membuat kesepatan. "Baiklah, cepat kamu pergi dari sini, sebelum kami berubah pikiran" kata tentara Belanda itu masih dengan membentak.
Tanpa pikir panjang, Tarman berdiri dan mengambil kayu pikulannya, sementara Tarman bergerak mengambil pikulannya, mobil jip itu perlahan bergerak. Tarman sempat termangu dan memperhatikan tentara Belanda itu, lebih dulu meninggalkannya. Tarman bicara dalam hati, ternyata tentara Belanda itu hanya menggertak dan kemudian berlalu begitu saja.
Tarman memperhatikan mobil jip dan sekitar 5 orang tentara Belanda itu. Tarman seperti berdiri mematung, antara bingung dan heran. Ia terus memperhatikan mobil jip itu berlalu. Setelah mobil itu berjalan, sekitar 50 meter dari tempat berdiri Tarman, tiba-tiba terdengar senapan salah satu tentara Belanda itu menyalak. Seketika Tarman jatuh tersungkur, tubuhnya berdebum ke tanah, jatuh tertelungkup. Dadanya tertembus dua peluru tentara Belanda itu. Ahmad Tarman, pedagang bersahaja ditemukan tewas, sore harinya oleh penduduk kampung, dibawanya pulang tinggal nama. Diterima dengan pelukan dan tangisan istri dan keenam anaknya.
Catatan: Cerpen ini diadaptasi dari sebuah kisah nyata, di tahun 1949, kisah seorang lelaki yang menjadi pedagang dan tewas ditembak oleh tentara Belanda. Kisah seorang lelaki itu, diceritakan kepada penulis, oleh seorang ibu, yang dalam cerpen ini, dikisahkan sebagai putri bungsu dari Ahmad Tarman, sang lelaki pedagang keliling itu (dalam kehidupan nyata, anak bungsu itu sesungguhnya, anak kedua terakhir atau anak kelima). Yang pada saat meninggal ayahnya, baru berumur 3 tahun. Kini putri 'bungsu' Ahmad Tarman itu, telah berumur 74 Tahun, dan seorang ibu yang sangat dihormati dan disayangi oleh anak laki-lakinya, yang mengisahkan kembali Sang Kakek pedagang keliling itu dalam Cerpen Kompasiana ini. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H