Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Seorang Lelaki yang Tewas di Tahun 1949

16 Agustus 2020   20:24 Diperbarui: 23 Agustus 2020   16:42 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.tribunnewswiki.com/

Pedagang itupun melanjutkan langkahnya. Tanah kering dalam kampung itu berdebu. Jalanan di kampung itu tampak lengang. Tarman sudah sampai di ujung jalan kampung, menuju kawasan kota. Diliatnya jalan juga sepi. Hanya satu dua dokar melintas, dengan penumpangnya yang satu dua orang saja. Tarman sudah biasa berjalan kaki. Dari rumah ke pasar di dekat alun-alun itu hanya 6Km jauhnya.

Jalanan yang lengang itu membuat Tarman tenang. Ia ingat nasehat tetangganya, kalau ada keramaian dihindari saja. Ia pun terus berjalan ke arah timur ke arah alun-alun. Baru sekitar 1 Km perjalanan, tiba-tiba dari arah timur, dari kejauhan ia melihat seseorang mengayuh sepeda ontelnya dengan sangat kencang. Saat melintas di depan Tarman, lelaki bersepeda ontel itu berteriak "Kang, balik kang, ono londo, nggowo bedil, wis balik wae' (Kang, balik kang, ada tentara Belanda, bawa senapan, balik saja)" teriak lelaki itu sambil terus mengayuh sepeda ontelnya.  

Tarman tampak kebingungan, mendengar teriakan lelaki bersepeda ontel itu. Ia menengok ke kanan dan ke kiri, ke depan dan ke belakang. Ia memandang jauh ke arah timur, arah asal lelaki bersepeda ontel itu mengayuh sepedanya sambil berteriak. Tidak dilihatnya tentara Belanda. Tarmanpun bergegas melanjutkan langkahnya ke arah timur, ke alun-alun.

Tiba-tiba Tarman mendengar suara mobil jip meraung dengan parau. Dari arah pertigaan jalan kira-kira 200 meter arah depan tempat Tarman hendak melangkah, sebuah mobil jip penuh dengan tentara Belanda menghadangnya. Mobil jip itu belok ke kiri langsung berhenti, tepat di depan Tarman yang berdiri gemetaran. Tarman gemetaran, gugup bukan kepalang, dan ketakutan teramat sangat hinggap di wajahnya yang pucat dan berkeringat dingin.

Tarman tak bisa menghindar lagi, nyawanya tergantung Tuhan dan belas kasihan tentara Belanda yang menghadangnya itu. "Kamu orang mau kemana" hardik tentara itu sambil menodongkan moncong senapannya ke jidat Tarman yang putih pucat, seperti tak berdarah itu. "Mau ke pasar, jualan tuan" jawab Tarman dengan gugup.

"Tidak boleh, kalian orang tidak boleh berjualan, semua sudah kami kuasai, mengerti" bentak tentara Belanda itu dengan galaknya. Tarman coba membela diri "tapi tuan, anak-anak saya butuh beras, butuh makan tuan" jawab Tarman mencoba mengharap belas kasihan tantara Belanda itu.

Tentara Belanda itu tampak berbincang dengan teman-temannya, berbisik-bisik seperti hendak membuat kesepatan. "Baiklah, cepat kamu pergi dari sini, sebelum kami berubah pikiran" kata tentara Belanda itu masih dengan membentak.

Tanpa pikir panjang, Tarman berdiri dan mengambil kayu pikulannya, sementara Tarman bergerak mengambil pikulannya, mobil jip itu perlahan bergerak. Tarman sempat termangu dan memperhatikan tentara Belanda itu, lebih dulu meninggalkannya. Tarman bicara dalam hati, ternyata tentara Belanda itu hanya menggertak dan kemudian berlalu begitu saja.

Tarman memperhatikan mobil jip dan sekitar 5 orang tentara Belanda itu. Tarman seperti berdiri mematung, antara bingung dan heran. Ia terus memperhatikan mobil jip itu berlalu. Setelah mobil itu berjalan, sekitar 50 meter dari tempat berdiri Tarman, tiba-tiba terdengar senapan salah satu tentara Belanda itu menyalak. Seketika Tarman jatuh tersungkur, tubuhnya berdebum ke tanah, jatuh tertelungkup. Dadanya tertembus dua peluru tentara Belanda itu. Ahmad Tarman, pedagang bersahaja ditemukan tewas, sore harinya oleh penduduk kampung, dibawanya pulang tinggal nama. Diterima dengan pelukan dan tangisan istri dan keenam anaknya.

Catatan: Cerpen ini diadaptasi dari sebuah kisah nyata, di tahun 1949, kisah seorang lelaki yang menjadi pedagang dan tewas ditembak oleh tentara Belanda. Kisah seorang lelaki itu, diceritakan kepada penulis, oleh seorang ibu, yang dalam cerpen ini, dikisahkan sebagai putri bungsu dari Ahmad Tarman, sang lelaki pedagang keliling itu (dalam kehidupan nyata, anak bungsu itu sesungguhnya, anak kedua terakhir atau anak kelima). Yang pada saat meninggal ayahnya, baru berumur 3 tahun. Kini putri 'bungsu' Ahmad Tarman itu, telah berumur 74 Tahun, dan seorang ibu yang sangat dihormati dan disayangi oleh anak laki-lakinya, yang mengisahkan kembali Sang Kakek pedagang keliling itu dalam Cerpen Kompasiana ini.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun