Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar dari Masa Lalu, Membangun Kedaulatan Pangan

15 Agustus 2020   22:00 Diperbarui: 7 Februari 2021   09:32 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Lahan-lahan belum tergarap. Sumber: Balar Sulut

Banyak pelajaran penting sesungguhnya yang bisa dipetik dari masa lalu, untuk bekal kehidupan masa depan lebih gemilang. Namun banyak diantara kita justru, menganggap remeh masa lalu itu. Masa lalu bukan soal, nostalgia belaka, atau romantisme sejarah. Namun petiklah makna yang tersirat maupun yang tersirat di dalamnya. Belajar dari masa lalu, untuk masa depan gemilang. 

Demikianlah ungkapan bijak, yang sering saya dengar, sebagai seorang arkeolog. Kami mempelajari masa lalu, memetik makna penting di dalamnya, lalu mengabarkan pelajaran penting masa lalu, ke masa kini, yang kadang banyak problematikanya. Untuk edisi ini, penulis hanya akan membahas satu aspek saja, dari berbagai aspek yang bisa dibahas soal topik pilihan ini. Edisi ini penulis akan memberi ulasan atau opini, soal kedaulatan pangan. 

Indonesia, sudah 75 tahun merdeka, namun semakin lama, terasa ketergantungan terhadap negara luar semakin besar. Padahal Indonesia dulu pernah swasembada pangan. Ekspor beras pada masa pemerintahan Orde Baru, menunjukkan dominasi Indonesia di bidang pangan, setidaknya untuk kawasan Asia Tenggara. 

Jika masa Orde Baru, danggap masa kelam demokrasi, tetapi ada pelajaran, ada sisi positif dan penting yang tidak bisa diabaikan, yakni ketahanan ekonomi Indonesia, sebelum krisis moneter 1998, menjadi salah satu barometer ekonomi di negara-negara berkembang. Oleh karena itu Indonesia pernah menjadi negara yang dijuluki Macan Asia. Tentu sisi-sisi positif itu menjadi pelajaran penting untuk modal sosial pembangunan saat kini dan di masa yang akan datang. 

Di bandingkan dengan negara lain, Indonesia sesungguhnya memiliki sumberdaya alam yang melimpah, sumberdaya mineral merupakan salah satu sumberdaya yang sangat diandalkan, dan tentu saja potensi itupun menjadi hasrat negara-negara lain, terutama negara-negara industri maju, yang sangat menggantungkan hidupnya pada ketersediaan energi, seperti minyak, gas, listrik dan sebagainya. Ini menjadi tantangan paling berat bagi Indonesia sebenarnya. Mengingat Indonesia yang memiliki potensi itu, namun keterbatasan teknologi, infrastruktur dan sumberdaya manusia, sehingga kita seringkali menjadi obyek ekploitasi bagi negara-negara pengolah, melalui pintu masuk investasi. 

Sumberdaya alam lainnya seperti pertanian, perkebunan dan juga sumberdaya maritimnya, bisa dikatakan Indonesia adalah negara yang paling maju dan  kaya soal ini. Namun fakta hari ini, Indonesia melakukan impor berbagai komoditi pangan dari luar, dari mulai beras, sayuran, dan buah-buahan. 

Belum lagi, sumberdaya kelautan dan perikanannya. Kita mempertanyakan, sejauh mana ekspor sumberdaya laut kita, di sisi lain, ternyata kita juga masih mengimpor garam? Ini tentu  kondisi anomali dan sangat ironis, bagaimana bisa Indonesia, yang dikenal sebagai negara Kepulauan, negara maritim dengan kepemilikan kawasan laut yang sangat luas ini mengimpor garam?

Ada apa dengan kekayaan laut Indonesia? kadangkala kita mungkin tidak habis pikir, mengapa ini semua terjadi? persoalannya, apakah terletak pada kondisi sumberdaya manusia kita yang tidak bisa memproduksi garam yang berkualitas? apakah rendahnya teknologi yang kita kuasai sehingga tidak mampu melakukan itu? atau instrumen negara yang tidak mampu membendung intervensi asing yang menciptakan ketergantungan Indonesia untuk melakukan impor garam? 

Di salah satu media, menguraikan soal mengapa Indonesia masih melakukan impor garam (http://indonesiabaik.id/), antara lain, Pertama, Indonesia memang memiliki garis pantai yang panjang, namun sayangnya tidak semua pantai bisa dijadikan lahan garam. Dari 99.093 km garis pantai Indonesia hanya sekitar 250 km2 yang bisa digunakan menjadi lahan garam. Kedua, faktor cuaca merupakan masalah utama dimana untuk mendapatkan garam dengan kualitas industri diperlukan musim kemarau yang panjang.

Selain itu, kelembaban udara di Indonesia cukup tinggi sekitar 60-70%. Terakhir, industri pengolahan garam di Indonesia masih menggunakan cara yang tradisional. Akibatnya, mutu garam yang diproduksi tidak begitu baik dan tidak cocok untuk penggunaan garam dalam skala industri. Namun, rasa-rasanya argumen itu tidak cukup buat nalar kita bisa menerimanya, mengingat luasan kawasan laut Indonesia, dan jumlah produksi garam dalam negeri yang Indonesia bisa hasilkan. 

Penulis sendiri melihatnya ini sebenarnya soal legacy, bahwa kita saat ini sesungguhnya memiliki persoalan dalam memahami legacy, memahami kekayaan warisan sebagai sebuah modal pembangunan yang harus dikelola. Juga legacy soal cara-cara leluhur itu mengelola kehidupannya. Sejak dulu, leluhur kita sesungguhnya sudah mengajarkan kita soal konsep survival, tentu saja sesuai kondisi masa lampau yang ada. Namun bukan soal survival saja,  juga soal bagaimana mengembangkannya untuk membangun relasi dengan pihak lain.

Relasi dalam hal ini menyangkut, relasi politik, niaga, ekonomi, budaya dan sebagainya. Selain membangun konsep relasi, juga di dalamnya tentang mempertahankan kedaulatannya, tanpa kehilangan jalinan relasi dengan pihak lain. Justru, beberapa diantaranya semakin menguatkan, baik secara internal dalam kawasan nusantara, maupun dengan pihak-pihak bangsa luar, yang secara bersama dalam kurun waktu dan ruang yang sama juga saling membangun relasi yang saling menguatkan. 

Saya ingin memberi beberapa ilustrasi soal bagaimana leluhur dulu membangun kedaulatannya di satu sisi, disisi yang lain juga tetap menjaga relasionalnya dengan pihak luar. Sejarah misalnya sudah menuliskan tentang Sumpah Palapa, Gajah Mada, pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dengan perdana menterinya Gajah Mada. Sejarah banyak menuliskan, bagaimana kiprah Gajah Mada, dalam mempersatukan nusantara di satu sisi, juga menguatkan relasinya dengan bangsa- bangsa luar di luar nusantara. 

Pada masa Hayam Wuruk dan Gajah Mada, Majaphit tercatat bisa menyatukan Bali, Jawa dan Sumatra ke dalam kerajaan Majapahit. Meskipun Gajah Mada wafat sekitar tahun 1364, perluasan wilayah berlanjut. Pada tahun 1365, seluruh semenanjung Melayu, dengan pengecualian Sriwijaya dan dua dari koloninya telah ditaklukkan. Pada tahun 1377, Palembang, ibukota Sriwijaya jatuh ke tangan tentara Hayam Wuruk . Kerajaan Tumasik (Singapura), sebuah wilayah dibawah Sriwijaya juga akhirnya ditaklukkan. (https://elshinta.com/).

Bahkan, pada masa itu konon, Majapahit, menerapkan kebijakan pembayaran cukai kepada bangsa-bangsa lain, yang melewati wilayahnya. Tentu ini menjadi pelajaran penting untuk bangsa ini, jika memiliki keberanian untuk memberlakukan cukai, bagi kapal-kapal dagang yang melawati wilayah-wilayah perairan Indonesia, yang dilewati kapal-kapal dagang dari berbagai bangsa. Laut Natuna Utara, Selat Malaka, Selat Makassar, dan berbagai wilayah perairan lainnya, yang menjadi lalu lintas pelayaran perdagangan internasional.

Pada abad 14M, Majapahit dibawah kepemimpinan Hayam Wuruk dan Perdana Menterinya Gajah Mada, ada era keemasannya. Pada masa itu, salah satunya kedaulatan pangan merupakan kunci dari kejayaan Majapahit, beberapa catatan sejarah menyebutkan, bahwa abad 14M, ekpsor beras sudah berkembang. Banyak wilayah-wilayah kerajaan, di luar majapahit, mengimpor beras dari Majapahit.  Pada masa Hayam Wuruk dan Gajah Mada, sesuai catatan Kitab Negerakertagama, wilayah-wilayah lain nusantara, sampai wilayah Maluku dan Papua, menjadi wilayah yang 'dikuasai' Majapahit.

Dalam upaya mempersatukan nusantara itu, justru pada umumnya, karena relasi niaga, bukan semata-mata penaklukan dengan jalan perang. Pertukaran komoditi menjadi kunci kejayaan nusantara. Dari catatan arkeologi, antara Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Luwu, di Sulawesi Selatan, karena kebutuhan bahan logam, yang diproduksi oleh Kerajaan Luwu mengekspor logam ke Majapahit, sebaliknya Majapahit mensuplai beras ke Kerajaan Luwu. 

Demikian pula, wilayah-wilayah Nusantara lainnya, pertukaran komoditi, misalnya antara Maluku yanng menghasilkan cengkeh dan komoditi lokal lainnya, juga mengimpor beras dari wilayah Majapahit sejak abad 14M. Catatan-catan hasil riset sejarah dan arkeologi ini, membuktikan bahwa kedaulatan pangan memerankan fungsinya yang sangat penting dalam menjaga eksistensi sebuah bangsa.  

Kemudian, jika kita bicara Majapahit, sebelum episode Sumpah Palapa, Gajah Mada, pada masa pemerintahan Raden Wijaya, kira-kira seabad sebelumnya, juga mampu menunjukkan wilayah bangsanya yang berdaulat. Ilustrasi sejarah ini bisa kita peroleh informasinya, ketika Majapahit masa Raden Wijaya, tak bisa ditaklukkan oleh Kubilai Khan, penguasa Mongol. 

Yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah episode sejarah tentang Kejayaan Majapahit ini, belum mampu membentuk nasionalisme Keindonesiaan? Apakah ada disorientasi berbangsa dan bernegara? sehingga Indonesia yang pada masa lampau sebagai negara yang merdeka dan berdaulat secara pangan, namun kini menjadi negara pengimpor bahan pangan? 

Jika nasionalisme, adalah produk modernitas, apakah ruh kebudayaan, jati diti budaya nusantara ini tidak memiliki konsep yang relasional dengan konsep negara yang saat ini lahir sebagai sebuah nation state?  Bisa jadi memang benar, bahwa Indonesia sebagai nation state saat ini sebagaimana dikatakan Benedict Anderson, sebagai komunitas imajiner (imagined community). Namun proses yang menyejarah dari berbagai kerajaan di Nusantara hingga lahir menjadi Indonesia, adalah lapis-lapis sejarah atau lapis-lapis arkeologi, meminjam seorang Yudi Latif. Artinya lapis-lapis arkeologi inilah yang membentuk proses Keindonesiaan menjadi. 

Dalam pandangan penulis, yang seorang arkeolog ini, bahwa jika Indonesia sebagai nation state ini, belajar dari masa lalu, mencerap makna dan bercermin pada kemerdekaan budaya pangan atau peradaban pangan kerajaan-kerajaan Nusantara dulu, mungkin mampu menjadi national identiti dalam soal kedaulatan pangan. Coba lihat saja, Korea Selatan yang hanya memiliki sebuah ginseng saja, bisa disebut sebagai negeri herbal. Bagaimana Indonesia, sebagai negara jalur rempah, penghasil rempah-rempah terbesar yang sejak abad 10 Masehi, menjadi ajang perebutan banyak bangsa-bangsa luar, namun kini jati diri sebagai negara penghasil rempah sedang dipertaruhkan.

Banyak sekali informasi berharga dari masa lalu yang bisa menjadi pelajaran sangat berharga untuk pembangunan Indonesia di masa yang akan datang. Dalam soal kedaulatan pangan, berbagai riset arkeologi menjelaskan, bahwa wilayah-wilayah Nusantara, sejah masa lampau merupakan penghasil pangan yang maju. Ciri budaya khas Indonesia, adalah negara agraris dan sekaligus negara maritim, karena dua kondisi geografis dan kondisi alam wilayah Indonesia sebagai wilayah atau bangsa kepulauan.

Dalam berbagai riset arkeologi, wilayah kerajaan di Nusantara, dikenal sebagai pengekspor teripang ke wilayah daratan Benua Australia, setidaknya sejak abad-abad 16/17 tahun. Itu hanya salah satu contoh saja, bagaimana wilayah Nusantara sejak dulu pengekspor bahan pangan baik komoditi pangan yang dihasilkan dari wilayah laut ataupun sumberdaya pertanian dari wilayah daratan.

Maluku, sejak dulu juga dikenal sebagai penghasil sagu, yang menjadi komoditi yang dipertukarkan antar wilayah kepulauan, antar wilayah kerajaan di kawasan kepulauan Maluku, bahkan dengan wilayah luar nusantara lainnya, bahkan dengan bangsa-bangsa luar di wilayah luar nusantara. Jadi selain sebagai penghasil rempah, sumber bahan pangan juga dihasilkan dari kekayaan tanah Maluku. Sumber-sumber pangan ini, saling dipertukarkan demngan komoditi lainnya yang dibawa oleh para pedagang luar. 

Artinya relasi antara wilayah di dalam kawasan nusantara, maupun dengan wilayah luar, selain dalam kerangka kedaulatan secara politik dan ekonomi, juga menjaga eksistensinya sebagai bangsa yang merdeka yang diakui kedaulatan politik dan kekuasaannya. Tentu saja, hal ini menjadi pelajaran penting, bahwa secara internal, antar wilayah nusantara, saling berelasi secara ekonomi dan budaya, untuk saling menguatkan eksistensinya sebagai bangsa yang kuat di wilayah nusantara, sekaligus menjaga eksistensinya bagi bangsa-bangsa luar yang datang ke wilayah tanah air, nusantara. 

Oleh karena itu, catatan penting yang ingin penulis sampaikan bahwa, dalam kerangka memperingati HUT 75 RI , kita dapat memetik pelajaran dan pengalaman yang berharga di masa lalu, bahwa kemerdekaan dan kedaulatan pangan adalah nilai budaya penting yang dihasilkan dari perjalanan sejarah bangsa yang panjang. Sejarah mengajarkan, bahwa kedaulatan pangan merupakan entitas penting dalam menjaga keutuhan sebuah bangsa. Lalu yang penting bisa kita lakukan adalah, bahwa sebagaimana hasil penelitian arkeologi menjelaskan, bahwa leluhur bangsa kita ini, mengajarkan cara bercocok tanam, mengolah lahan dan sebagainya. Di saat ini, lahan-lahan tidur perlu digerakkan, didayagunakan untuk menjadi lahan-lahan produktif di masyarakat. Momentum peringatan HUT 75 RI, tampaknya menjadi titik pijakan dan lompatan untuk membangun kedaulatan pangan secara meluas, sebagai program nasional yang harus digalakkan. 

Penulis dalam edisi sebelumnya, memberikan contoh seperti yang dilakukan oleh masyarakat Talaud, memberdayakan lahan-lahan tidur menjadi lahan-lahan perkebunan yang produktif. Penulis juga pernah menulis di Kompasiana ini, soal ketahanan dan surplus pangan, masyarakat Minahasa pada masa lampau, dengan bukti-bukti arkeologi, sebaran lumpang dan lesung batu, sebagai bukti peralatan olah pangan yang masif pada masa dulu, hingga hadirnya bangsa kolonial. 

Bahkan wilayah Minahasa, pasa lampau menjadi pengekspor bahan pangan ke wilayah kerjaan lainnya, Ternate hingga Kerajaan Banggai. Sebagai penutup, penulis berharap, program-program nyata di seluruh wilayah di Indonesia, untuk mengolah lahan tidur menjadi perkebunan rakyat, harus diwujudkan. Pembukaan lahan-lahan persawahan baru juga kiranya diwujudkan, memanfatkan luasnya area-area subur di wilayah-wilayah Indonesia yang belum tergarap. Petani menjadi pihak terdepan yang harus diberdayakan. Dukungan sepenuhnya pemerintah harus diwujudkan. Demikian, Terima Kasih....Merdeka!!!

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun