Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Banda Naira, Kekayaan Tersembunyi di Balik Senja Gunung Api Banda (Bag 1)

4 Agustus 2020   19:45 Diperbarui: 4 Agustus 2020   23:28 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung Api Banda, dilihat dari Banda Naira. Sumber: Balai Arkeologi Maluku/Baronda Ambon

Pulau Banda, pulau yang sangat populer di Kepulauan Maluku, bahkan di Indonesia dan dunia. Pulau penuh cerita dan kenangan dan juga pulau paling bersejarah dan legendaris. Di Kepulauan Banda, dua tokoh pahlawan Indonesia, Bung Hatta dan Bung Syahrir pernah di asingkan Belanda. Lalu, perjumpaan dengan masyarakat Banda, Syahrir dan Hatta memperkenalkan anak Banda, Des Alwi menjadi tokoh yang kemudian tampil ke panggung nasional.

Ohya, pembaca tahu, di abad 17 M, ratusan tahun lalu dari sekarang, salah satu pulau di Kepulauan Banda, pernah mau ditukarkan dengan Manhattan? Pasti tahu, pulau itu adalah Pulau Run, pulau kecil di bagian timurnya lagi Pulau Banda, masih dalam wilayah Kepulauan Banda. Pulau Run, adalah pulau kecil, yang pernah menjadi ajang perebutan Inggris dan Belanda.

Ya…saya tidak akan berpanjang lebar soal ini. Pembaca pasti sudah banyak tahu. Informasi soal ini juga berserak, di banyak buku-buku perpustakaan dan ataupun di jagad maya. 

Banyak para peneliti dan penulis, tak habis-habisnya mengupas tentang Banda. Baik sejarahnya, budayanya, lingkungannya, kondisi sosial masyarakat dan sebagainya. Pendek kata, Pulau Banda laksana laboratorium lapangan, dimana segala data dan informasi tentang kehidupan ini tersedia.

Menjemput senja di Gunung Api Banda. Sumber: Balar Maluku/Baronda Ambon
Menjemput senja di Gunung Api Banda. Sumber: Balar Maluku/Baronda Ambon
Oleh karena itu, untuk artikel tentang Banda ini, saya tidak akan banyak mengupas tentang sejarah Banda dan Budayanya. Namun saya ingin mengulas, Banda sebagai Rumah Peradaban. Banda Naira, yang kaya akan tinggalan warisan Budaya, terutama peninggalan kolonial, juga sejarah pendahulunya yakni sejarah Islam, serta dalam perkembangannya sebagai emporium dan penghasil komoditi paling termasyur pada masa lalu, yakni Pala di masa lalu, yang sama termasyurnya dengan komoditi cengkeh. 

Bukan tentang sejarah yang ingin saya ungkap, namun fakta dibalik sejarah masa lalu itu, meninggalkan jejak kemultibudayaan Kepulauan Banda.

Ulasan saya tentang Banda, akan saya buat berseri, mengingat kisahnya yang cukup panjang. Dari soal kebudayaannya, tentang bagaimana masyarakat memahami kemultibudayaan Banda dalam proses panjang dan menyejarah (1). 

Lalu tulisan berikutnya tentang pernah-pernik wisata Banda, diantara kekayaan warisan budaya, kekakayaan wisata alamnya dan sisi-sisi orang-orang terpinggirkan (2). Juga bagaimana soal wajah Banda hari ini, diantara bangunan-bangunan kolonial yang masih berdiri megah, harapan masyarakat dan sisi-sisi kerusakan warisan budaya yang masih terdiam (3). Dan juga ancaman terhadap Banda dari Gempa dan keaktifan Gunung Api Banda (4).

Untuk ulasan pertama, saya akan menyajikan Banda dalam sudut pandang, bagaimana masyarakat Banda hari ini memahami fenomena multibudaya Banda, dalam proses panjang dan menyejarah. Jika kita berkeling di Pulau Banda Naira, salah satu pulau dimana Kota Banda Naira, ibukota dari Kecamatan Pulau Banda berada, maka anda seperti melihat kota pada zaman pemerintahan kolonial dulu. 

Beberapa benteng Kolonial, masih berdiri megah, menjadi ikon kota Banda Naira. Ohya, sebelum berlanjut, saya ingin jelaskan, bahwa Kepulauan Banda, itu teridri dari banyak pulau-pulau kecil nan eksotik. 

Pulau terbesar adalah Pulau Banda Besar, lalu ada Pulau Banda Naira sendiri, Pulau Hatta, Pulau Syahrir, Pulau Pisang, Pulau Ay dan Pulau Run, selain itu mungkin ada pulau-pulau kecil lainnya, yang tidak bernama dan tidak berpenghuni. Salah satu pulau yang paling ikonik, adalah pulau gunung api berada, yakni Gunung Api Banda, yang berada di depan Pelabuhan Banda Naira.

***

Perjalanan kapal cepat, selama enam jam lamanya, kami berangkat siang hari, dan tentu saja, kami akan sampai di sana pertang hari. Kami menjemput senja di Pulau Banda Naira.Kami berangkat dari Ambon siang hari pada saat matahari masih sangat terik. 

Perjalanan di bulan Oktber adalah perjalanan laut yang paling tenang. Saat itu memang musim teduh. Bulan-bulan itu kata orang Maluku, laut sedang minyak, artinya permukaan laut, sangat tenang, teduh dan permukaan air laut laksana minyak, yang sangat tenang dan mengkilap, atau orang Maluku biasa menyebutnya licin, seperti minyak.

Salah satu tari tradisional Banda. Sumber: Dokpri
Salah satu tari tradisional Banda. Sumber: Dokpri
Rumah Peradaban Banda, adalah program untuk memperkenalkan tinggalan warisan budaya di Banda, yang dikenal sebagai pulau sekaligus kota Kolonial di wilayah Maluku, yang saat ini masih bertahan. Dengan memperkenalkan Banda, tentu kami berharap, warisan budaya yang ada di Banda, akan lebih dekat lagi dengan masyarakat.

Tentu saja, persentuhan kami dengan bangunan-bangunan Kolonial tinggalan Belanda tidak mungkin terhindarkan. Hal ini karena Banda Naira, memang dikenal sebagai kota di Kepulauan Banda, kota yang pernah menjadi pusat emporium masa Belanda. Banda adalah kota Kolonial, yang tak hanya menampilkan wajahnya yang sudah berpoles dengan sentuhan Kolonial Belanda, namun sejarah panjang sebagai penghasil rempah Pala, yang endemik, dan menjadi komoditi paling diburu pedagang di berbagai dunia, sebagaimana juga cengkeh, menjadikan Banda adalah kota primadona bagi para pedagang di seluruh dunia.

Jay Subiyakto, seorang sinematografi Indonesia yang populer, pernah mengangkat kisah Banda Naira, dalam sebuah film dokumenter yang kontroversial, berjudul “The Dark Forgotten” yang kemudian memicu perdebatan di kalangan masyarakat Banda, sehingga film itu tidak beredar atau tidak ditayangkan di Bioskop di kota-kota di Maluku. Kata Jay, Banda adalah permata dunia, Pulau ajaib.

Jay Subiyakto, memang tidak mengenal kami dari Tim Balai Arkeologi Maluku, saat menggarap film itu, namun kebetulan kami di tempat dan waktu yang sama, saat pengambilan gambar untuk adegan film itu. Sehingga dalam beberapa kesempatan, kami bertemu dengan kru film The Dark Forgotten itu. 

Bahkan beberapa kali kami sempat makan di tempat yang sama di Banda, yakni di depan Rumah Budaya Banda.  Baiklah, saya tidak henda menceritakan bagaimana pertemuan kami dengan kru film Jay Subiyakto, karena merekapun pasti tidak tahu. Kami tahu karena mereka pada umumnya celebritas negeri ini, sedangkan kami adalah tim riset dan sekaligus organizer untuk kegiatan dalam rangka sosialisasi warisan budaya Banda.

Pintu gerbang Benteng Nassau. Sumber: Dokpri
Pintu gerbang Benteng Nassau. Sumber: Dokpri
Saya juga tidak akan banyak membahas soal hotel-hotel di Banda, kulinernya, tempat-tempat wisata pilihan, karena bicara Pulau Banda Naira, adalah milik semua orang di seluruh dunia. Coba saja, anda berselancar di dunia maya, semua tentang Banda, tersaji informasinya. Dan semua tempat di Pulau Banda, adalah destinasi wisata. Jadi jika anda mencari informasi wisata di Pulau Banda, saya yakin anda akan menemukannya.

Oleh karena itu, dalam artikel Kompasiana ini, saya ingin mengajak anda berkeliling ke dunia di Pulau Banda, yang mungkin anda tidak temukan di dunia maya? Apa itu? Yaitu tentang wajah masyarakat Banda, diantara kemultibudayaan budayanya, sejarah kolonialnya dan tentang bagaimana orang Banda saat ini hidup, sebagai bagian wilayah republik Indonesia yang demikian kaya, namun sebagian masyarakat masih terasing dengan kekayaannya sendiri.

Banda Naira, memiliki ikon Benteng Belgica, Benteng Nassau yang masih berdiri megah di tengah kota Banda Naira. Juga masih sangat terpelihara, rumah pengasingan Bung Hatta dan Rumah Pengasingan Bung Syahrir. Bahkan di Banda juga berdiri Sekolah Tinggi Perikanan Hatta Syahrir, dimana pemuda-pumuda Banda Banda umumnya belajar disitu. Pergurunan tinggi yang di Kelola oleh Yayasan Banda Naira, yang didirikan oleh tokoh Banda, sekaligus anak angkayt Bung Hatta, yakni Des Alwi.

Selain bangunan-banguna benteng kolonial, yang masih berdiri megah, terdapat juga Istana Mini Banda, yang juga berdiri megah. Istana mini dianggap sebagai miniatur dari Istana Negara RI di Jakarta, tempat para Presiden RI berkantor. Di samping Istana Mini, juga terdapat rumah Residen Belanda, tepat di sisi kiiri Istana Mini Banda, juga masih berdiri kokoh, sehingga bisa terlihat dua bangunan megah berjejeran, dengan halaman depan yang sangat luas. Istana mini Banda, sampai sekarang digunakan untuk event-event budaya bersakala besar.

Benteng Belgica di Banda Naira. Sumber: Balar Maluku/Baronda Ambon
Benteng Belgica di Banda Naira. Sumber: Balar Maluku/Baronda Ambon
Di Banda Naira juga, terdapat Gereja Tua Banda, yang sangat terkenal, klenteng Tioghoa, yang saat ini masih sangat terawat. Selain itu juga terdapat Masjid Tua, di Desa Kampung Baru, yang masih berada di Pulau Banda Naira, meskipun lokasinya agak jauh dari Pusat Kota Banda Naira, dimana benteng-benteng Belanda, Istana Mini, Gereja tua dan beberapa bangunan peninggalan Belanda lainnya berada.

Sepertinya, membicarakan Banda takkan ada habisnya, dan itu semua bisa anda peroleh semua tentang berbagai cerita di Pulau Banda, dengan berbagai foto menawan tentang Banda di berbagai halaman website. Sekali lagi, membicarakan Banda, sepertinya takkan ada habisnya, walaupun semua informasi tentang Banda lengkap dengan foto-foto menawan, tersaji di banyak ruang. Jika anda ingin memperoleh infromasi dan melihat Banda, dengan mudah dan murah, silakan anda berselancar saja di jagat maya.

Lalu, saya mesti menulis tentang apanya Banda lagi? Bicara tentang Banda, sepertinya kekayaan panorama yang menjadi destinasi utama Maluku, sangat menjanjikan. Tiap tahunnya, sebelum pandemi ini, Banda selalu dipadati oleh wisatawan mancanegara, terutama di bulan Oktober-November, di saat cuaca yang tenang, kondisi laut yang teduh. 

Hotel-hotel dan bisnis kuliner, sangat berkembang, di satu sisi, namun disisi lain, banyak pula pengelola hotel yang megap-megap, menghadapi persaingan yang sangat ketat, apalagi di saat wisatawab sepi. Terutama di bulan-bulan cuaca yang tidak bersahabat.

Baiklah, saya akan mengulas pengalaman kami berdialog dengan para pemuka adat, kelompok siswa, para pemandu wisata yang pada umumnya penduduk lokal, para pegiat budaya dan masyarakat umum lainnya, ketika kami melakukan sosialisasi program Rumah Peradaban Banda. 

Suatu ketika, kami mengajak siswa memahami tentang budaya Banda. Kami ajak siswa berkeliling dan memahami berbagai potensi tinggalan budaya. Para siswa yang berasal dari berbagai desa di pulau-pulau di Kepulauan Banda, kami kumpulkan, jumlahnya mungkin mencapai 300 siswa.

Kami ajak berkeliling, mengunjungi benteng-benteng kolonial, mengunjungi museum Rumah Budaya Banda Naira, mengunjungi gereja tua, Kelenteng kuno, masjid tua juga rumah-rumah tua peninggalan Belanda. Bukan hanya untuk mempelajari sejarahnya, tapi lebih dari itu juga mempelajari wajah budaya Banda sebenarnya. 

Wajah Multibudaya. Betapa kita menjadi paham, bahwa Banda di abad 17-18 M, adalah wajah kota penuh ragam budaya, dan semuanya saling bersentuhan di kota kolonial di pulau kecil dan terpencil, di batasi oleh salah satu laut terdalam di dunia, yaitu Laut Banda.

Beberapa saat yaang cukup, saya sempatkan bercakap-cakap dengan para pedagang di pasar, juga beberapa orang lama yang sudah saya kenal, bahwa di Banda, tidak pernah ada yang benar-benar penduduk asli. Dari sejarahnya, penduduk Banda memang sudah dari awalnya, berasal dari berbagai penjuru nusantara, bahkan dari mancanegara tinggal menetap dan menjadi warga Kepulauan Banda. 

Di Banda Naira, ibukota kecamatan Kepulauan Banda, kita akan jumpai penduduk pada umumnya berasal dari keturunan dari Sumatra, Jawa, Sulawesi juga Cina dan Arab. Secara keseluruhan mereka bermukim di Banda, turun temurun berdasarkan perjalanan nenek moyang mereka sejak Banda, dikenal sebagai emporium, sebagai Pelabuhan yang menjadi mata rantai perdagangan dunia.

Di Banda dari sejak abad 16, telah tumbuh menjadi kota niaga, dengan Pelabuhan besarnya yang dipimpin oleh Syahbandar. Orang-orang asli Banda, yang disebut Orang Kaya Banda, sejak masa pendudukan kolonial Belanda, diantaranya banyak yang meninggalkan Banda, ke wilayah-wilayah lain di Kepulauan Maluku antara lain ke Pulau Seram, Ambon, bahkan ke Kepulauan Kei dan juga ke beberapa pulau lainnya. Meskipun tentu saja, banyak pula penduduk lokal yang tetap bertahan di pulau itu. 

Untuk sejarah ini, juga sudah cukup banyak ditulis dalam berbagai artikel ilmiah. Namun, bagaimanapun wajah Banda yang multibudaya, adalah proses yang menyejarah. Berkembangnya Banda sebagai bandar besar, dalam mata rantai perdagangan rempah dunia, melahirkan Banda sebagai wilayah penghasil komoditi juga sekaligus pasar bagi komoditi dari luar.  

Para pedagang dari penjuru dunia, berburu rempah cengkeh dari Ternate dan Pala dari Banda, akibatnya mereka berbondong-bondong ke Banda, sebagian meninggalkan Banda untuk membawa hasil rempah Palanya dibawa ke negara asalnya, tidak sedikit pula yang menetap tinggal dan ada proses kawin mawin dengan penduduk lokal dan para pedagang dari negara lainnya yang sama-sama berburu rempah. Oleh karenanya, wajah Banda hari ini adalah wajah yang multibudaya.

Oleh karena proses panjang dan menyejarah itu, maka saat ini kita bisa saksikan berjejeran dalam ruang yang saling berdekatan, Gereja Tua, Kelenteng dan dalam jarak yang cukup dekat, juga ada masjid, dan semuanya sejak dulu hingga sekarang masih dimanfaatkan oleh masyarakat. Konflik Maluku, meskipun sempat mengganggu, namun akar sejarah dan budaya yang tertaman kuat, tidak sampai mencerabutnya. Banda, tetaplah Banda yang multibudaya dan kaya akan hasil pertanian, kelautan dan sumberdaya wisatanya. Masyarakatnya yang bersahaja dan juga saling menjaga kisah kasih persaudaraannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun