***
Perjalanan kapal cepat, selama enam jam lamanya, kami berangkat siang hari, dan tentu saja, kami akan sampai di sana pertang hari. Kami menjemput senja di Pulau Banda Naira.Kami berangkat dari Ambon siang hari pada saat matahari masih sangat terik.
Perjalanan di bulan Oktber adalah perjalanan laut yang paling tenang. Saat itu memang musim teduh. Bulan-bulan itu kata orang Maluku, laut sedang minyak, artinya permukaan laut, sangat tenang, teduh dan permukaan air laut laksana minyak, yang sangat tenang dan mengkilap, atau orang Maluku biasa menyebutnya licin, seperti minyak.
Tentu saja, persentuhan kami dengan bangunan-bangunan Kolonial tinggalan Belanda tidak mungkin terhindarkan. Hal ini karena Banda Naira, memang dikenal sebagai kota di Kepulauan Banda, kota yang pernah menjadi pusat emporium masa Belanda. Banda adalah kota Kolonial, yang tak hanya menampilkan wajahnya yang sudah berpoles dengan sentuhan Kolonial Belanda, namun sejarah panjang sebagai penghasil rempah Pala, yang endemik, dan menjadi komoditi paling diburu pedagang di berbagai dunia, sebagaimana juga cengkeh, menjadikan Banda adalah kota primadona bagi para pedagang di seluruh dunia.
Jay Subiyakto, seorang sinematografi Indonesia yang populer, pernah mengangkat kisah Banda Naira, dalam sebuah film dokumenter yang kontroversial, berjudul “The Dark Forgotten” yang kemudian memicu perdebatan di kalangan masyarakat Banda, sehingga film itu tidak beredar atau tidak ditayangkan di Bioskop di kota-kota di Maluku. Kata Jay, Banda adalah permata dunia, Pulau ajaib.
Jay Subiyakto, memang tidak mengenal kami dari Tim Balai Arkeologi Maluku, saat menggarap film itu, namun kebetulan kami di tempat dan waktu yang sama, saat pengambilan gambar untuk adegan film itu. Sehingga dalam beberapa kesempatan, kami bertemu dengan kru film The Dark Forgotten itu.
Bahkan beberapa kali kami sempat makan di tempat yang sama di Banda, yakni di depan Rumah Budaya Banda. Baiklah, saya tidak henda menceritakan bagaimana pertemuan kami dengan kru film Jay Subiyakto, karena merekapun pasti tidak tahu. Kami tahu karena mereka pada umumnya celebritas negeri ini, sedangkan kami adalah tim riset dan sekaligus organizer untuk kegiatan dalam rangka sosialisasi warisan budaya Banda.
Oleh karena itu, dalam artikel Kompasiana ini, saya ingin mengajak anda berkeliling ke dunia di Pulau Banda, yang mungkin anda tidak temukan di dunia maya? Apa itu? Yaitu tentang wajah masyarakat Banda, diantara kemultibudayaan budayanya, sejarah kolonialnya dan tentang bagaimana orang Banda saat ini hidup, sebagai bagian wilayah republik Indonesia yang demikian kaya, namun sebagian masyarakat masih terasing dengan kekayaannya sendiri.
Banda Naira, memiliki ikon Benteng Belgica, Benteng Nassau yang masih berdiri megah di tengah kota Banda Naira. Juga masih sangat terpelihara, rumah pengasingan Bung Hatta dan Rumah Pengasingan Bung Syahrir. Bahkan di Banda juga berdiri Sekolah Tinggi Perikanan Hatta Syahrir, dimana pemuda-pumuda Banda Banda umumnya belajar disitu. Pergurunan tinggi yang di Kelola oleh Yayasan Banda Naira, yang didirikan oleh tokoh Banda, sekaligus anak angkayt Bung Hatta, yakni Des Alwi.