Komik dan Animasi Arkeologi : Adaptasi Budaya PopulerÂ
Bagi generasi milleneal 4.0 mungkin bidang ilmu arkeologi tidak menarik. Arkeologi identik dengan fosil, kuno, masa lalu dan hal yang telah usang lainnya. Â Namun, arkeologi akan menjadi menarik apabila, dikemas dengan cara mengadaptasi perkembangan budaya populer yang kekinian.Â
Jadi bahan baku hasil riset arkeologi yang ilmiah, bisa diadaptasikan kedalam budaya populer agar lebih bisa diterima oleh publik, terutama kalangan millennial. Putra Kamajaya, seorang illustratrator, komikus dan animator yang cukup punya pengalaman dan kompetensi. Putra Kamajaya, yang lulusan Universitas Airlangga itu juga adalah staf desain grafis Balai Arkeologi Sulut.
Menurut Putra, arkeologi perlu diadaptasikan ke ranah budaya populer, akan lebih diterima oleh masyarakat. Katanya, budaya populer lebih bisa dinikmati oleh anak-anak dan remaja (trend). Pun tinggalan arkeologi di Indonesia, hingga saat ini tampaknya kurang dikenal kalangan remaja. Dengan cara memperkenalkan ke dalam budaya populer, akan lebih menarik minat anak-anak dan remaja untuk mengenal arkeologi. Perkembangan budaya populer yang semakin diminati anak-anak dan remaja adalah komik dan animasi.Â
Oleh karenanya, arkeologi perlu diadaptasi kedalam kedua contoh budaya populer itu. Mengapa perlu mengadaptasi arkeologi ke dalam komik dan animasi? Menurut Putra, setidaknya ada dua sebab, yaitu pertama, informasi dalam bentuk visual lebih mudah ditangkap. Kedua, anak-anak dan remaja lebih menyukai konten yang menghibur. Gambar visual lebih banyak bercerita. Dengan gambar, dalam satu frame saja, semua cerita bisa mengalir karenanya.
Mengadaptasi arkeologi ke dalam budaya populer perlu kolaborasi. Peneliti atau arkeolog tidak bisa kerja sendiri. Begitupun illustrator, komikus atau animator. Tidak mungkin bekerja sendiri. Karena interpretasi arkeologi adalah ranah peneliti. Komikus bertugas menerjemahkannya ke dalam bahasa visual.Â
Bahasa gambar komik. Bahasa animasi. Cerita dan alur bisa dibuat arkeolog. Kolaborasi itu penting. Karenanya lahir cerita sekaligus pengetahuan. Membuat publikasi arkeologi untuk kalangan pelajar dengan visual yang menarik sesuai selera dan trend yang mereka ikuti. Dan jangan lupa membuat publikasi di sosial media.
Kolaborasi, memainkan peran masing-masing. Kolaborasi saling memberikan ruang, berbagi peran. Arkeolog atau peneliti arkeologi mensuplai informasi, tentang temuan arkeologi, tentang ilmunya, tentang situs arkeologi dan segala ihwal yang melekat di dalamnya. Arkeologi berperan melahirkan informasi, melahirkan knowledge atau pengetahuan. Sementara insan kreatif (animator, komikus, illustrator), merekayasa, mendesain dan menyisipkan elemen visual dari pengetahuann arkeologi agar bisa dinikmati publik. Memanjakan mata dan rasa.
Lalu, pengetahun yang dikemas dalam bahasa visual itu, perlu ruang. Lembaga riset, seperti Balai Arkeologi, bisa membangun web komik. Web komik, formatnya ramah untuk pembaca. Â Animasi (layanan video streaming), lebih cepat viral dan mudah untuk dishare. Jangan lupa memanfaatkan medsos sebagai media promosi.Â
Demikian Putra Kamajaya, staf desain grafis Balai Arkeologi Sulawesi Utara mendemonstrasikan pengetahuan dan pengalamannya menjadi komikus, animator dan illustrator. Putra lalu memberikan contoh platform web komik, seperti komik Wonder Boven adalah komik dengan genre drama tapi dengan latar belakang masa Hindia Belanda. Komik ini mensimulasi kehidupan penduduk pada masa itu, latar belakang tempat digambar sesuai dengan referensi bangunan kolonial.Â
Tentang komik Wonder Boven Wonder, menurut Putra menyuguhkan referensi foto sangat membantu dalam pembuatan background bangunan kolonial. Lebih jauh, Putra juga menyajikan contoh karya komik yang pernah dibuatnya. Berlatar tentang kisah Mahabarata, berjudul "Rajaban Abimanyu". Berisi kisah perjuangan Abimanyu, dalam perang Kurusetra. Kisah ini hanya sepenggal dari kisah panjang Baratayudha. Yang jelas menurutnya, publik Indonesia, merespon dengan baik kisah komik yang mengangkat tema warisan budaya.