*Melukis Dengan Cahaya: Arkeologi Dalam Lensa Kamera*
Kali ini, saya akan mengulas soal fotografi arkeologi. Arkeologi dalam Lensa Kamera. Itzmar Patriski, sahabat saya, arkeolog yang berpengalaman menjadi fotografer LKBN Antara selama puluhan tahun lamanya. Ia, membagikan pengalamannya kepada para peserta Webinar Arkeologi kedua oleh Balai Arkeologi Sulawesi Utara (2 Juli 2020).
Arkeologi akan selalu berhubungan dengan fotografi. Karena dalam setiap pengumpulan data lapanga, fotografi menjadi salah satu kunci terhadap kualitas data arkeologi. Setiap pengumpulan data arkeologi, salah satunya melakukan perekaman melalui fotografi.
Tanpa fotografi, mungkin kita tidak akan tahu bagaimana perkembangan Candi Borobudur dari awal penemuannya hingga saat ini. Dalam lensa kamera, kita semua bisa menjadi abadi. Begitu kira-kira kita bisa memberikan pengandaian.
Dalam dunia arkeologi, orang yang pertama kali memperkenalkan soal fotografi adalah seorang bernama Kassian Cephas, yang hidup antara tahun 1845-1912. Lahir, 15 Januari 1845 Belajar fotografi sebagai pegawai magang Simon Willem Camerik (fotografer & pelukis Keraton Yogyakarta) pada 1861-1871.
Diperkirakan Cephas belajar fotografi pertama kali kepada Isidore van Kinsbergen (fotografer & pelukis Belanda-Belgia yang tinggal di Batavia). Ditunjuk sebagai jurufoto & pelukis Keraton Yogyakarta oleh SultanHB VI pada sekitar 1871. Demikian, Itzmar Patriski mengawali paparannya dalam Webinar kedua Balai Arkeologi Sulut itu. Karya foto pertama Cephas, adalah candi Borobudur pada tahun 1872.
Menurut Itzmar, Cephas mulai dikenal khalayak nonpribumi setelah namanya dicantumkan dalam artikel yang ditulis Isac Groneman untuk Lembaga Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Batavia (Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen) pada 1884.
Artikel ini membahas mengenai Istana Air Tamansari. Menjadi anggota Perkumpulan Arkeologi, Geografi, Bahasa, dan Etnografi Yogyakarta (Vereeniging voor Oudheid-, Land-, Taal- en Volkenkunde te Jogjakarta) yang didirikan Isac Groneman (1885), sekaligus terlibat sebagai jurufoto dalam berbagai penelitian lembaga tersebut.
Itzmar Patriski, mengurai lebih lanjut soal Cephas. Data dan informasi dari koleksi KILTV lengkap soal karya Cephas. Orang pribumi Indonesia pertama, yang mengabadikan candi Borobudur dan momen-momen kebudayaan dalam lensa kameranya. Ratusan relief candi Borobudur telah dibidik dalam lensa kameranya.
Cephas memotret 160 relief pada bagian dasar Candi Borobudur yang ditemukan Kepala/Pemimpin Perkumpulan Arkeologi (Archaeologische Vereeniging) pertama, J.W. Ijzerman, pada 1885 Pada 1889-1890 Archaeologische Vereeniging di Yogyakarta menunjuk Cephas sebagai juru foto dalam penelitian dan pelestarian monumen kuno peradaban Hindu-Jawa di Jawa Tengah, Kompleks Candi Lara Jonggrang di Prambanan.
Cephas diangkat sebagai anggota luar biasa Lembaga Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Batavia (Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen) pada 1892. Hampir seluruh hidupnya, Cephas mendedikasinya untuk mengabadikan Candi Borobudur dalam bidikan lensa kameranya, pada awal-awal penemuan candi terbesar di Nusantara itu.
Dedikasinya itu, membuatnya mendapat penghargaan tahun 1901 Cephas menerima penghargaan medali emas Orange-Nassau, diperkirakan terkait kiprahnya dalam memotret serta melestarikan peninggalan arkeologis dan budaya Jawa.
Pada sekitar 1905 Cephas pensiun dari fotografi. Sepanjang berkiprah dalam bidang fotografi, Cephas juga banyak menghasilkan karya foto budaya Jawa, terutama Yogyakarta. Cephas wafat pada 16 November 1912.
Fotografi dalam arkeologi tidak pernah mati. Arkeologi selalu membutuhkan fotografi. Karena dunia riset arkeologi, ruhnya pada pengumpulan dan perekaman data. Maka, fotografi adalah kunci utama dalam perekaman arkeologi. Apa yang dikerjakan oleh Cephas, itupun terus hidup, berlanjut dari setiap zaman dan generasi.
Menurut Itzmar Patriski, arkeolog yang juga fotografer LKBN Antara itu, fotografi adalah seni melihat. Pun juga sebagai seni melukis dengan cahaya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) fotografi adalah Seni dan penghasilan gambar dan cahaya pada film atau permukaan yang dipekakan. Fotografi adalah juga media komunikasi.
Pengalaman Itzmar Patriski sebagai arkeolog, yang bekerja sebagai fotografer selama puluhan tahun. Membuktikan dedikasi dan loyalitasnya pada profesi, sekaligus keilmuwannya. Itzmar lalu, membagikan tipsnya dalam membidik obyek arkeologi dalam lensa kameranya.
Mengemas arkeologi dalam bahasa visual, membuat foto yang baik, kata Itzmar, adalah ditentukan oleh kejelian dan kreatifitas fotografer. Salah satu yang penting adalah komposisi, untuk menghasilkan fotografi yang enak dipandang mata.
Tujuan darim komposisi, adalah membangun mood atau rasa dari sebuah foto, keseimbangan obyek foto, juga melatih kepekaan fotografer, bagaimana harus memotret sebuah obyek arkeologi.
Di arkeologi, obyeknya yang sepi, tidak banyak aktivitas, kita harus kreatif. Mengemasnya butuh kejelian. Pun kepekaan mata, menangkap elemen-elemen penting pada obyek arkeologi. Komposisi juga akan mngeskplorasi ide dari benak kita tentang pengetahuan visual.
Komposisi sebenarnya tidak 'saklek', fotografi itu seni, yang penting itu ide. Kata Itzmar. Kita bisa gunakan fitur 'Rule of Third', untuk memandu kita dalam mengambil obyek. Lalu, shape (bentuk), sebenarnya penekanan, bahwa menampilkan sebuah bentuk dalam menonjolkan obyek foto, bisa kotak, lingkaran ataupun segitiga. Kemudian komposisi garis (leading line), kita bisa memanfaatkan garis-garis di sekitar obyek, untuk memandu dalam mengekplorasi point of interest kita.
Lalu juga ada komposisi 'simetris' (centered), menempatkan point of interest di bagian tengah (centered) atau simeteris. Ada pula komposisi 'membingkai' (framing) memanfatkan elemen-elemen obyek gambar untuk mempercantik obyek foto, apakah itu bentuk tanaman, pohon dan sebagainya yang dapat dimanfaakan sebagai bingkai (frame).
Komposisi (Foreground) latar depan, menempatkan elemen lain di depan obyek utama. Dimanfaatkan untuk memenuhi, agar bidang atau obyek foto tidak tampak kosong. Komposisi background (latar belakang), point of interest atau subyek foto itu yang utama, di bagian depan, lalu elemen pendukung sebagai obyek latar di bagain belakang.
Komposisi 'pola' (pattern) sering digunakan untuk memotret lanskap. View of point atau sudut pandang. Komposisi dari sudut pandang, untuk melihat obyek dengan menangkap seluruh areal atau elemen di sektar obyek utama. Komposisi 'Fill the frame" memenuhi semua frame, tidak banyak ruang kosong, semuanya terpakai, setiap frame foto, biasanya foto close up. 'Kedalaman ruang (Deep of Field).
Foto obyek utama yang dibuat sejelas mungkin, sedangkan obyek lain diblurkan. Komposisi golden shape 'permainan cahaya" memainkan komposisi gelap terang untuk memperindah obyek foto.
Lalu 'golden spiral' Â pembagian ruang dalam sebuah gambar, membangun proporsi obyek foto, bisa dilakukan pada saat pengeditan. Sedangkan, 'Golden triangle' prinsip seperti golden spiral, namun dalam bentuk segitiga.
Pada intinya, fotografi adalah seni mengemas obyek foto. Dalam aspek arkeologi, foto digunakan sebagai tekni perekaman data, tetapi juga menjadi sumber informasi.
Jadi fotografi arkeologi bisa mengekplorasi perkembangan fotografi, baik yang dihasilkan dari foto-foto lama, dengan membandingkan dengan perkembangannya hingga sekarang. Apalagi dengan berbagai perkembangan teknologi sekarang, seperti drone, yang juga bisa digunakan untuk fotografi.
Meskipun fotografi, sebagai perekaman data penelitian, namun sebagai sebuah seni mengemas obyek foto, fotografi arkeologi, juga dapat dikemas menjadi seni merekam data, tanpa harus melupakan obyek utama data arkeologi sebagai perekaman hasil penelitian yang baku. Pungkas Itzmar Patriski, mengakhiri paparan materi Arkeologi dalam Lensa Kamera. Mengemas Arkeologi dalam Bahasa Visual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H