Judul Buku     : Ikan Adalah Pertapa
Pengarang     : Ko Hyeong Ryeol
Penerjemah    : Kim Young Soo & Nenden Lilis Aisyah
Penerbit        : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta
Tahun Terbit   : 2023 (Cetakan Pertama)
Tebal           : xxiii + 282 halaman
Fakta yang harus kita terima adalah setiap negara berusaha menutupi masalahnya keluar dan hanya memperlihatkan sisi terbaiknya saja. Salah satu yang melakukan ini adalah Korea Selatan, kita selalu dibuai dengan musik dan dramanya hingga bermimpi untuk tinggal di sana. Buku Ikan adalah pertapa ini membawa kita menjelajahi Korea dari sisi yang belum pernah kita tahu sebelumnya.
Kenapa saya bilang belum pernah kita ketahui? Sebenarnya mungkin beberapa fakta ini ada hanya saja banyak tertutupi oleh romantisme yang banyak diketahui oleh kita terkait Korea Selatan. Di halaman awal saja kita dibawa kepada keadaan yang tidak aman dan mencekam. Kita bisa melihat pada kutipan ini. Ya, aku baru tahu/ Jangan menangis, jangan menangis/ Aku melindungimu/ Menjadi kuda goyang untukmu/ menjadi mata untukmu// ("Puisi Ombak",  Ryeol, hlm. 6). Dalam kutipan kita bisa melihat bagaimana aku lirik mencoba untuk melindungi kamu agar tenang dalam keadaan yang terjadi. Keadaan yang dirujuk puisi itu dalam benak saya adalah masalah perundungan yang cukup tinggi di Korea, dan si aku lirik ini mencoba melindungi si kamu lirik dari perundungan yang dia rasakan.
Jika masalah perundungan ini tidak cukup mengagetkan dan dianggap biasa saya, kita bisa membuka beberapa halaman selanjutnya dan berhenti di puisi berjudul "Menangkap Cahaya yang Tak Dapat Menyebrang". Pada puisi itu saya hilang fokus pada bagian .../Yang lebih uranium daripada uraniuim/ Yang lebih karbon daripada karbon/... ("Menangkap Cahaya yang Tak Dapat Menyebrang, Ryeol, hlm. 11). Dari dua larik tersebut penyair mencoba merepresentasikan nuklir yang digunakan dalam perang, dan sempat menjadi permasalahan dengan Korea Utara.
Perang dengan menggunakan senjata nuklir ini diawali oleh negara adikuasa yang melakukan penyerangan ke Jepang. Nuklir tersebut dijatuhkan dalam bentuk bom bernama "Little Boy". Penyair juga menangkap peristiwa ini di dalam bukunya dalam kutipan ini.
Jelas sudah, seluruh waktu kita telah dikorbankan
Sesaat sebelum beberapa cahaya mekar kembali
berupaya membawakan napas panjang dan puisi
Namun, tak ada hal yang terlambat
("Menangkap Cahaya yang Tak Dapat Menyebrang, Ryeol, hlm. 11)
Bait ini merupakan penolakan penyair terhadap penggunaan nuklir dalam perang tersebut. Namun, penolakan tersebut sis-sia karena hal tersebut sudah terjadi dan memakan korban. Hubungan penyair KO dan Jepang memang cukup dekat karena puisinya yang berjudul "Little Boy" dengan gambaran kehancuran akibat jatuhnya bom atom mendapatkan reputasi baik dari pembaca Jepang.
Selain menyajikan masalah sosial, sejarah dan politik, penyair KO juga menyoroti dan mengkritik kehidupan manusia. Salah satunya adalah puisinya yang berjudul "Kesewenang-wenangan kepada Sang Surya", yang menggambarkan kegiatan manusia yang merusak lingkungan. Penyair KO dalam puisi ini menggunakan personifikasi dari sudut pandang bumi yang marah kepada manusia. Namun, marahnya pun tidak meledak-ledak tapi santai dan menusuk, jelasnya pada larik berikut.
...
Tapi umat manusia sama sekali tidak mengucapkan
terima kasih walau hanya sekadar basa-basi
....
("Kesewenang-wenangan Kepada Sang Surya", Ryeol, hlm. 170)
Dalam buku ini juga Penyair KO menuliskan beberapa refleksi personalnya akan nilai-nilai kehidupan. Salah satunya adalah puisi yang berjudul "Warna Jingga Muda" yang merefleksikan nilai-nilai merasa cukup dan tidak merendahkan dalam kehidupan. Kutipannya adalah /... /Sejak awal sembilan puluh sembilan persen tak ada artinya/ tapi sisa satu persen mempunyai banyak makna bagimu/.../ ("Warna Jingga", Ryeol, hlm. 150).
Dari pembahasan di atas buku Ikan adalah Pertapa ini memiliki banyak makna di dalamnya, mulai dari sosial, sejarah, lingkungan, dan refleksi personal penyair. Dalam tulisan ini tentu saja saya tidak bisa merincikannya karena tentu tidak akan cukup dalam tulisan ini. Apalagi puisi-puisi penyair KO memang membuat kita harus mengeksplorasi dan akhirnya mengetahui banyak hal.
Seperti judulnya, setelah membaca ini saya merasa menjadi seorang pertapa. Karena puisi-puisinya bisa mengajari saya banyak nilai kehidupan dari peristiwa, sejarah, atau refleksi. Walaupun ada beberapa kritik penyampaian yang dilakukannya begitu halus dengan menggunakan metafora dan personifikasi yang bisa dilihat pada beberapa kutipan yang saya ambil di atas. Selayaknya seorang pertapa yang mempelajari kehidupan dari diam dan mendengarkan.
Puisi yang kaya akan makna bagi saya dalam puisi ini memiliki dua mata pisau, pertama menarik untuk banyak digali pemaknaanya, kedua membingungkan pembaca yang awam atau pemula dalam penarik pemaknaan tulisan. Ditambah dengan puisi ini merupakan terjemahan sehingga kondisi sosiologis yang melekat pada puisi bisa saja asing di mata pembaca. Namun, jika kalian memahami bahasa Korea membaca buku ini akan menjadi keuntungan karena tulisan hangeul (aksara Korea) tetap ada berdampingan dengan terjemahannya, ya buku ini merupakan buku dwi bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa Korea. Sehingga saya hanya merekomendasikan buku ini untuk dewasa muda hingga tua dan yang menyukai tantangan mencari makna di dalam sebuah tulisan. (Wulan Sari)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H