Tanggal 24 Desember..
Ya, di tanggal itu. Saya kembali mendengar dalih bodoh yang terlalu dicari-cari. Terlalu dibuat-buat hingga memuakkan. Ingin saya mematikan TV saat itu juga, namun demi perspektif saya harus menuntaskannya.
Persis Maharani yang bilang 'Rp. 10 juta adalah uang untuk perkenalan', foto-foto menendang dan berpelukan tanpa penutup atas sebenarnya cuma PURA-PURA untuk koleksi lucu-lucuan. Ya... tak ada kekerasan, para mahasiswa itu bilang. Lalu bagaimana Fikri yang terlanjur mati. Mungkin kita tiru saja cara ngeles Maharani... Bisa saja Fikri digigit nyamuk di Goa Cina terus dia meninggal.
Menghela nafas berat... Maafkan saya yang tidak bisa memberi analisis 'dangkal khas orang kecil'. Saya hanya bisa menangis di malam hari. Bukan sedih, melainkan marah. Tak habis pikir...
Ternyata menduduki bangku di lembaga pendidikan tertinggi, menyandang status Mahasiswa, berpengalaman organisasi, mengadopsi cara-cara militeristik ke dalam kultur kampus, tidak membuat mereka menjadi orang yang berbudi dan bermental tangguh. Tidak mampu, tidak cukup kuat, tidak cukup punya kualitas kepribadian untuk mengakui kesalahan sendiri.
Ah, militer..militer....
Kenapa juga cara-caramu itu harus dibawa-bawa ke lingkungan sipil. Kaukah yang mengenalkan dan mengajarkan? Atau mereka-kah yang sok gagah meniru-niru hendak sedikit seperti dirimu dengan mengambil cara-caramu?
Jenderal... Ternyata itu tidak menjadikan mereka bijaksana, apalagi berkepribadian. Tidak jadi pribadi yang lebih tangguh dan bertanggung jawab pula setelah acara tendang-tendangan dan gampar-gamparan.
Mereka tidak mengerti Jenderal... bahwa separuh dari orang sipil tidak punya tubuh segagah engkau, yang kau latih dengan sungguh-sungguh dalam waktu yang tak sebentar, tak instan.
Berani-beraninya mereka menyamakan perut berototmu dengan perut orang sipil yang jarang olahraga. Setengah dari mereka bahkan mungkin tidak bisa push-up dengan gerakan yang tepat sebanyak 25 kali dalm 1 menit sepertimu, Jenderal.
Sampai kapan kegagahanmu diimitasi dengan salah kaprah dan keterpelesetan seperti ini...
Jenderal, kurasa beberapa tahun lagi akan ada yang mati kembali.
Sungguh jauh panggang dari api.
Jauh bintang biduk dari lantai sumur gali.
Keras terbanting lebam-bonyok keagungan perspektif keliru dari kehinaan kenyataan polos.
Karena semua ke-WAH-an, kehormatan dan keseganan senioritas dari pelatihan ‘Loreng-loreng’ seperti ini, saat akibat fatal timbul maka satu kalimat penjelas untuk keterangan sebab musabab –ihwal hal ihwal kematian Si Mati adalah kalimat pendek “Mati karena Digebuki”
Wahai mahasiswa, bagi kalian yang masih lurus. Tatalah pikiranmu dalam kebijaksanaan mengadopsi cara-cara militeristik. Jangan kau meniru-niru tapi kau sendiri tidak tahu untuk apa para loreng-loreng melakukan itu.
Jangan-jangan bukan kualitas yang didapat melainkan pembusukan laten yang terpelihara ke tiap angkatan dengan benihnya yang bernama tradisi turun temurun dan dendam.
Lihatlah ke omongan rekan-rekan sejawat kalian pada tanggal 24 Desember itu.
Semua cara-cara itu tidak memberi hasil apa-apa pada mereka. Tidak mengasah tajam diri mereka. Lihatlah mereka. Mereka tidak mengakui perbuatan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H