Mohon tunggu...
Wulan Nur Diani
Wulan Nur Diani Mohon Tunggu... Lainnya - Siswi Sekolah Menengah Atas

Suka menulis hal-hal acak sedari kecil.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

CREEP (Orang Aneh)

19 Mei 2024   11:36 Diperbarui: 19 Mei 2024   11:36 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

   Namaku Gautama Danapati Shankara, biasa dipanggil pecundang. Selama aku hidup, rasanya tidak ada yang menginginkanku apalagi mau menemaniku. Mungkin memang pantas bagiku untuk menerima semua ini, lagipula semua keluhanku tidak berarti. Di sekolah ini pun aku tak memiliki satupun teman. Mereka semua menatapku dengan sorot mata tak suka seolah aku melakukan dosa yang tak akan diampun selama tujuh turunan.

   Satu-satunya temanku hanyalah walkman pemberian ibuku. Meskipun sudah usang dan sering mati, setidaknya dia tidak meninggalkan aku sendiri seperti yang ayah lakukan sepuluh tahun yang lalu. Hari ini pun aku duduk sendirian di atap, menatap awan-awan gelap sembari mendengarkan lagu band kesukaanku yang berjudul “creep”.

   “Jangan disini mulu, dong!”

   Suara asing itu tiba-tiba muncul entah dari mana dan membuatku mematikan lagu yang sedang aku putar. Aku menoleh ke arah sumber suara itu dan menemukan seorang gadis yang sepertinya masih teman seangkatanku. Tubuhnya mungil dengan rambut pendek sebahu, membuatku menatapnya untuk waktu yang cukup lama dari seharusnya.

   “Hey! Denger gak, sih?” Gadis itu mulai berjalan kearahku dan kini berhenti tepat di depanku. Ia mulai menatapku dan walkman yang aku pegang secara bergantian dan tiba-tiba tersenyum lebar. “Ternyata kamu dengerin lagu, ya? Wah, kenapa gak bilang-bilang?” Suara nyaringnya itu sepertinya akan menggema di satu sekolah, ternyata gadis ini agak cerewet daripada perkiraanku.

   “Aku juga suka dengerin musik, loh!” Suaranya lebih manis dari gadis lain yang aku pernah dengar sebelumnya, atau mungkin aku mulai tidak waras. Mata coklatnya yang indah menatapku lekat, seolah berusaha memikat aku yang tak kuat. “Kamu tuh denger gak, sih? Aku kayak orang gila nih lama-lama ngomong sendiri.” Kini suaranya membuatku sadar dari lamunan sesaatku, sambil terkekeh aku menaruh walkman ku.

   “Oh, maaf. Iya, saya suka dengerin musik disini.” Jawabku yang tiba-tiba sedikit gugup. Jantungku berdegup lebih kencang dari sebelumnya, seperti orang yang mau terkena serangan jantung. Gadis itu menunjukkan senyumnya yang dahayu dan kemudian duduk di sampingku. Aroma wangi permen karet tercium dari tubuhnya, aku yakin itu ulah parfum yang ia pakai.

   “Nama aku Juli Yesha Chaaya, tapi aku lahir bulan Desember.” Ucapannya membuatku terkekeh pelan, memang gadis yang konyol. “Kamu Gautama, ya?” Lanjut Juli yang membuatku mengernyitkan dahiku. Dari mana Juli tau namaku? Aku yakin aku bukanlah seseorang yang dikenal banyak orang, apalagi di sekolah. “Aku tau nama kamu dari nametag kamu.” Ucap Juli yang seolah bisa membaca pikiranku.

   “Hahaha, kamu lucu banget! Kamu pikir aku stalker gitu sampe tau nama kamu?” ujar Juli diiringi tawa yang nyaring membuatku malu dengan perilaku diriku sendiri. “Oh, iya! Gautama! Kamu kok sendirian disini? Gak takut diculik spiderman apa?” lanjut Juli yang membuatku kini tertawa, ini juga pertama kalinya aku tertawa setelah sekian lama.

   “Eh, kok ketawa sih?! Beneran tau! Kamu kok sendirian?” tanya Juli dengan wajah serius, meskipun sepertinya dia masih bercanda. Aku mulai berhenti tertawa dan berpikir sebentar, menimang-nimang apa yang harus aku katakan. “Emang ada yang mau nemenin orang seperti saya? Kamu juga kenapa disini?” Pertanyaanku membuat Juli terlihat berpikir sebentar sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku. “Aku mau nemenin kamu, lah!”

   “Jangan bercanda, Juli. Buat apa kamu nemenin saya? Kamu mau liat saya dihajar disini?” Aku menaikkan nadaku sedikit tanpa sebab. Entah kenapa aku tak mau berlarut-larut berbicara dengan Juli. Bukan karena aku tak nyaman dengan sikapnya, tapi aku takut dia harus berurusan dengan orang-orang gila hanya karena mengobrol dengan pecundang sepertiku. Juli adalah orang baik dan nirmala, maka dari itu dia tak seharusnya mempunyai masalah karenaku.

   “Tuhkan, bener! Kamu suka dihajar sama si Adam, ya?” Pertanyaan Juli membuat mataku melotot kaget. Ternyata Juli tau jika Adam sering menghajarku? Lalu apa tujuan dia datang kesini? “Awas aja, aku bakal hajar balik si Adam di nirwana!” teriak Juli lantang membuatku terkesiap dan sedikit panik. “Pe-pelanin dikit suara kamu, Jul! Sekarang udah jam istirahat, sebentar lagi Adam kesini.” bisikku sembari menepuk pundak Juli agar ia memelankan suaranya. “Kalo kamu tau dia bakal kesini, kamu kenapa masih diem disini? Kamu takut sama dia? Kamu takut sama Adam yang bahkan udah gak ada?”

   Aku terdiam seribu bahasa. Adam... sudah tidak ada? Apa maksudnya? Tunggu! Juli baru saja bilang dia akan menghajar Adam di nirwana, kenapa dia tak menghajar Adam di dunia? Ucapan Juli membuat kepalaku pusing tujuh keliling. “Jul, maksudnya Adam udah gak ada? Kamu bercanda, ya?”

   Aku berusaha membaca sorot netra Juli, mencari tau apakah dia bercanda dan sedang menggodaku saja. Tapi sorot mata coklat Juli semakin menggelap, dia benar-benar serius kali ini. “Gautam... Kamu kan yang bunuh Adam. Masa kamu lupa?” Juli mengatakan hal semengerikan itu dengan senyum lebar yang bangga. Aku semakin bingung, larut dalam pikiranku yang bahkan sudah tidak sehat. Aku benar-benar sudah tidak waras!

   Aku berdiri dengan kaki lemas dan melangkah menjauh. Bukan hanya menjauh dari Juli, tapi menjauh dari dunia yang palsu ini. Aku berlari menuruni tangga dan menabrak setiap orang di lorong sekolah, tak peduli mereka berjatuhan ke lantai. Aku mau kabur! Aku mau lari! Aku mau pulang!

   “Ibu!” Aku membuka pintu rumah dan hanya menemukan perabotan yang berdebu. Rumahku seperti kandang hantu yang tak terurus. Aku berjalan maju perlahan sambil terus memanggil ibuku, berharap ada jawaban dari dia yang menanyakan apakah aku sudah makan atau belum. “Ibu! Ibu dimana?!” Aku mulai frustasi. Semuanya aneh! Juli aneh! Ibu aneh! Persetan!

   “Gautama.”

   Itu bukan suara ibu. Aku menolehkan kepalaku dan menemukan ayahku yang berdiri di pintu. Darahku langsung mendidih menatap bajingan yang baru pulang setelah sekian lama. Aku mengambil pisau yang sudah memiliki bercak darah yang sudah mengering, aku bahkan tak peduli darah siapa ini. Aku mengayunkan pisau ke arah ayahku sendiri, ke arah seseorang yang seharusnya aku jadikan panutan.

   Tapi tanganku berhenti, pisau itu berjarak beberapa senti tepat di depan wajah ayahku. Ayahku terkekeh pelan dan menatap ke arahku dengan sorot mata yang aku benci. “Ayah sudah mati dibunuh kamu ratusan kali, Gautam. Kalo kamu seperti ini terus, kamu sendiri yang akan gila.” Ucapan ayahku membuatku mengernyitkan dahi.

   “Ikhlaskan. Atma mu sudah kotor di balut darah mendidih dan balas dendam. Ikhlaskan. Biarkan orang-orang yang kamu benci tenang di nirwana. Ikhlaskan. Sukma orang kamu cintai sudah tidak ada. Ayah minta maaf saat itu pulang hanya untuk merebut nyawa orang yang paling kamu sayang.” Pisau yang ada ditanganku jatuh ke lantai dengan suara nyaring. Kakiku lemas bahkan terasa mati rasa. Aku ikut terjatuh di lantai, seolah tak berdaya menerima fakta.

   Mataku tiba-tiba menoleh ke arah kalender di dinding. Desember 2005. Namun mataku tiba-tiba membulat sempurna saat melihat beberapa tanggal yang diberi tanda disana. “15 Desember 2005. Ulang tahun Juli & Anniversary pertama.” Tunggu. Aku mempunyai hubungan dengan Juli, tapi bagaimana bisa?

    “Gautam.” Kini giliran suara Juli yang aku dengar. Aku menoleh perlahan dan Juli menatapku dengan tatapan khawatir dan sedih. “Maaf... Aku gak bisa jaga diri aku. Kalo aku waktu itu gak jalan sendiri pas pulang sekolah... Kita pasti bisa rayain ulang tahun aku dan anniversary pertama kita pacaran. Andai pas itu aku gak sok berani ngehadapin Adam, pasti kamu gak perlu lakuin ini semua.”

   Aku menatap Juli dengan tatapan yang semakin bingung. Omong kosong macam apa ini?! “Juli! Jelasin ini ada apa?! Kenapa semua ini... Ini ada apa?!” Kini aku benar-benar marah. Rasa frustasi dan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban terus merasuki pikiranku. “Jelasin, Juli!”

   Juli menundukkan kepalanya dan terlihat ragu-ragu. “Kamu harus pulang, Gautam. Ini bukan tempat kamu. Semuanya udah selesai, kamu udah gak ada urusan lagi disini.” Jawaban Juli hanya menambah rasa frustasi ku. Aku melempar barang sembarangan sebagai luapan amarahku saat ini.

   “Jelasin yang bener!” teriakku yang membuat Juli sedikit terkesiap. Juli malah mendekat ke arahku dan menggenggam tanganku erat-erat. “Bangun, Gautam.” bisiknya sembari menempelkan dahinya ke arah dahiku. “Ini semua bukan salah kamu. Dosa-dosa ini bukan salah kamu. Kamu harus bangun, Gautam.”

   Ucapan terakhir Juli membuatku sadar sesuatu. Aku memejamkan mataku sembari menikmati genggaman tangan Juli yang halus sebelum aku membuka mataku kembali. Aku sedang terbaring diatas lantai yang dingin. Aku berdiri dan berjalan kearah cermin besar diujung ruangan. Wajahku lebih tua dari terakhir kali aku menatapnya, janggutku tumbuh secara acak-acakan, dan aku memakai seragam aneh dengan namaku disisi bajunya.

   “Pasien Gautama Danapati Shankara?” Aku menoleh dan mendapati seorang suster berdiri didepan ruanganku. “Kenapa anda meminum obat-obatan tersebut secara berlebihan lagi? Itu kan tidak baik.” Aku menoleh kearah obat-obatan yang berserakan diatas mejaku. Selain obat-obatan, disana ada sebuah potongan koran usang dengan judul yang mengerikan. “Pria berinisial GDS tega membunuh ayah kandung dan teman sekolahnya dengan niat balas dendam terhadap kematian ibu dan pacarnya.”

   “Sus... Sekarang tahun berapa?” tanyaku sembari masih menatap koran tersebut. “Dua ribu dua tiga.” Jawab sang suster tanpa merasa aneh sama sekali. Aku menoleh kearah suster tersebut dan menatapnya. “Tanggal?” tanyaku lagi sembari memiringkan sedikit kepalaku.

   “Lima belas Desember.”

   Akhirnya aku sadar. Tujuh belas tahun sukmaku terkunci didalam fatamorgana. Sudah ke-17 kalinya aku bermimpi hal yang sama, di hari yang sama, mengulang rasa sakit yang sama. Tapi entah mengapa rasa sakit ini mulai terasa nikmat. Mungkin suatu perasaan yang terbiasa atau sekedar pengaruh obat.

   Netraku beralih ke arah jendela, menatap matahari yang sudah berada di langit bersama awan. Meskipun rasa sakit mulai berhenti menggerogoti tubuhku, tapi pikiranku masih berharap semuanya hanya mimpi buruk belaka. Padahal aku memang membunuh mereka dengan sengaja dengan pisau yang sama.

   Aku masih berandai-andai hidup di antara kedamaian, dibandingkan membusuk disini. Tapi inilah takdirku, ini takdir dari Tuhan ku agar diampuni dosa-dosaku. Biarkan saja aku sendiri disini, membayar semua dosa dalam diri, di rumah sakit jiwa ini, mati sendiri, tanpa merangkul rasa bersalah lagi.

   “Sus. Tolong putarkan lagu creep dari Radiohead di walkman saya.” Setidaknya aku masih punya walkman dari ibu dan lagu kesukaan Juli yang aku putar ribuan kali tanpa rasa bosan, atau mungkin memang aku bisa mati tanpanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun