Saat fajar menjuntai di ufuk langit,
Semburat jingga berbisik di tepi pagi,
Dalam hening, semesta menulis syair sunyi,
Embun menetes lembut di ujung padi,
Seperti mutiara, terjalin dalam mimpi.
Butiran bening itu bercahaya,
Laksana kristal surga yang terjatuh perlahan,
Menyentuh bumi, berpagut dengan hijaunya alam,
Menggigil di bawah hangat yang malu-malu datang.
Dari jauh tampak punggung seorang petani
Dengan langkah sunyi namun pasti,
Cangkul di pundak, harapan di hati,
Ia berserah pada takdir pagi.
Setiap hela nafasnya adalah doa,
Tangan kasarnya merangkai harapan,
Pada tanah, pada langit, pada embun,
Yang senantiasa menari di ujung-ujung daun.
Sinar mentari mulai merayap,
Mengusir dingin, membalut alam dalam peluknya,
Namun petani tetap diam,
Dalam sepi, ia berpeluh dalam irama yang setia.
Oh, pagi ini adalah puisi,
Tercipta dari embun, fajar, dan tangan yang gigih,
Dalam setiap tetes yang jatuh dari langit,
Ada kisah cinta antara alam dan manusia,
Yang tak pernah selesai diceritakan waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H