Mohon tunggu...
Dwi Wulandari
Dwi Wulandari Mohon Tunggu... -

I'm muslim

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja Kunang-kunang

22 April 2013   23:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:46 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nisa menatapku terkejut, bolak-balik mengamati wajahku yang sembab, dan tas ranselku yang membuncit disesaki baju-baju lusuh. Aku berlalu, meninggalkan Nisa yang masih kebingungan. Cahaya remang dari dalam rumah masih tampak dari kejauhan, menang melawan senja yang kian gelap.

Aku tidak ingat kehidupanku selanjutnya. Sepertinya aku amnesia. Atau mungkin karena kepikunan yang entah sejak kapan mulai jadi sahabat karibku. Atau memang karena ada banyak hal yang tidak ingin kuingat. Yang kuingat hanya ketika Nisa menemuiku –mungkin lebih tepat: menemukanku- di panti jompo. Dia menangis begitu kerasnya sambil memelukku. Dia bilang, ibu tidak pernah berhenti menanyakanku hingga hari terakhir ibu menghembuskan nafas. Ibu ingin sekali bertemu denganku sebelum ajal menjemput. Ibu berkali-kali berpesan padanya untuk mencariku. Ibu merindukanku. Nisa juga memarahiku karena tidak memberi kabar dan menanyakan kenapa aku pergi ke kota lain yang begitu jauh seperti ini.

Aku diam saat itu. Aku hanya bisa menangis tanpa suara.

Hari itu, kami telah sama-sama beruban. Bedanya, rambutku nampak kusut dan kusam, sedangkan rambut Nisa terlindung di balik kerudungnya. Keadaanku menyedihkan, sedangkan dia tampak lebih bersih dan sejahtera. Entah siapa laki-laki muda yang mengikutinya turun dari mobil hitam tadi. Dia menjelaskan, itu anaknya.

Aku kembali teringat ibu.

Saat ibu memasakkan tahu bacem untukku. Dia bilang ada bumbu rahasia yang ibu tambahkan di bacem lezat itu. Karena aku sudah besar dan sudah masuk SD, aku boleh tahu apa bumbu istimewanya. Kelak jika aku bisa membuat tahu bacem sendiri, ia berpesan jangan pernah lupa menambahkan bumbu itu. Karena masakan apapun takkan enak tanpanya. Kemudian dia membungkuk di depanku. Mendekatkan bibirnya ke telingaku. Sembari berbisik dengan suara lirih dia berkata...

“Bumbu itu adalah cinta...”

***

Malam ini gerimis.

Aku duduk di jendela depan. Membelakangi kursi dan cangkir teh yang tadi pagi menemaniku mengenang ibu.

Ruang tamu tampak ramai. Anak, cucu, dan semua keluarga Nisa berkumpul. Serta para tetangga. Mereka memanjatkan doa-doa, begitu terdengar syahdu di telingaku. Aku melihat wajahku yang pucat di sana. Diselimuti kain-kain putih yang cantik. Menutupi tubuhku yang tua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun