Pagi ini saya membaca chat dalam grup wa tentang ruwatan. Banyak pendapat dan diskusi tentang satu hal ini. Dan saya pun berbagi cerita, tentang pengalaman diruwat, di laut selatan ujung timur Pulau Jawa, sekitar 3 atau 4 tahun yang lalu.Â
Tiba-tiba juga, pikiran saya terbawa dalam suatu perenungan. Memikirkan tentang pengalaman-pengalaman pribadi dalam melihat, mendengarkan, dan menyaksikan aneka ruwatan, utamanya ruwat desa dalam rangkaian kegiatan sedekah bumi, kemudian ruwat diri, ruwat rumah, hingga ketika pandemi covid-19 sedang ramai, ada yang membuat kegiatan meruwat Indonesia.Â
Ruwat, meruwat, ruwatan. Ada banyak sekali pengertian tentang hal ini.Â
Ada yang mengatakan bahwa ruwatan adalah sejenis ritual untuk menghilangkan hal-hal buruk seperti penyakit, malapetaka, kesialan.Â
Ada yang mengatakan bahwa ruwatan sejatinya adalah sebuah moment dimana manusia seharusnya melakukan refleksi diri, memperbaiki kualitas hidupnya, sehingga bisa memiliki masa depan yang lebih baik.
Ada yang mengatakan bahwa ruwatan adalah simbol dari sebuah upaya penebusan atas segala macam kesalahan yang pernah dilakukan. Ehem, mirip seperti Anusapati membangun Candi Kidal. Eh.
Dalam pemahaman saya, tidak ada yang salah dengan penjelasan-penjelasan itu.
Masing-masing manusia memiliki versi ruwatannya sendiri, karena perjalanan yang mereka tempuh, kesalahan yang pernah dilakukan, hingga moment dari penyadaran sampai melakukan perbaikan, akan berbeda-beda pada setiap manusia.
Biar saya berbagi sebuah cerita, mengenai ruwat desa yang pernah saya ikuti dari awal hingga akhir. Ruwatan yang bukan hanya sekedar menyediakan ayam ingkung nan lezat tur gratis, bukan hanya sekedar nonton wayang diselingi campursari. Ruwatan desa ini adalah yang paling berkesan bagi saya, sekaligus juga memberikan pemahaman kepada diri ini, bahwa ruwatan itu berbeda-beda, tetapi memiliki makna dan tujuan inti yang sama.Â
Ini adalah sebuah desa di pinggiran Bengawan Solo. Masyarakatnya, sebagian besar hidup sebagai petani. Bergantung pada hasil pertanian untuk hidup sehari-hari.
Pada waktu itu, dalam acara ruwat desa tahunan, ada 3 agenda inti. Pada pagi hari, ruwatan dilaksanakan dengan slametan dan makan-makan di suatu punden pertanian. Mbah Sundari nama danyangnya. Menjelang siang, ada wayang ruwat. Di punden desa yang berbeda lokasi. Wayang ruwat, slametan, dan tentunya makan-makan (lagi). Malam harinya, ada hiburan wayang lagi, semalam suntuk, dan makan-makan (lagi).Â
Bapak kepala dusun pada waktu itu sempat bercerita, bahwasanya, panen dalam tahun itu sangat menurun. Banyak hama tikus dan wereng. Belum lagi kalau musim hujan dan air sungai Bengawan Solo naik. Auto gagal panen.Â
Sebelum mengikuti kegiatan ruwatan, saya hanya diam saja mendengar cerita ini. Yah, mau komentar bagaimana juga, saya sendiri baru pertama kali datang ke tempat tersebut.
Siang hari, ketika waktunya pagelaran wayang ruwat, di punden desa, di tengah kuburan pula, saya duduk dan mengamati. Entah kenapa, saya sangat fokus sekali pada waktu itu. Lakon cerita yang dimainkan adalah Mbok Sri Balik Mulih.Â
Mbok Sri adalah penyebutan bagi Dewi Sri, Dewi Padi alias Dewi Kesuburan. Lakon ini berisikan harapan masyarakat desa, semoga pada tahun berikutnya, kesuburan akan datang ke desa ini, disertai dengan panen yang baik.
Menjelang akhir pagelaran, setelah goro-goro, saya ingat sekali, dalang membaca naskah yang entah milik tokoh siapa, yang isinya adalah segala macam aturan dan tata cara pertanian tradisional, mulai dari sebelum mengaliri sungai, menanam padi, menentukan waktu tandur dan panen, hingga segala macam solusi untuk mengatasi hama pertanian.Â
Saya terkejut. Ilmu pertanian dan ilmu perbintangan yang dikatakan sebagai salah satu kecerdasan asli bangsa Indonesia, sedang ditunjukkan dihadapan saya. Bahkan kemudian, saya mengejar naskah lakon Mbok Sri Mulih ke beberapa dalang, saya minta ijin untuk mengcopy, saya baca bagian akhir, masih tidak menemukan jejak tertulisnya. Plis, jika kalian ada yang punya naskah yang isinya tentang ini, tell me. Saya minta ijin untuk mengcopy.Â
Selesai pagelaran, masih ngopi bersama pak kadus, saya bertanya. Apakah masyarakat di sini masih melakukan segala macam jenis ritual-ritual ketika hendak melakukan tandur dan panen?Â
Beliau menjawab, ada yang masih, ada yang sudah tidak.Â
Saya menghela nafas, kemudian berkata, "Pak, wayang Mbok Sri Mulih tadi, ada panduan dan tata cara pertanian tradisional. Termasuk cara menghitung hari menggunakan perbintangan, dan cara mengatasi hama, baik secara fisik maupun non fisik. Mungkin bisa njenengan lakukan, karena pesan dalam wayang itu diturunkan dari generasi ke generasi, bisa saja itu adalah solusi yang njenengan cari."
Pak kadus kaget, apakah benar dalam wayangan tadi ada hal seperti itu. Saya ngeyel menjawab ada.
Beberapa waktu kemudian, saya mencoba melakukan small riset ke desa tersebut, ternyata memang orang-orang di sana, menonton wayang hanya sampai fase goro-goro. Setelah itu, bubaran dan ambil makanan. Tidak ada yang mendengarkan fase akhir dari sebuah pagelaran wayang.Â
Di wilayah yang berbeda, saya pernah melihat ruwat desa dengan lakon Bima Suci.Â
Memang, lakon apa yang dimainkan dalam pagelaran wayang ruwat, mewakili dari harapan masyarakat yang dipengaruhi oleh masalah yang telah mereka alami pada waktu-waktu sebelumnya.Â
Meruwat itu tidak salah. Meruwat adalah bentuk manifestasi kesadaran manusia tentang hal-hal yang telah dilakukan, salah atau benar, dan disertai harapan dan doa-doa tentang masa depan yang lebih baik dan penuh kebahagiaan.Â
Tetapi tentunya, jika meruwat hanya sekedar menjadi simbol, meruwat hanya sekedar menjadi aktivitas tahunan, yang dilakukan tanpa disertai pemahaman dan kesadaran, serta tindakan untuk melakukan perbaikan, maka ruwatlah Indonesia sampai sejuta kali, korupsi akan tetap ada dari generasi ke generasi selama kesadaran mengenai tanggung jawab masih rendah. Banjir akan tetap terjadi ribuan kali selama pelestarian lingkungan masih sekedar wacana dan agenda.Â
Nuwun
Shri Werdhaning AyuÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H