Mohon tunggu...
Shri Werdhaning Ayu
Shri Werdhaning Ayu Mohon Tunggu... Freelancer - Manusia Brang Wetan

Anak Lumajang yang lahir di Bumi Lumajang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bagaimana Mekanisme Ruwatan Itu Terlaksana?

12 Oktober 2022   10:34 Diperbarui: 12 Oktober 2022   10:39 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini saya membaca chat dalam grup wa tentang ruwatan. Banyak pendapat dan diskusi tentang satu hal ini. Dan saya pun berbagi cerita, tentang pengalaman diruwat, di laut selatan ujung timur Pulau Jawa, sekitar 3 atau 4 tahun yang lalu. 

Tiba-tiba juga, pikiran saya terbawa dalam suatu perenungan. Memikirkan tentang pengalaman-pengalaman pribadi dalam melihat, mendengarkan, dan menyaksikan aneka ruwatan, utamanya ruwat desa dalam rangkaian kegiatan sedekah bumi, kemudian ruwat diri, ruwat rumah, hingga ketika pandemi covid-19 sedang ramai, ada yang membuat kegiatan meruwat Indonesia. 

Ruwat, meruwat, ruwatan. Ada banyak sekali pengertian tentang hal ini. 

Ada yang mengatakan bahwa ruwatan adalah sejenis ritual untuk menghilangkan hal-hal buruk seperti penyakit, malapetaka, kesialan. 

Ada yang mengatakan bahwa ruwatan sejatinya adalah sebuah moment dimana manusia seharusnya melakukan refleksi diri, memperbaiki kualitas hidupnya, sehingga bisa memiliki masa depan yang lebih baik.

Ada yang mengatakan bahwa ruwatan adalah simbol dari sebuah upaya penebusan atas segala macam kesalahan yang pernah dilakukan. Ehem, mirip seperti Anusapati membangun Candi Kidal. Eh.

Dalam pemahaman saya, tidak ada yang salah dengan penjelasan-penjelasan itu.

Masing-masing manusia memiliki versi ruwatannya sendiri, karena perjalanan yang mereka tempuh, kesalahan yang pernah dilakukan, hingga moment dari penyadaran sampai melakukan perbaikan, akan berbeda-beda pada setiap manusia.

Biar saya berbagi sebuah cerita, mengenai ruwat desa yang pernah saya ikuti dari awal hingga akhir. Ruwatan yang bukan hanya sekedar menyediakan ayam ingkung nan lezat tur gratis, bukan hanya sekedar nonton wayang diselingi campursari. Ruwatan desa ini adalah yang paling berkesan bagi saya, sekaligus juga memberikan pemahaman kepada diri ini, bahwa ruwatan itu berbeda-beda, tetapi memiliki makna dan tujuan inti yang sama. 

Ini adalah sebuah desa di pinggiran Bengawan Solo. Masyarakatnya, sebagian besar hidup sebagai petani. Bergantung pada hasil pertanian untuk hidup sehari-hari.

Pada waktu itu, dalam acara ruwat desa tahunan, ada 3 agenda inti. Pada pagi hari, ruwatan dilaksanakan dengan slametan dan makan-makan di suatu punden pertanian. Mbah Sundari nama danyangnya. Menjelang siang, ada wayang ruwat. Di punden desa yang berbeda lokasi. Wayang ruwat, slametan, dan tentunya makan-makan (lagi). Malam harinya, ada hiburan wayang lagi, semalam suntuk, dan makan-makan (lagi). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun