Mohon tunggu...
Shri Werdhaning Ayu
Shri Werdhaning Ayu Mohon Tunggu... Freelancer - Manusia Brang Wetan

Anak Lumajang yang lahir di Bumi Lumajang

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kuliah? Tak Harus Sampai Jual Sawah (Karena Memang Tak Punya Sawah)

4 April 2022   11:04 Diperbarui: 4 April 2022   11:08 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buku paket tidak beli, karena disediakan oleh sekolah (dipinjami). LKS, seperti biasa. Beli kalau punya uang, fotokopi kalau sudah kepepet, yang kecil biar murah. Hampir setiap hari, saya menghabiskan waktu di perpustakaan. Bukan hanya untuk membaca buku, tetapi membantu pustakawan membersihkan dan menata buku. 

Dari kegiatan itulah saya mendapatkan sebungkus roti, semangkuk mi ayam, segelas es atau bahkan uang tunai yang cukup untuk beli cilok sepulang sekolah. 3 tahun sekolah menengah pertama, saya jalani begitu saja.

Memasuki sekolah menengah atas, saya kembali memberontak dari takdir kaum akar rumput. Pemberontakan ini tidak saya lakukan sendiri, tetapi saya juga ngajak anak tetangga. Kami berdua, dengan penuh percaya diri, mendatangi rumah salah satu guru (sekarang sudah almarhum) dari sekolah tujuan tersebut. Sampai saat ini, saya masih ingat kalimat yang saya ucapkan.

"Pak, saya ingin sekolah ten SMA N ***. Tapi mboten nggadah biaya. Nopo saged nedi keringanan?".
Kami berdua lantas diberi informasi terkait tata cara pengajuan keringanan biaya sekolah kalau memang mau mendaftar ke sekolah tersebut, dengan syarat utama adalah diterima terlebih dahulu. Mengingat sekolah tersebut adalah salah satu sekolah terbaik di kabupaten.

Kami berdua mendaftar dan diterima. Pada waktu itu, ada beberapa kalimat dari tetangga dan juga keluarga besar tentang saya yang masuk ke salah satu SMA terbaik itu.

"Mlebu sekolah nang kunu kate mbayar nganggo opo? Kate dodol omah ta? (Masuk sekolah ke sana mau bayar pakai apa? Mau jual rumah?).

Yah, ternyata memang setelah mendapatkan dispensasi pembayaran uang gedung, saya masih harus membayar uang seragam senilai 750rb saat daftar ulang. Dan saya tidak tau tentang ini hingga hari H daftar ulang, ketika saya sendiri datang ke sekolah.

Saya pulang, mau nangis sebenarnya. Menemui simbah, bilang kalau harus bayar uang seragam 750 ribu. Simbah kemudian menyuruh saya ke rumah bude, bilang mau ambil tabungan. Dari situ saya tau, mbah saya mengumpulkan seribu dua ribu rupiah sejak saya kelas 2 SMP, sebagai persiapan untuk saya SMA. Dan tabungan yang terkumpul totalnya pas 750rb rupiah, tidak kurang apalagi lebih. Hal ini seringkali membuat saya menangis saat mengingatnya. Seperti sekarang.

Dari 750 ribu rupiah itu, saya mendapatkan kain seragam yang proses penjahitannya dibantu oleh saudara saya tanpa biaya. Saya pun sekolah. Tanpa jual rumah.

Dimana ada kemauan disitu ada jalan. Ketika saya kesulitan membayar uang LKS di semester 1, saya mendapat panggilan dari wali kelas. Saya mendapatkan bantuan uang tunai untuk siswa kurang mampu dari sekolah. Senilai 230rb. Serasa dapat arisan, LKS langsung saya lunasi. Kemudian saya makan mi ayam di kantin sekolah.

Pada semester 2 kelas 1, saya ditawari oleh sekolah untuk diajukan sebagai nominasi siswa penerima beasiswa Sampoerna Foundation. Ada 10 anak pada waktu itu. Setelah pemberitahuan itu, saya berlari pulang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun