Mohon tunggu...
Shri Werdhaning Ayu
Shri Werdhaning Ayu Mohon Tunggu... Freelancer - Manusia Brang Wetan

Anak Lumajang yang lahir di Bumi Lumajang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tujuan Pembelajaran Dalam Kelas, Bukan Hanya Transfer of Knowledge

7 Maret 2022   08:16 Diperbarui: 7 Maret 2022   08:18 843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu ini, sekolah - sekolah di Indonesia mulai memasuki pekan Penilaian Tengah Semester atau yang biasa kita kenal dengan sebutan PTS. Melalui penilaian tengah semester ini, diharapkan guru bisa memberikan evaluasi terhadap pelaksanaan pembelajaran, berdasarkan nilai-nilai yang dihasilkan dari soal-soal atau indikator penilaian yang diberikan. Ada beberapa hal yang ingin saya tuliskan hari ini, yang mana sebagian besar adalah unek-unek saya pribadi terhadap pendidikan yang katanya sudah merdeka tapi dalam pelaksanaannya, masih terbelenggu oleh paradigma lama.

Paradigma Lama Tentang Pendidikan

Pendidikan pada masa terdahulu, merupakan sebuah proses belajar yang hasilnya diukur dengan menggunakan angka dan dalam beberapa jenjang (seperti TK), beberapa tipe (seperti K13), harus dideskripsikan dalam bentuk kalimat.

Belajar pada masa sebelumnya masih banyak menggunakan pemikiran behavioristik. Dimana dalam sebuah proses pendidikan, ada reward and punishment. Reward diberikan sebagai wujud apresiasi kepada peserta didik yang telah mengerjakan tugas dengan baik, mendapatkan nilai bagus, aktif dalam pembelajaran.

Sedangkan punishment diberikan kepada peserta didik yang melanggar peraturan, tidak mengerjakan tugas, tidak disiplin dalam pembelajaran. Harapannya, dengan treatment seperti itu, akan memicu perubahan pola perilaku dalam diri peserta didik menjadi sosok peserta didik yang baik, aktif, cakap, rajin, jujur, dan segala perilaku baik lainnya. Dengan alasan supaya mendapatkan reward dan menghindari punishment. 

Sama seperti kisah Kelinci yang dijinakkan dengan tongkat dan wortel. Jika ia mematuhi ucapan pemiliknya, maka akan mendapatkan wortel sebagai hadiah.

Tetapi jika ia tidak mendengarkan, maka akan dipukul menggunakan tongkat. Pemikiran ini bertahan cukup lama dalam pendidikan kita, bukan hanya di sekolah, tetapi juga di rumah, bahkan di lingkungan masyarakat.

Pemikiran bahwa jika anak nakal, berperilaku tidak baik, harus dihukum supaya mendapatkan efek jera masih dipercaya oleh banyak orang. Beberapa bahkan percaya jika hukuman atau punishment akan menghasilkan anak-anak yang tidak cengeng. 

Paradigma Baru Tentang Pendidikan

Berbeda dengan paradigma lama, paradigma baru lebih menganut paham humanistik. Dalam sebuah pembelajaran, peserta didik adalah manusia yang merupakan subjek atau pelaku. Tidak ada peserta didik yang bodoh, karena setiap anak memiliki kecerdasannya masing-masing.

Ketika peserta didik melakukan kesalahan, maka bukan hukuman yang diberikan, tetapi percakapan atau dialog yang dimaksudkan untuk menggugah kesadaran berfikir dari masing-masing individu. Dengan memunculkan kesadaran tentang persepsi salah benar inilah perubahan perilaku diharapkan terjadi. 

Karena peserta didik adalah subjek pembelajaran, maka mereka dibebaskan untuk mempelajari segala hal, dalam koridor yang ditentukan pastinya. Peserta didik tidak hanya terpaku pada buku-buku pelajaran yang disediakan oleh sekolah, tetapi peserta didik dipersilahkan untuk melakukan eksplor materi terkait di internet, untuk kemudian didiskusikan kembali di dalam kelas.

Dalam pembelajaran, bukan hanya mempelajari materi untuk mendapatkan nilai bagus dalam penilaian, tetapi juga mempelajari nilai baik buruk dalam masyarakat sehingga mereka bisa berperilaku sesuai dengan norma yang ada dalam masyarakat. Sehingga penilaian tidak hanya berfokus pada angka-angka saja, tetapi juga pada kemampuan analisis, kemampuan nyata peserta didik untuk memahami sebuah peristiwa dan mengkaitkannya dengan apa yang ia pelajari di dalam kelas. 

Masalah Yang Terjadi : Terjebak Diantara Keduanya

Masalah dalam penerapan paradigma baru ini adalah sulitnya merubah pola pikir lama tentang pendidikan, utamanya kepada generasi-generasi yang lebih tua, yang hanya tau bahwa hasil belajar peserta didik didasarkan pada Laporan Hasil Belajar yang didapatkan wali murid setiap satu semester sekali.

Yang penting adalah nilai raport nya bagus. 

Ini adalah masalah besar. Kenapa? Karena pemikiran seperti inilah yang akhirnya membuat pembelajaran hanya terfokus pada transfer of knowledge saja, tidak mencapai tatanan transfer of value. Peserta didik hanya dituntut untuk tau dan bisa mengerjakan soal-soal yang diberikan dalam penilaian tengah semester ataupun penilaian akhir semester. Perkara apakah materinya berguna atau tidak, mampu menjadikan mereka generasi yang bermanfaat atau tidak, itu perkara belakangan. 

Kurikulum terbaru mengharapkan supaya dalam pembelajaran, proses menjadi hal yang penting. Pembelajaran tidak terpaku pada perolehan nilai akhir. Tetapi pada waktu yang sama, untuk bisa masuk ke sekolah-sekolah Negeri, menggunakan nilai raport sebagai pedoman diterima atau tidaknya peserta didik yang melalui jalur prestasi. Apakah hal ini bukan sesuatu yang menyedihkan? 

Masalah-masalah tentang pendidikan ini memang terlalu rumit. Memikirkan bagaimana memberikan akses kepada peserta didik yang secara kemampuan akademik memiliki kelebihan dibandingkan dengan temannya, hingga lupa untuk memberikan akses kepada peserta didik yang kemampuan akademiknya lebih rendah.

Begitu juga sebaliknya. Memikirkan bagaimana supaya peserta didik yang kemampuan akademiknya rendah mendapatkan akses supaya bisa menjadi lebih baik, hingga lupa untuk mengakomodir peserta didik dengan kemampuan akademik yang lebih, hingga mereka merasa tersisihkan. 

Sekali lagi, jika memang diharapkan bahwa pembelajaran bukan hanya sekedar menyelesaikan materi, bukan hanya sekedar membuat peserta didik mampu mengerjakan soal ujian, maka sesuaikanlah sistem yang ada untuk mendukung hal tersebut. Jangan justru membuat kebijakan-kebijakan yang justru membuat peserta didik hanya terfokus pada mendapatkan nilai baik, terlepas menggunakan cara apapun. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun