Berbeda dengan paradigma lama, paradigma baru lebih menganut paham humanistik. Dalam sebuah pembelajaran, peserta didik adalah manusia yang merupakan subjek atau pelaku. Tidak ada peserta didik yang bodoh, karena setiap anak memiliki kecerdasannya masing-masing.
Ketika peserta didik melakukan kesalahan, maka bukan hukuman yang diberikan, tetapi percakapan atau dialog yang dimaksudkan untuk menggugah kesadaran berfikir dari masing-masing individu. Dengan memunculkan kesadaran tentang persepsi salah benar inilah perubahan perilaku diharapkan terjadi.Â
Karena peserta didik adalah subjek pembelajaran, maka mereka dibebaskan untuk mempelajari segala hal, dalam koridor yang ditentukan pastinya. Peserta didik tidak hanya terpaku pada buku-buku pelajaran yang disediakan oleh sekolah, tetapi peserta didik dipersilahkan untuk melakukan eksplor materi terkait di internet, untuk kemudian didiskusikan kembali di dalam kelas.
Dalam pembelajaran, bukan hanya mempelajari materi untuk mendapatkan nilai bagus dalam penilaian, tetapi juga mempelajari nilai baik buruk dalam masyarakat sehingga mereka bisa berperilaku sesuai dengan norma yang ada dalam masyarakat. Sehingga penilaian tidak hanya berfokus pada angka-angka saja, tetapi juga pada kemampuan analisis, kemampuan nyata peserta didik untuk memahami sebuah peristiwa dan mengkaitkannya dengan apa yang ia pelajari di dalam kelas.Â
Masalah Yang Terjadi : Terjebak Diantara Keduanya
Masalah dalam penerapan paradigma baru ini adalah sulitnya merubah pola pikir lama tentang pendidikan, utamanya kepada generasi-generasi yang lebih tua, yang hanya tau bahwa hasil belajar peserta didik didasarkan pada Laporan Hasil Belajar yang didapatkan wali murid setiap satu semester sekali.
Yang penting adalah nilai raport nya bagus.Â
Ini adalah masalah besar. Kenapa? Karena pemikiran seperti inilah yang akhirnya membuat pembelajaran hanya terfokus pada transfer of knowledge saja, tidak mencapai tatanan transfer of value. Peserta didik hanya dituntut untuk tau dan bisa mengerjakan soal-soal yang diberikan dalam penilaian tengah semester ataupun penilaian akhir semester. Perkara apakah materinya berguna atau tidak, mampu menjadikan mereka generasi yang bermanfaat atau tidak, itu perkara belakangan.Â
Kurikulum terbaru mengharapkan supaya dalam pembelajaran, proses menjadi hal yang penting. Pembelajaran tidak terpaku pada perolehan nilai akhir. Tetapi pada waktu yang sama, untuk bisa masuk ke sekolah-sekolah Negeri, menggunakan nilai raport sebagai pedoman diterima atau tidaknya peserta didik yang melalui jalur prestasi. Apakah hal ini bukan sesuatu yang menyedihkan?Â
Masalah-masalah tentang pendidikan ini memang terlalu rumit. Memikirkan bagaimana memberikan akses kepada peserta didik yang secara kemampuan akademik memiliki kelebihan dibandingkan dengan temannya, hingga lupa untuk memberikan akses kepada peserta didik yang kemampuan akademiknya lebih rendah.
Begitu juga sebaliknya. Memikirkan bagaimana supaya peserta didik yang kemampuan akademiknya rendah mendapatkan akses supaya bisa menjadi lebih baik, hingga lupa untuk mengakomodir peserta didik dengan kemampuan akademik yang lebih, hingga mereka merasa tersisihkan.Â