Mohon tunggu...
Shri Werdhaning Ayu
Shri Werdhaning Ayu Mohon Tunggu... Freelancer - Manusia Brang Wetan

Anak Lumajang yang lahir di Bumi Lumajang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perempuan dalam Dinamika Sejarah Indonesia : dari Ratu, Sultanah, hingga Presiden

24 Januari 2022   09:24 Diperbarui: 24 Januari 2022   09:27 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perempuan adalah bagian yang tak terpisahkan dari berbagai  peristiwa besar  yang terjadi di dunia ini. Banyak tokoh -- tokoh besar dalam sejarah perkembangan Indonesia dihiasi dengan nama -- nama perempuan.  Sebut saja Ratu Sima dari abad ke-6 Masehi, Tribuwana Tunggadewi dari abad ke-14 Masehi, Cut Nyak Dien dari abad ke-18, Martha Christina Tiahahu dari abad ke-18, Megawati Soekarno Putri yang menjadi  Presiden Republik Indonesia  ke-5, hingga Menteri ekonomi Indonesia saat ini, Sri Mulyani.

Penulisan sejarah Indonesia memang cenderung bersifat androsentris, yaitu penulisan sejarah yang berpusat pada aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Hal ini    dipengaruhi oleh budaya patriarki yang mengakar utamanya di kalangan  masyarakat Jawa, ditambahkan dengan historiografi Indonesia yang masih jawasentris atau berpusat pada kejadian -- kejadian yang terjadi di Pulau Jawa. Penulisan  sejarah dengan tema perempuan, atau ditulis dari sisi perempuan termasuk dalam golongan postmo, yaitu tema yang relatif diabaikan dalam penulisan sejarah, dan mencoba menyuarakan sejarah dari sisi yang tindas oleh sejarah ilmiah itu.[1]

Posisi perempuan dalam kehidupan masyarakat tradisional memang seringkali berada di posisi kedua setelah laki-laki. Hal ini dikarenakan budaya patriarki yang masih sangat kuat. Ketimpangan antara hak laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sehari -- hari masih cukup besar. Padahal kemampuan perempuan untuk melakukan hal -  hal besar sudah banyak dibuktikan dalam sejarah Indonesia. Perempuan mengambil peranan penting dalam semua aspek kehidupan, baik itu budaya, politik, sosial, hingga ekonomi dari berbagai jaman yang berbeda. Tetapi faktanya masyarakat saat ini masih terjebak pada pemikiran bahwa perempuan hanyalah golongan yang mengurus bagian domestik rumah tangga, sedangkan laki-laki golongan yang mengurus bagian publik. Seharusnya hal ini tidak terjadi lagi karena kemampuan perempuan terbukti sama dengan laki-laki.

PEREMPUAN DI ATAS TAHTA : RATU

            Tokoh perempuan yang tidak bisa diabaikan dalam sejarah Indonesia adalah Ratu Sima, dari kerajaan Kalingga pada abad ke-6 Masehi. Ratu Sima dikenal sebagai seorang ratu yang sangat tegas dan adil. Dia menerapkan hukum yang keras dan tegas sebagai memberantas pencurian dan kejahatan, serta sebagai mendorong supaya rakyatnya senantiasa jujur. Tradisi mengisahkan seorang raja asing yang menaruh kantung mengandung emas di tengah-tengah persimpangan jalan tidak jauh alun-alun ibu kota Kalingga. Raja asing ini melaksanakan hal itu karena dia mendengar kabar tentang kejujuran rakyat Kalingga dan berniat menguji kebenaran kabar itu. Tidak seorangpun berani menyentuh kantung yang bukan miliknya itu, sampai suatu hari tiga tahun pengahabisan, seorang putra Shima, sang putra mahkota secara tidak sengaja menyentuh kantung itu dengan kakinya. Mulanya Sang Ratu menjatuhkan hukuman mati sebagai putranya, hendak tetapi para pejabat dan menteri kerajaan memohon supaya Sang Ratu mengurungkan niatnya itu dan mengampuni sang pangeran. Karena kaki sang pangeran yang menyentuh barang yang bukan miliknya itu, karenanya Ratu menjatuhkan hukuman memotong kaki sang pangeran.[1]

            Perempuan sebagai ratu kemudian dapat ditemukan pada masa kerajaan Majapahit. Tercatat setidaknya ada  3 tokoh perempuan yang sangat berpengaruh dalam dinamika sejarah kerajaan Majapahit dari awal berdiri hingga runtuh. Tiga nama tersebut adalah Gayatri Rajapadni (1293-1309 Masehi), Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 -- 1350 Masehi), dan Dyah Suhita ( 1429-1447 Masehi).

            Sosok Gayatri dan Tribuwana saling terkait dalam hubungan ibu dan anak. Gayatri sebagai putri bungsu Raja Kertanegara yang dinikahi oleh  Raden Wijaya pasca runtuhnya kerajaan Singasari, dipercaya menjadi sosok yang paling berhak atas tahta sepeninggal Raden Wijaya dan saudara perempuannya yang lebih tua. Pasca tragedy terbunuhnya Raja Jayanegara oleh Mpu Tanca, tampuk kekuasaan yang seharusnya diserahkan kepada Gayatri diberikan kepda putrinya, yaitu Tribuwana karena Gayatri telah memutuskan menjadi biksuni. Dalam tafsir baru sejarah Majapahit, Gayatri diyakini sebagai perempuan dibalik era kejayaan Majapahit yang pada waktu dipimpin oleh Tribuwana Wijayatunggadewi bersama Gadjah Mada.

"Adalah watak Rajapatni Gayatri yang agung, sehingga mereka menjelma pemimpin besar sedunia, yang tiada tandingannya. Putri, menantu, dan cucunya menjadi raja dan ratu. Dialah yang menjadikan mereka penguasa dan mengawasi semua tindak tanduk mereka" (Negarakrtagama, Pupuh 48).

Berdasarkan kutipan dari kakawin Negarakrtagama di atas dapat diketahui bahwa Gayatri, meskipun tidak menjabat sebagai ratu, tetapi masih ikut serta dalam mengawasi putrinya sebagai ratu. Hasilnya adalah kerajaan Majapahit berhasil mencapai puncak kejayaan. Salah satu kerajaan terbesar yang pernah berkembang di wilayah kepulauan Indonesia, mencapai titik jayanya ditangan seorang perempuan  dan dibalik bimbingan seorang perempuan juga.

Berikutnya adalah Dyah Suhita. Menurut J. Krom dalam "De Hindoe-Javaansche Tijd" Dyah Suhita adalah putri dari Bhre Wirabhumi. Sementara dalam Kitab Pararaton disebutkan bahwa Dyah Suhita adalah cucu Bhre Wirabhumi dari salah satu anaknya yang disebutkan bernama Bhra Hyang Wisesa. Yang janggal, Bhra Hyang Wisesa merupakan gelar Wikramawardhana setelah menjadi raja, lengkapnya yaitu Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama. Dyah Suhita dinobatkan pada 1429. Ada yang beranggapan bahwa Dyah Suhita adalah orang yang sama dengan Ratu Kencanawungu, sedangkan Bhre Wirabhumi (penguasa Blambangan) adalah Menakjingga, sementara Raden Gajah/Bhra Narapati, orang Wikramawardhana yang membunuh Bhre Wirabhumi pada 1406, adalah Damarwulan.[2]                        

Suhita adalah seorang ratu terakhir di era Kerajaan Majapahit. Menjadi ratu di tengah kemelut politik masa akhir kerajaan Majapahit.  Pada masa pemerintahannya, Dyah Suhita banyak membangun tempat peribadatan bercorak local seperti punden berundak yang banyak diabaikan para pendahulunya akibat pertikaian politik.) menuliskan, masa pemerintahan Dyah Suhita ditandai berkuasanya kembali anasir-anasir Indonesia (Nusantara). Berbagai tempat pemujaan didirikan di lereng-lereng gunung, dan bangunan-bangunan (candi) itu disusun sebagai punden berundak-undak, misalnya di lereng Gunung Penanggungan, Gunung Lawu, dan sebagainya.[3]

PEREMPUAN DI ATAS TAHTA : SULTANAH

Selain menjadi ratu, sosok perempuan juga pernah tercatat menjadi seorang penguasa bergelar "Sultanah". Sultanah Nahrisyah atau Nahrasiyah adalah keturunan Sultan Malik as-Saleh, merupakan raja perempuan pertama di Aceh yang memimpin Kerajaan Samudera Pasai. Samudera Pasai sendiri merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia yang berdiri sejak tahun 1267 Masehi. Sulthanah Nahrisyah memimpin kerajaan Samudera Pasai menggantikan Sulthan Zainal Abidin yang mangkat tahun 1405 Masehi dan memerintah hingga tahun 1428 Masehi.

Ratu Nahrasiyah dikenal sebagai sosok yang bijak dan arif. Selama berada di tampuk kepemimpinan, ia memerintah dengan sifat keibuan dan penuh kasih sayang. Saat itu, harkat dan martabat perempuan begitu mulia. Selama masa pemerintahan Ratu Nahrisyah harkat dan martabat perempuan begitu mulia. Banyak perempuan terlibat aktif dalam penyebaran Islam, beberapa diantaranya menjadi penyiar agama. Jejak sejarahnya bisa dilihat dari nisannya yang ada di Gampong Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara, sekitar 18 km sebelah Timur Kota Lhokseumawe. Makam tersebut berada di kompleks II (Kuta Karang), dan tidak jauh dari makam Sultan Malikussaleh yang terletak di kompleks I makam Raja-Raja Samudera Pasai.[4]        

Sejarah kepemimpinan di Pulau Sumatra kemudian berlanjut pada era Kesultanan  Aceh. Meskipun sulit bagi seorang wanita untuk menjadi seorang sultanah, tetapii Kesultanan Aceh pernah diperintah oleh beberapa tokoh wanita dengan gelar sultanah. Bagi masyarakat Aceh, kontroversi tentang pengganti seorang putri jika tidak ada putera mahkota merupakan bukan isu politik saja, tetapi mengarah ke persoalan yang menyentuh agama.[5]
Dalam sejarahnya, Kerajaan Aceh Darussalam pernah dipimpin oleh perempuan secara berturut-turut hingga empat kali pengangkatan selama 59 tahun lamanya. Mereka adalah Tajul Alam Syafiyatuddin Syah 1641-1676 M, Nurul Alam Naqiyyat Al Din Syah 1676-1678 M, Inayat Zaqiyyatuddin Al Din Syah 1678-1688 M, dan Keumalat Syah 1688-1699 M. 

Dalam masa pemerintahan Sultanah Tajul Alam Syafiyatuddin Syah, Qanun Meukuta Alam yang merupakan kitab hukum peninggalan Sultan Iskandarr Muda, disempurnakan lagi menjadi dasar negara yang lebih lengkap. Sultanah Tajul Alam sangat taat akan syariat Islam, dia bertekad untuk membuktikan bahwa hak dan kewajiban sama dengan kaum pria baik dalam hal politik, ekonomi ataupun dalam hal sosial kecuali dalam bidang-bidang yang sudah ditetapkan oleh kerajaan. Ulama terkemuka seperti Syekh Nuruddin Ar-Raniry dan Syekh Abdurrauf Fansury selalu memberi jalan terhadap langkah sultanah dalam melaksanakan penyamaan peran perempuan di Kerajaan Aceh Darussalam. Langkah Sultanah dalam meningkatkan peran perempuan yaitu dengan jalan pendidikan. Sultanah Tajul Alam Syafiyatuddin Syah mewajibkan semua perempuan dalam Kerajaan Aceh Darussalam untuk belajar supaya kedudukan dan martabatnya dapat ditingkatkan dalam segala kehidupan. Dalam langkah yang diambil oleh Sultanah Tajul Alam Syafiyatuddin Syah, ia memerintahkan kepada pembesar kerajaan untuk membuka pusat pendidikan untuk pria dan perempuan, tanpa membedakan.[6]

Sultanah Tajul Alam juga membebaskan semua perempuan untuk bekerja dalam segala kelembagaan kerajaan dan badan-badan pemerintahan serta sebagai prajurit perang.[7] Dalam hal perundang undangan, Sultanah Tajul Alam membuat sebuah kebijakan tentang kedudukan perempuan dalam berumah tangga. Setiap orang tua yang memiliki anak perempuan yang mau dinikahkan harus memberikan rumah dan hartanya bagi anak perempuanya.[8] Sultanah Tajul Alam Syafiyatuddin Syah selaku perempuan pertama yang memimpin Kerajaan Aceh Darussalam selama tiga puluh tahun lebih lamanya dapat menjaga kerajaan dari pengaruh Belanda dikala itu. Pada tanggal 23 Oktober 1675 Sultanah Tajul Alam meninggal dunia dan digantikan oleh perempuan bangsawan yang bernama Nurul Alam Naqiyatuddin Syah. Setelah satu tahun Sultanah Nurul Alam Naqiyatudddin Syah memimpin kerajaan, mereka membakar ibu kota kerajaan sehingga seluruh isi dari kerajaan seperti Masjid Baitur Rahman, Keraton Darud, pusaka-pusaka kerajaan habis dimakan api dan sumber api tidak diketahui.[9] Setelah dua tahun dan sehabis kebakaran hebat yang menerjang ibu kota kerajaan, pemerintahan yang dilakukan Sultanah Nurul Alam pemerintah semakin terpuruk. Pada hari ahad tanggal 1 Dzulkaidah 1088 H (1678 M), Sultanah Nurul Alam Naqiyatuddin Syah meninggal dunia di Banda Aceh.

Sebelum Sultanah Nurul Alam meninggal ia telah mempersiapkan penggantinya yaitu puterinya yang bernama Putroe Raja Seutia dengan gelar Sultanah Zaqiyatuddin Inayat Syah.  Politik yang dijalankan oleh Sultanah Zaqiyatuddin Inayat Syah tetap sama dengan meneruskan kepemimpinan pendahulunya yaitu Sultanah Tajul Alam dan Sultanah Nurul Alam yang tegas terhadap kelompok yang menentang kepemimpinanya. Sultanah Zaqiyatuddin Inayat Syah terus membasmi kelompok wujudiyah dengan tindakan keras dan tegas, sultanah juga menindak terhadap dalang politik kelompok ini serta tidak memberi kesempatan untuk menyabotase pemerintahan.   Sultanah Zaqiyatuddin Syah merangkul semua tetangga negara untuk membuat sebuah perjanjian untuk mengusir Belanda dalam kepentingan dan keselamatan rakyat.[10]

Pada tanggal 3 oktober 1688 Sultanah Zaqiyatuddin Inayat Syah meninggal dunia. Sultanah telah memerintah selama kurang lebih sepuluh tahun dengan suka duka yang dialami sultanah. Selama ia memerintah telah banyak mempertahankan sisa-sisa kedaulatan Aceh bahkan ia mampu meningkatkan kembali beberapa hal.[11]

PEREMPUAN DI ATAS TAHTA : PEMIMPIN PERANG

Kedudukan perempuan bukan hanya bisa dilihatt dalam sejarah klasik Hindu Budha ataupun sejarah masa kesultanan Islam saja, tetapi juga bisa diketahui dengan jelas pada era -- era berikutnya. Perempuan dalam perjuangan Indonesia mencapai kemerdekaan bisa dilihat pada sosok Tjut Nyak Dien, Tjut Mutia, atau Martha Kristina Tiahahu, dan dalam mengisi awal-awal kemerdekaan melalui pendidikan bagi perempuan bisa dilihat pada sosok Nyai Ahmad Dahlan atau Rasuna Said. Perjuangan Tjut Nyak Dien sendiri menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing, sehingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang perempuan ini. Zentgraaf mengatakan, para perempuanlah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan terhadap Belanda. Aceh mengenal Grandes Dames (perempuan perempuan besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor.[12]

Sejarah juga mencatat tokoh bernama Nyi Ageng Serang yang menjadi seorang pemimpin pasukann melawan Belanda dalam Perang Diponegoro. Nyi Ageng Serang adalah nenek  dari Pangeran Diponegoro. Dalam Perang Jawa, Nyi Ageng Serang berperan sebagai ahli strategi sekaligus penasehat.  Pendidikan  serta  lingkungan  keluarga  Nyai  Ageng  Serang  yang terkenal  anti  penjajahan  dan  anti  pengaruh  asing  itu  membentuk  pribadi  yang cerdas,  lincah  dan  tajam  pandangan  hidupnya,  serta  amat  peka  terhadap keadaan  masyarakat  yang  sedang  menderita  dan  sengsara  akibat  peraturan peraturan  yang  dibuat oleh Kompeni.[13] Kekecewaan  yang  dialaminya  menjadikan  ia  turun  ke  medan  perang bersama  cucunya  Raden  Mas  Papak  yang  memihak  Pangeran  Diponegoro.  Ia dipercaya  oleh  Pangeran  Diponegoro  untuk  memimpin  perang  dan  menjadi penasehatnya  dalam  Perang  Jawa.[14]

PEREMPUAN DI ATAS TAHTA : PRESIDEN

            Selain menjadi ratu, sultanah, dan pemimpin perang, perempuan dalam sejarah Indonesia juga tercatat pernah menjadi pemimpin di era reformasi.. Megawati Soekarnoputri merupakan presiden wanita Indonesia pertama dan anak dari presiden Indonesia pertama, Soekarno yang kemudian mengikuti jejak ayahnya menjadi presiden.Megawati Soekarnoputri menjadi presiden setelah MPR mengadakan sidang istimewa MPR pada tahun 2001, sidang istimewa MPR ini diadakan dalam menanggapi langkah presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang membekukan lembaga MPR/DPR dan partai Golkar. Megawati Soekarnoputri dilantik pada 23 Juli 2001.[15]

            Kinerja Megawati Soekarnoputri dalam memimpin pemerintahan (2001-2004) memang tidak dapat membuktikan kepada publik bahwa Megawati Soekarnoputri memiliki kesamaan kapasitas dengan gaya kepemimpinan ayahnya Bung Karno. Dalam pemerintahan Megawati banyak kejadian-kejadian yang terjadi di Indonesia salah satunya terjualnya aset Negara untuk membayar utang Negara. Dalam bidang ekonomi Megawati Soekarnoputri mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi pemulihan ekonomi dan penegakan hukum.[16]

DAFTAR PUSTAKA

A., Hasjmy. 1990. Sejarah Kebudayaan Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Bulan Bintang.

Andi Lis Pratiwi. 2015. Megawati Soekarnoputri Presiden Wanita Di Indonesia (2001-2004). Pemikiran Pendidikan dan Penelitian Kesejarahan, Vol 2 No.1 Januari-Maret 2015, 8-14

Andi Syamsu Rijal. Peranan Perempuan Dalam Historiografi Indonesia. Tersedia online https://nurma.staff.uns.ac.id/wp-content/blogs.dir/524/files/2010/07/4399_1343-perananperempuandalamhistoriografiindonesia.pdf diakses pada 24 November 2021.

Hadi, Amirul. 2010. Aceh Sejarah budaya Dan Tradisi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.

http,System Pemerintahan Megawati Soekarnoputri 2001-2004. Html dalam Andi Lis Pratiwi. 2015. Megawati Soekarnoputri Presiden Wanita Di Indonesia (2001-2004). Pemikiran Pendidikan dan Penelitian Kesejarahan, Vol 2 No.1 Januari-Maret 2015, 8-14

Martha, Martha Tilaar Puspita. 2013. The True Exotic Colors of Indonesia. Gramedia Pustaka Utama.

Kurniasih, Imas 2008. Perempuan Pemicu Perang. Pinus Book Publisher, Yogyakarta

Lasmiah ,Putu .2007.   Nyi  Ageng  Serang. Jakarta:  Departemen  Pendidikan  dan  Kebudayaan  Direktorat Sejarah  dan  Nilai  Tradisional  Proyek  Inventarisasi dan  Dokumentasi Sejarah  Nasional.

Said, Muhammad. 1981.  Aceh Sepanjang Abad Jilid I. Medan: Harian Waspada Modern.

Soekmono, R. 1988. Pengantar Sejarah Aturan sejak dahulu kala istiadat Indonesia 2, 2nd ed.

Yogyakarta. Penerbit Kanisius

-----------------. 2002. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta: Yayasan Kanisius

Soenarto Timoer.1980. Damarwulan. Hlm. 84.

Wahyuningroem , Sri Lestari. 2005. "Peran Perempuan dan Era Baru di Nangroe Aceh Darussalam". Vol. 29. No. 1.

Zakaria, Ahmad .1972. Sekitar Kerajaan Atceh Dalam Tahun 1520-1675. Medan:Monora.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun