PEREMPUAN DI ATAS TAHTA : SULTANAH
Selain menjadi ratu, sosok perempuan juga pernah tercatat menjadi seorang penguasa bergelar "Sultanah". Sultanah Nahrisyah atau Nahrasiyah adalah keturunan Sultan Malik as-Saleh, merupakan raja perempuan pertama di Aceh yang memimpin Kerajaan Samudera Pasai. Samudera Pasai sendiri merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia yang berdiri sejak tahun 1267 Masehi. Sulthanah Nahrisyah memimpin kerajaan Samudera Pasai menggantikan Sulthan Zainal Abidin yang mangkat tahun 1405 Masehi dan memerintah hingga tahun 1428 Masehi.
Ratu Nahrasiyah dikenal sebagai sosok yang bijak dan arif. Selama berada di tampuk kepemimpinan, ia memerintah dengan sifat keibuan dan penuh kasih sayang. Saat itu, harkat dan martabat perempuan begitu mulia. Selama masa pemerintahan Ratu Nahrisyah harkat dan martabat perempuan begitu mulia. Banyak perempuan terlibat aktif dalam penyebaran Islam, beberapa diantaranya menjadi penyiar agama. Jejak sejarahnya bisa dilihat dari nisannya yang ada di Gampong Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara, sekitar 18 km sebelah Timur Kota Lhokseumawe. Makam tersebut berada di kompleks II (Kuta Karang), dan tidak jauh dari makam Sultan Malikussaleh yang terletak di kompleks I makam Raja-Raja Samudera Pasai.[4] Â Â Â Â
Sejarah kepemimpinan di Pulau Sumatra kemudian berlanjut pada era Kesultanan  Aceh. Meskipun sulit bagi seorang wanita untuk menjadi seorang sultanah, tetapii Kesultanan Aceh pernah diperintah oleh beberapa tokoh wanita dengan gelar sultanah. Bagi masyarakat Aceh, kontroversi tentang pengganti seorang putri jika tidak ada putera mahkota merupakan bukan isu politik saja, tetapi mengarah ke persoalan yang menyentuh agama.[5]
Dalam sejarahnya, Kerajaan Aceh Darussalam pernah dipimpin oleh perempuan secara berturut-turut hingga empat kali pengangkatan selama 59 tahun lamanya. Mereka adalah Tajul Alam Syafiyatuddin Syah 1641-1676 M, Nurul Alam Naqiyyat Al Din Syah 1676-1678 M, Inayat Zaqiyyatuddin Al Din Syah 1678-1688 M, dan Keumalat Syah 1688-1699 M.Â
Dalam masa pemerintahan Sultanah Tajul Alam Syafiyatuddin Syah, Qanun Meukuta Alam yang merupakan kitab hukum peninggalan Sultan Iskandarr Muda, disempurnakan lagi menjadi dasar negara yang lebih lengkap. Sultanah Tajul Alam sangat taat akan syariat Islam, dia bertekad untuk membuktikan bahwa hak dan kewajiban sama dengan kaum pria baik dalam hal politik, ekonomi ataupun dalam hal sosial kecuali dalam bidang-bidang yang sudah ditetapkan oleh kerajaan. Ulama terkemuka seperti Syekh Nuruddin Ar-Raniry dan Syekh Abdurrauf Fansury selalu memberi jalan terhadap langkah sultanah dalam melaksanakan penyamaan peran perempuan di Kerajaan Aceh Darussalam. Langkah Sultanah dalam meningkatkan peran perempuan yaitu dengan jalan pendidikan. Sultanah Tajul Alam Syafiyatuddin Syah mewajibkan semua perempuan dalam Kerajaan Aceh Darussalam untuk belajar supaya kedudukan dan martabatnya dapat ditingkatkan dalam segala kehidupan. Dalam langkah yang diambil oleh Sultanah Tajul Alam Syafiyatuddin Syah, ia memerintahkan kepada pembesar kerajaan untuk membuka pusat pendidikan untuk pria dan perempuan, tanpa membedakan.[6]
Sultanah Tajul Alam juga membebaskan semua perempuan untuk bekerja dalam segala kelembagaan kerajaan dan badan-badan pemerintahan serta sebagai prajurit perang.[7] Dalam hal perundang undangan, Sultanah Tajul Alam membuat sebuah kebijakan tentang kedudukan perempuan dalam berumah tangga. Setiap orang tua yang memiliki anak perempuan yang mau dinikahkan harus memberikan rumah dan hartanya bagi anak perempuanya.[8] Sultanah Tajul Alam Syafiyatuddin Syah selaku perempuan pertama yang memimpin Kerajaan Aceh Darussalam selama tiga puluh tahun lebih lamanya dapat menjaga kerajaan dari pengaruh Belanda dikala itu. Pada tanggal 23 Oktober 1675 Sultanah Tajul Alam meninggal dunia dan digantikan oleh perempuan bangsawan yang bernama Nurul Alam Naqiyatuddin Syah. Setelah satu tahun Sultanah Nurul Alam Naqiyatudddin Syah memimpin kerajaan, mereka membakar ibu kota kerajaan sehingga seluruh isi dari kerajaan seperti Masjid Baitur Rahman, Keraton Darud, pusaka-pusaka kerajaan habis dimakan api dan sumber api tidak diketahui.[9] Setelah dua tahun dan sehabis kebakaran hebat yang menerjang ibu kota kerajaan, pemerintahan yang dilakukan Sultanah Nurul Alam pemerintah semakin terpuruk. Pada hari ahad tanggal 1 Dzulkaidah 1088 H (1678 M), Sultanah Nurul Alam Naqiyatuddin Syah meninggal dunia di Banda Aceh.
Sebelum Sultanah Nurul Alam meninggal ia telah mempersiapkan penggantinya yaitu puterinya yang bernama Putroe Raja Seutia dengan gelar Sultanah Zaqiyatuddin Inayat Syah. Â Politik yang dijalankan oleh Sultanah Zaqiyatuddin Inayat Syah tetap sama dengan meneruskan kepemimpinan pendahulunya yaitu Sultanah Tajul Alam dan Sultanah Nurul Alam yang tegas terhadap kelompok yang menentang kepemimpinanya. Sultanah Zaqiyatuddin Inayat Syah terus membasmi kelompok wujudiyah dengan tindakan keras dan tegas, sultanah juga menindak terhadap dalang politik kelompok ini serta tidak memberi kesempatan untuk menyabotase pemerintahan. Â Sultanah Zaqiyatuddin Syah merangkul semua tetangga negara untuk membuat sebuah perjanjian untuk mengusir Belanda dalam kepentingan dan keselamatan rakyat.[10]
Pada tanggal 3 oktober 1688 Sultanah Zaqiyatuddin Inayat Syah meninggal dunia. Sultanah telah memerintah selama kurang lebih sepuluh tahun dengan suka duka yang dialami sultanah. Selama ia memerintah telah banyak mempertahankan sisa-sisa kedaulatan Aceh bahkan ia mampu meningkatkan kembali beberapa hal.[11]
PEREMPUAN DI ATAS TAHTA : PEMIMPIN PERANG
Kedudukan perempuan bukan hanya bisa dilihatt dalam sejarah klasik Hindu Budha ataupun sejarah masa kesultanan Islam saja, tetapi juga bisa diketahui dengan jelas pada era -- era berikutnya. Perempuan dalam perjuangan Indonesia mencapai kemerdekaan bisa dilihat pada sosok Tjut Nyak Dien, Tjut Mutia, atau Martha Kristina Tiahahu, dan dalam mengisi awal-awal kemerdekaan melalui pendidikan bagi perempuan bisa dilihat pada sosok Nyai Ahmad Dahlan atau Rasuna Said. Perjuangan Tjut Nyak Dien sendiri menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing, sehingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang perempuan ini. Zentgraaf mengatakan, para perempuanlah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan terhadap Belanda. Aceh mengenal Grandes Dames (perempuan perempuan besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor.[12]
Sejarah juga mencatat tokoh bernama Nyi Ageng Serang yang menjadi seorang pemimpin pasukann melawan Belanda dalam Perang Diponegoro. Nyi Ageng Serang adalah nenek  dari Pangeran Diponegoro. Dalam Perang Jawa, Nyi Ageng Serang berperan sebagai ahli strategi sekaligus penasehat.  Pendidikan  serta  lingkungan  keluarga  Nyai  Ageng  Serang  yang terkenal  anti  penjajahan  dan  anti  pengaruh  asing  itu  membentuk  pribadi  yang cerdas,  lincah  dan  tajam  pandangan  hidupnya,  serta  amat  peka  terhadap keadaan  masyarakat  yang  sedang  menderita  dan  sengsara  akibat  peraturan peraturan  yang  dibuat oleh Kompeni.[13] Kekecewaan  yang  dialaminya  menjadikan  ia  turun  ke  medan  perang bersama  cucunya  Raden  Mas  Papak  yang  memihak  Pangeran  Diponegoro.  Ia dipercaya  oleh  Pangeran  Diponegoro  untuk  memimpin  perang  dan  menjadi penasehatnya  dalam  Perang  Jawa.[14]