[caption caption="Suasana Pelabuhan CPO Kabil di Batam"][/caption]Seluruh pulau Batam adalah milik negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Dalam hal ini disebut sebagai Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dan pemegangnya adalah Otorita Batam atau BP Batam, sesuai dengan Peraturan Menteri Agraria No. 9/1965. Status tanah di atas HPL berdasarkan PP No. 40/1996 Â hanyalah Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP). Hak ini diberikan oleh pemegang HPL dalam hal ini BP Batam kepada pemohon (warga, instansi pemerintah selain BP Batam ataupun investor).
Kenapa tidak ada Sertifikat Hak Milik (SHM) di Batam? Menurut situs http://peta.bpn.go.id/ ada beberapa wilayah di Batam yang telah memiliki SHM. Namun tidak banyak, dan akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini. Lalu apakah pemilik SHM ini membayarkan perpanjangan (Otorita hanya menarik uang wajib tahunan-perpanjangan hanya mekanisme penarikannya saja) Uang Wajib Tahunan seperti tercantum dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Agraria No. 9/1965? Hal ini masih diperdebatkan karena SHM-nya berada di atas HPL. Uang wajib tahunan di Batam disebut sebagai Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO).
Permasalahannya adalah banyak warga yang tidak mau membayar UWTO, bahkan katanya tidak jelas peruntukan UWTO itu untuk apa? Amazing. Hasil dari iuran UWTO ini digunakan untuk pembangunan Kantor Pemkot Batam, Asrama Haji, Masjid Raya Batam, Stadion Olah Raga Temenggung Abdul Jamal, rumah susun pekerja, Politeknik Negeri Batam, Jembatan Barelang, Bandara Internasional Hang Nadim Batam, delapan waduk tadah hujan serta instalasi pengelolaan air bersihnya, Rumah Sakit BP Batam, pelabuhan domestik, jalan, serta banyak lagi fasilitas publik lainnya. Semua itu sudah berdiri kokoh dan dinikmati oleh masyarakat Batam. Jadi jika dikatakan bahwa tidak jelas uang UWTO itu sangat keliru.
Jika masyarakat membandingkan kalau di Papua tidak ada uang UWTO, jangankan di Papua, di Bintan saja tidak ada uang UWTO, bandingkan juga fasilitasnya. Di Bintan itu listrik mati hampir tiap hari dan masyarakatnya masih kesulitan merasakan pelayanan air bersih. Investor harus berjibaku membuat fasilitas dasar tersebut agar bisnisnya dapat berjalan dengan baik. Bahkan saat ini, listrik di pulau Bintan disuplai melalui kabel bawah laut dari Batam. Dan itupun masih kurang.
Alasan Pemberian HGB di Batam
Mengapa di Batam hanya diberikan status HGB? Apa yang paling sulit dan menjadi momok dari proyek pemerintah dan investor? Pembebasan lahan. Pembebasan lahan di seluruh Indonesia membuat banyak proyek mangkrak. Bahkan ada jalan tol yang di tengah jalannya ada rumah warga yang menolak untuk pindah karena terbentur masalah ganti rugi. Itu fakta. Dan masih banyak proyek strategis lainnya seperti proyek listrik 35.000 MW yang terkendala masalah lahan. Izin mungkin bisa dibereskan dalam hitungan minggu jika pihak-pihak terkait memiliki goodwill dalam menuntaskan masalah perizinan. Kalau lahan? Itu hak asasi warga. Hak Milik adalah strata paling tinggi dalam status kepemilikan tanah.
Untuk itulah tanah di Batam hanya diberikan Hak Guna Bangunan. Batam yang luasnya hanya 41. 500 Ha dituntut untuk bisa mengatasi persoalan tanah yang terbatas. Singapura yang menjadi tolak ukur Batam, membangun rumah susun sebagai tempat tinggal. Dan hanya orang yang tajir melintir saja yang memiliki rumah tapak. Sementara jarang ada investor yang mau membangun rumah susun di Batam. Kebanyakan mereka hanya membangun rumah tapak. Untuk saat sekarang saja Batam kurang tepat disebut sebagai Kota Industri, karena lebih banyak lahan untuk perumahan dibandingkan dengan luas lahan untuk industri. Belum lagi rumah-rumah liar (ruli).
[caption caption="Foto aerial lahan dan rumah Darsiti binti Umar di Desa Rancawulu, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes. Rumah tersebut terletak di Tol Pejagan-Brebes Timur. Kondisi aktual pada Senin (13/7/2015). Sumber : Kompas.com/KRISTIANTO PURNOMO"]
Pemerintah sekarang lebih condong kepada warga dengan meniadakan UWTO dan akan memberikan SHM. Sementara untuk pembangunan usaha diberikan HGB. Jika nanti ada salah satu industri yang bangkrut maka tergantung akan dialokasikan untuk apa nantinya. Karena industri biasanya berada di tempat-tempat strategis dan mudah akses transportasinya, maka hal yang sering terjadi adalah alih fungsi lahan industri menjadi permukiman. Itulah mengapa di Batam lebih banyak daerah permukiman.
Penulis tidak bisa membayangkan pertumbuhan Batam untuk dua puluh tahun ke depan. Masalah semakin kompleks ketika fasilitas publik pun ikut diserbu ruli. Untuk saat sekarang saja ada waduk (Sei. Baloi) yang diserbu ruli. Banyak limbah rumah tangga (septic tank) yang mencemari waduk tersebut, alhasil waduk tidak bisa dimanfaatkan. Beberapa waduk juga mengalami kondisi yang sama, keramba ikan dan usaha peternakan serta usaha penggundulan hutan marak terjadi.
Bagaimana nanti warga Batam akan mencukupi kebutuhan air bersihnya jika sumbernya saja dirusak oleh penduduknya sendiri? Bagaimana nanti perkembangan industri akan merata di Batam jika kemudian lebih diutamakan permukiman penduduk? Bukankah Batam adalah daerah industri? Dan bagaimana industri nanti akan berkembang jika untuk pembebasannya saja dipastikan akan susah.
Untuk itulah diberikan HGB, karena jika suatu saat kebutuhan akan industri, fasilitas publik, atau berubahnya rencana pola ruang dianggap mendesak. Maka pemerintah bisa dengan mudah memindahkan warga. Salah satunya dengan cara tidak menerbitkan sertifikat perpanjangan HGB. Atau memberikan ganti berupa lahan di wilayah lain.
Pemberian SHM bukan tidak pernah, namun karena menimbang hal ini, maka pemberian SHM tidak dilakukan lagi.
Penghapusan UWTO dan KEK di Batam Nanti
Harga tanah tidak akan turun, walaupun UWTO dihapuskan untuk permukiman. Sama halnya dengan turunnya harga BBM, tidak ada pengusaha selain pengusaha SPBU yang menurunkan harga dagangannya.
Memberikan SHM adalah untuk kepentingan jangka pendek saja, karena tahun 2017-2018 adalah masa berakhirnya pemberian HGB gelombang pertama. Kalau penulis tidak salah, gelombang pertama ini diberikan haknya pada tahun 1987. Atau tiga puluh tahun yang lalu. Jika saja warga menabung setiap bulannya Rp 50.000 tentu UWTO sudah lama lunas. Toh hasilnya kan untuk warga sendiri.
Batam dijadikan KEK tentu harga rumah bukan semakin murah. Apalagi jika WNA yang hanya datang diakhir pekan bisa juga memiliki rumah di Batam. Penduduk yang bekerja di Batam tentu akan kalah bersaing dengan mereka yang bekerja di Singapura. Selain itu harga bahan bangunan juga akan melonjak tajam. Karena Batam tidak memiliki banyak industri bahan bangunan. Sementara kemudahan pajak hanya ada  di kawasan KEK.
Semoga pemerintah bijak dalam memberikan solusi bagi warga Batam. Jangan sakit demam diberikan obat demam saja. Diberikan juga tambahan suplemen bagi penderitanya. Mencabut izin alokasi lahan yang mangkrak patut diacungi jempol, karena rencana ini dari dulu sudah ada namun pelaksanaannya yang kurang baik. Kenapa tidak diberikan saja fasilitas FTZ plus KEK di Batam? Sehingga seluruh penduduk Batam merasakan manfaatnya. Mungkin bisa disusun ulang tarif UWTO untuk permukiman dengan harga yang lebih terjangkau, sekaligus pelayanannya dibuat online. Toh sekali lagi, warga Batam telah merasakan manfaat dari hasil UWTO tersebut.
Ini hanya pendapat penulis saja sebagai warga Batam.
Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H