Mohon tunggu...
WS Thok
WS Thok Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Lahir di Jawa-Timur, besar di Jawa-Tengah, kuliah di DI Yogyakarta, berkeluarga dan tinggal di Jawa-Barat, pernah bekerja di DKI Jakarta. Tak cuma 'nguplek' di Jawa saja, bersama Kompasiana ingin lebih melihat Dunia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manusia Suka Pamer

8 Agustus 2014   20:30 Diperbarui: 27 Agustus 2016   16:33 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1407479217744496259

Manusia hanya membutuhkan sedikit kekayaan, sisanya hanya untuk pamer”.

 

Itu adalah status Facebook teman saya, sudah lama namun tetap saya simpan, tertanggal 6 Feb 2010. Saya geli dan terkesan. Teringat balita anak tetangga sebelah ketika mengajak pamer kekayaan kepada ayah saya , “Pakde, yuk sugih-sugihan yuk!” Ayah sayapun menimpali “Yuk, kamu punya apa?”. “Aku punya jeep, Pakde punya apa?” Begitu kira-kira dialognya….

 

Menurut definisinya (KBBI), pamer adalah (v) menunjukkan (mendemontrasikan) sesuatu yang dimiliki kepada orang lain dengan maksud memperlihatkan kelebihan atau keunggulan untuk menyombongkan diri. Kita tahu manusia dari ‘sononya’ memang suka pamer. Cuma sejauh mana batas/etika seseorang perlu pamer? Juga, apa saja yang pantas dipamerkan?

 

Meski judulnya pameran, namun tidak termasuk definisi di atas, yaitu kegiatan pameran yang biasa diselenggarakan. Misalnya: pameran mobil, yang memamerkan berbagai produk mobil oleh produsen atau agennya; pameran dagang, yang memamerkan produk-produk komoditas perdagangan oleh para pengusaha atau produsen; dll. Tak ada cela dalam kegiatan pameran itu, maksudnya konsumen malahan senang menghadiri, karena mendapatkan informasi produk yang tebaru. Tentu saja penyelenggara pameran tak bermaksud sombong, tetapi berharap pengunjung tertarik dan membeli produknya.

 

Seperti balita anak tetangga di atas, yang sering suka pamer adalah anak-anak kecil. Yang dipamerkan segala apa yang dimiliki, bisa baju, mainan, ketrampilan, dll. Anak-anak berharap mendapatkan perhatian/pujian secara verbal ketimbang dikagumi dalam hati. Mereka mengharapkan respon langsung. Sebagai orang dewasa yang pengertian, kita biasanya memuji untuk lebih sekedar membuat senang ketimbang diam mengikuti keengganan hati nurani… lha cuma anak kecil saja kok. Bisa dikata tidak normal jika anak kecil kok tidak suka pamer untuk meminta perhatian atau pujian.

 

Karena pernah kecil, maka saya bisa merasakan bahagianya saat dipuji atau disanjung. Sebaliknya akan sakit hati jika diremehkan, ditertawai apalagi dicaci. Saya masih ingat saat di SMP, saya ditertawai oleh seorang guru yang diikuti koor teman sekelas, gara-gara saya mengucapkan kata ‘memodernisir’ saat disuruh menceritakan kembali pelajaran tentang teknologi pertanian yang maju di Amerika Serikat. Memang kata itu tidak ada dalam buku pelajaran, namun tak jauh dari substansi pelajaran. Saya malu dan kesal, sepertinya guru dan teman-teman tak pernah baca koran.

 

Semakin dewasa, biasanya seseorang akan semakin malu untuk meminta respon langsung atau minta pujian. Orangtua juga menasihati, tidak sopan meminta pujian. Tapi umumnya orang dewasa tetap senang dipuji dan dikagumi. Yang sering minta pujian adalah para MC atau artis panggung, dengan berteriak lantang kepada para penonton, “Mana tepuk tangannya!”. Lagi-lagi penonton cukup pengertian untuk kompak bertepuk tangan bersama-sama.

 

Naluri bawah sadar manusia akan senang jika dipuji, pujian salah satunya didapatkan dari kelebihan-kelebihan yang dimiliki. Jika mempunyai sedikit kelebihan, maka kemungkinan pujian juga sedikit. Sudah menjadi hukum alam jika keseringan pujian bisa saja menyebabkan kebosanan. Saya yakin Bill Gate tidak terlalu bangga lagi dimasukkan dalam jajaran orang terkaya di dunia tiap tahunnya. Karena sudah terbukti kaya, maka tak perlu pamer. Mengikuti naluri bawah sadar itulah, sejujurnya saya belum bosan dengan pujian, cuma masalahnya, modal yang untuk dipamerkan yang masih kurang.

 

Ya, tidak dipungkiri, sangat meyenangkan jika kita mendapat pujian (tanpa kita minta) karena kelebihan kita. Namun, selalu saja ada yang di luar kebiasaan, selalu ada orang dewasa yang masih menginginkan dipuji dan disanjung dengan memamerkan sesuatu. Masih dimaklumi jika kelebihannya memang pantas untuk dipuji. Diakui keinginan dipuji ini bisa memotivasi seseorang untuk meningkatkan prestasi. Hal itu lebih baik ketimbang seseorang yang tak butuh dipuji, namun cenderung pasif, tak terlihat semangatnya untuk meningkatkan prestasinya.

 

Apa saja bisa dipamerkan oleh orang dewasa melebihi anak kecil, dari yang dimiliki hingga milik orang lain, dari yang baik-baik hingga yang buruk-buruk, dari yang penting hingga tidak penting, dari yang bermanfaat hingga yang mudharat, dll. Tujuan pamer pun tak cuma sesuai definisinya yaitu untuk menyombongkan diri, tetapi makin bervariasi, misalnya: supaya dianggap kaya, pintar, suci/alim, berani, jujur, dermawan/sosial, sexy, supaya ditakuti, dll.

 

Memamerkan milik orang lain, yang buruk-buruk, yang tak penting, yang mudharat bisa kita rasakan sebagai sesuatu yang membuang-buang waktu bahkan cenderung memuakkan bagi yang dipameri. Teman saya sering pamer tentang famili-familinya yang pejabat tinggi tanpa saya tahu orangnya apalagi kok ada gelagat ingin dikenalkan. 

 

Pernah pula seorang teman lainnya (sebut saja namanya P) pamer kalau kakak wanitanya pembuat kue kering paling enak. Saya tak mau terima, saya juga pamer kalau teman saya juga mempunyai kakak wanita pembuat kue kering paling enak. Teman saya masih saja ngeyel, baru ngeh (tepatnya kecele, sambil senyum kecut) kalau wanita yang saya maksud ya kakaknya juga, bukankah P teman saya? Sekedar mencandai saja, hehehe….

 

Memamerkan prestasi akademik masih bisa dimaklumi, namun ada yang malah bangga memamerkan keburukannya, misalnya menceritakan upayanya menyuap saat masuk PNS. Ada yang merasa bangga bisa menenggak bir sekian botol, dll.

 

Pamer dengan tujuan macam-macam itu bisa berupa memajang foto profil (di blog) atau foto yang ditempel di dinding ruang tamu, misalnya: foto nampang di depan rumah atau mobil mewah (bisa milik orang lain) agar dianggap kaya; foto sedang merangkul macan putih (biasa di taman safari, Bogor) agar dianggap pemberani; foto sedang menyantuni yatim piatu agar dianggap dermawan; foto di depan rak buku perpustakaan agar dianggap kutu buku/pintar; memakai jilboobs supaya terlihat sexy (padahal memang sexy yak); memasang foto tentara di warung makan agar yang mau ngemplang makan pikir-pikir/takut, dll. (lihat pula tulisan: [1] Memamerkan kebohongan).

 

 

[caption id="attachment_351805" align="aligncenter" width="300" caption="Sang Pemberani"][/caption]

Boleh jadi foto-foto itu memang mengungkapkan kenyataan sebenarnya. Oleh karena itu sebaiknya memang tak perlu sinis apalagi berprasangka buruk. Pun bila foto-foto itu tidak mengandung kebenaran, saya anggap pemiliknya sedang memodelkan keinginannya, dengan melihatnya setiap hari, boleh jadi akan memberi semangat untuk mewujudkannya. Bukankah para motivator menyarankan untuk menuliskan/mengungkapkan keinginan/tujuan, agar mudah mengingatnya?

 

Kembali ke laptop, terhadap status facebook teman di atas, tak cuma saya, beberapa teman lainnya memberi acungan jempol pertanda setuju, bahkan ada yang berkomentar: “Setuju boss.... lebihnya bagi-bagi ke saya yaaa (ngarepmode.on)(Depok, 8 Agustus 2014)

------------

 

Tulisan terkait:

 

[1] Memamerkan Kebohongan

 

[2] Memamerkan Kekayaan di Kompasiana

Sumber Ilustrasi : Di sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun