Mohon tunggu...
Woro seto
Woro seto Mohon Tunggu... Jurnalis - menulis apa saja yang disuka

Konten kreator, Pengusaha kecil, suka nulis hal receh dan pengamat sosmed

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Refleksi Hari Pendidikan: Sekolah Bukan untuk Mendapatkan Pekerjaan

2 Mei 2019   10:29 Diperbarui: 2 Mei 2019   11:47 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

jalanan pagi ini sungguh padat sekali. Padahal saat itu masih pukul 06.30 WIB. Aku melihat anak-anak sekolah berseragam lengkap dengan topi. Anak-anak itu begitu rapi. Oh wajalah namanya juga sekolah kataku dalam hati. Selang 2 menit, motorku melaju sepanjang 500 meter tepat di lampu merah. Aku melihat  anak anak-anak sekolah berdiri di pinggir jalan. 

Mereka memegang poster yang berisi ucapan selamat hari pendidikan nasional. Oh iya aku teringat bahwa tanggal 2 Mei adalah hari pendidikan.  Lantaran saat itu lampu merah menyala, aku berhenti. Aku sebar padanganku di kerumunan anak-anak  SD itu. Ada sebuah poster yang menyita perhatianku.  "Ayo sekolah, agar masa depanmu cerah." 

Poster itu ditulis begitu rapi. Sekilas tidak ada yang aneh dengan kata tersebut. Namun ketika poster itu ditempel gambar berbagai profesi seperti polisi, pilot, guru, dokter dan perawat, mendadak aku melotot dan geli. Dalam hati, mengapa pendidikan dimakna untuk mendapatkan pekerjaan?

Dalam hati, mana mungkin anak-anak sekolah dasar seusia mereka membuat poster ini atas idenya sendiri. Guru-guru atau orangtua mereka mungkin membimbing anak ini dalam pembuat poster tersebut. Anak-anak SD itu begitu semangat meneriakan yel-yel "ayo sekolah-ayo sekolah."

Aku memandang anak-anak itu dengan senyuman.  Mereka tampak bersemangat dan senang bisa mengajak teman-temannya untuk rajin berangkat sekolah. Tidak ada yang salah dengan mereka. 

Anak-anak itu mungkin belum paham makna pendidikan sesungguhnya. Mereka yang berusia sekitar 7-9 tahun itu tentu belum memiliki kesadaran seperti aku dulu. Jujur, aku sekolah karena disuruh orangtua dan biar sama seperti tetangga-tetanggaku. Aku nggak tahu untuk apa aku bersekolah.

Aku tiba-tiba kaget dan lamunanku menghilang. Klakson motor di belakangku mulai berisik sebagai tanda aku harus segera melaju lantaran lampu hijau sudah menyala .Aksi anak-anak SD tadi menginggatkanku akan ajaran Ki Hajar Dewantara. Sejatinya Ki Hajar Dewantara menginginkan pendidikan untuk membuat manusia seutuhnya.


Menurut KI Hajar Dewantara pendidikan yaitu: "Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti ( karakter, kekuatan bathin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya".

Ki Hajar membedakan antara sistem "pengajaran" dan "pendidikan". Menurutnya, pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah yakni kemiskinan dan kebodohan. Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin seperti otonomi berpikir, mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik.

 Dalam arti luas, maksud pendidikan dan pengajaran adalah bagaimana memerdekakan, mendewasakan dan menjunjung tinggi nilai-nilai hidup bersama, manusia sebagai anggota dari sebuah persatuan rakyat. Oleh karena itu, setiap orang merdeka harus memperhatikan dan bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana ia hidup. 

Dalam pengertian sekolah kedua aspek itu tidak boleh dipisah-pisahkan, agar kita memajukan kesempurnaan hidup. Yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunia-nya.

Dari uraian di atas, dapat ditarik benang merah bahwa makna kata pendidikan jauh lebih luas dari pada pengajaran. Karena pendidikan di dalamnya mencakup manusia seutuhnya, baik itu pendidikan intelektual, moralitas (nilai-nilai), dan budi pekerti.

Maka, pendidikan di sini beralaskan garis hidup bangsanya dan diimplementasikan untuk keperluan perikehidupan yang dapat mengangkat derajat Negara dan rakyatnya agar dapat bekerja bersama-sama dengan bangsa lain demi kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia. Dan dapat disimpulkan bahwa pendidikan menurut Ki Hajar adalah menyangkut jiwa dan raga setiap individu untuk semakin dewasa dan mandiri. 

Pendidikan di sini termasuk lahir dan batin serta pendidikan harus melibatkan pertimbangan kemanusiaan dan selaras dengan nilai-nilai  fitrah yang ada dalam diri siswa.

Tapi selama ini dalam prakteknya, orang-orang kerap menilai bahwa manusia harus sekolah atau berpendidikan agar mendapatkan pekerjaan yang baik. Pemahaman ini sangat salah. Manusia belajar dan bersekolah agar menjadi manusia yang terdidik. Mampu mengunakan rasa cipta dan karsanya untuk menciptkan sesuatu. Manusia terdidik berarti ia berbudi pekerti.

Jika pemahaman sekolah hanya untuk mendapatakan pekerjaan yang layak, maka nilai pendidikan itu akan runtuh secara perlahan. Karena faktanya, dalam dunia pekerjaan, pendidikan yang kita lalui dari taman kanak-kanak hingga kuliah, yang dibutuhkan adalah keahlian. Maka saya ingin mengaris bawahi bahwa pendidikan tidak untuk mendapatkan pekerjaan, tapi menjadi manusia seutuhnya dan manusia terdidik.

 Saya ingin sedikit bercerita,  kemarin tanggal 1 Mei diperingati sebagai haru buruh internasional. Teman saya seorang karyawan di perusahaan terkemuka kerap mengeluh dengan aksi buruh yang melakukan demo di jalanan. Katanya buruh-buruh seperti itu bikin macet. 

Padahal teman saya yang bekerja sebagai karyawan itu juga buruh. Entah buruh pabrik, buruh tani, buruh dan para pegawai itu juga  buruh. Bedanya yakni pada pekerjaannya. Ada yang disebut buruh kasar dan buruh terdidik. Menjadi buruh terdidik memang terlihat lebih mentereng dibanding buruh kasar.

Namun tidak selayaknya menghina dan meremehkan aksi para buruh yang ingin memperjuangkan hak-haknya. Toh sama-sama buruh jangan saling merendahkan. Buruh-buruh terdidik seharusnya tercerahkan dan sadar bahwa ilmu yang dimilikinya bisa membantu memperjuangkan hak para buruh tani dan buruh pabrik yang hidupnya kurang sejahtera. 

Para buruh  itu kerap tidak mendapatkan hak-haknya seperti upah layak, dipaksa untuk bekerja dengan sistem  kontrak dan sistem outsourcing, dan jam istirahat. Maka dari itu, hari pendidikan harus disemangati bahwa kita sekolah bukan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak melainkan kita menjadi manusia yang bernilai dan budi pekerti.

Lantas bagaimana orang-orang yang bergelar sarjana dan megister yang memilih menjadi buruh? Itu juga tidak masalah. Yang menjadi masalah adalah merasa lebih tinggi dari buruh lain. Padahal pekerjaan yang masih dibayar oleh seseorang, itu tetap saja buruh. Sehingga yang wajib dilakukan buruh terdidik adalah membantu memperjuangkan hak-hak buruh kasar agar kita semua sejahtera dan mendapatkan penghidupan yang layak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun