"Manusia adalah produk terbaik dari Sang Pencipta."Â Acap kali kalimat tersebut yang menjadi penguat bagi Adhira. Wanita yang hampir menginjak usia seperempat abad, tapi tak pernah sekalipun mengecap rasa dicintai lawan jenis.
Bukanlah momok lagi di zaman yang semakin dewasa ini bahwa good looking dan kesempurnaan fisik terkhusus wajah menjadi tolok ukur keberhasilan seseorang mendapatkan cinta.
Berdalih dengan alasan "memperbaiki keturunan" lantas manusia seolah benar dengan memetakan cantik-jelek, rupawan-buruk rupa, kaya-miskin, dan pemetaan lainnya yang mengurai jarak antara satu dengan yang lain. Menyekat interaksi sosial dengan mereka yang tak segolongan.
"Astghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah ...." Adhira tak henti membasahi bibirnya dengan beristighfar. Kerap kali pula wanita itu berzikir dalam diam setiap kali telinganya mendengar orang-orang di sekitarnya saling berbisik. Mereka menatap Adhira dengan penuh penilaian. Seolah merasa aneh.Â
Tak jarang pula ada orang yang dengan spontan mengatakan bahwa rupa wanita itu seperti alien. Jika sudah seperti itu, Adhira hanya akan tersenyum getir. Dalam pikirnya ia bertanya, "Memangnya mereka pernah melihat alien yang sesungguhnya?" Lantas wanita beralis nyaris transparan itu akan dengan gigih menguatkan hatinya. Kembali merapal nama Tuhan dalam hati. Memohon agar hatinya dikuatkan. Agar telinganya dikebalkan dari ujaran tak menyenangkan. Agar ego tak menuruti amarahnya. Hanya dengan begitu ia merasa tenang, sebab wanita itu percaya, Tuhannya ada. Tuhannya jaga.
"Hasbunallah wa nikmal wakil, nikmal maulaana wanikman nasir."
Benar, cukuplah Allah menjadi penolongnya.
***
"Kamu tidak berangkat kerja, Nduk?" Neti, ibu sambung Adhira memecah lamunan wanita itu dengan pertanyaannya.
"Eh, Ibu." Adhira sempat terkejut sejenak. Lantas menjawabi pertanyaan ibunya, "Kerja, Bu. Hari ini shift malam."