Mohon tunggu...
Oky Ade
Oky Ade Mohon Tunggu... -

Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Refleksi Pemungutan Suara Negeri Adikuasa (Part 2)

22 November 2016   10:05 Diperbarui: 22 November 2016   10:23 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

8 November 2016 kemarin menjadi puncak dari serangkaian pemilihan umum di Amerika Serikat. Warga negeri Paman Sam memadati tempat pemungutan suara untuk memilih orang-orang yang akan mengisi jabatan eksekutif dan legislatif baik di tingkat federal maupun lokal. Meskipun tanggal pemungutan suara telah dijadwalkan pada 8 november, beberapa negara bagian telah membuka pemungutan suara lebih awal (early voting) beberapa minggu sebelum hari H. Kedutaan Amerika Serikat di berbagai penjuru dunia pun menyediakan fasilitas early voting bagi warga Amerika Serikat yang berada di luar negeri. Hasil pemilu ini akan menentukan arah kebijakan Amerika Serikat selama 4 tahun (eksekutif) atau 2 tahun (legislatif) kedepan. Hasilnya, tidak terlalu mengejutkan, namun tidak pula sesuai perkiraan, di tingkat federal, berdasarkan hasil pemungutan suara, Partai Republik menyapu bersih kemenangan di Eksekutif dan legislatif.

Memahami Arah “Trump Policy”

Donald Trump telah menyita begitu banyak perhatian selama proses pemilihan umum berlangsung. Lihat saja berbagai komentar yang dilontarkannya sejak masa kampanye yang penuh dengan kontroversi, sebut saja larangan masuk Amerika Serikat untuk muslim, penutupan masjid-masjid di negara itu, menyebut perubahan iklim sebagai sebuah kebohongan. hingga menyebut imigran asal Meksiko sebagai “Bandar Narkoba dan pemerkosa”, belum lagi komentarnya tentang perempuan yang memicu kemarahan karena dinilai merendahkan martabat wanita. Meskipun demikian, tidak semua perhatian terfokus pada komentarnya, namun juga pada kebijakan-kebijakan yang dijanjikan selama kampanye, mulai dari deportasi 3 juta imigran, pembangunan tembok di sepanjang perbatasan Amerika Serikat dengan Meksiko, hingga renegosiasi sejumlah perjanjian internasional terutama di bidang perdagangan dan emisi karbon. Tentu saja yang lebih mnejadi perhatian adalah kebijakan-kebijakan tersebut.

Berbagai kebijakan Donald Trump tampak menjadi antitesis dari kebijakan Pemerintah pada masa Barack Obama, bahkan kebijakan Amerika Serikat pasca perang dunia kedua. Kebijakan yang diungkapkan Trump ini tampaknya mirip dengan kebijakan Amerika Serikat awal abad ke-20 hingga hingga menjelang perang dunia II. Perlu diketahui bahwa pada awal abad ke-20 Amerika Serikat meraih kejayaan melalui pandangan politik isolasi, yakni menarik diri dari masalah antar negara dengan lebih mengandalkan diplomasi bilateral, dipadukan dengan kebijakan ekonomi yang longgar. Dampak politik isolasi, Amerika Serikat tidak terlibat dalam beberapa peperangan, misalnya konflik Rusia-Jepang awal 1900an, perang Balkan, bahkan Perang Dunia I.

Negeri Paman Sam bahkan tidak menjadi anggota Liga Bangsa-Bangsa yang berdiri pada akhir perang dunia I karena tidak ingin melibatkan diri pada masalah internasional dan lebih fokus pada masalah dalam negeri, selain karena kuatnya tekanan warga Amerika agar negara itu menjauh dari masalah internasional. Kebijakan ini membawa Amerika Serikat mencapai salah satu masa keemasannya dalam hal keamanan dan kemakmuran, karena Amerika Serikat tidak terlalu terpengaruh dengan kejadian di negara lain. Namun, pada masa ini pula terjadi krisis ekonomi yang dikenal sebagai “Great Depression” atau Depresi Besar, hingga memicu perang dunia II yang kemudian memaksa Amerika Serikat terlibat pada perang tersebut.

Pihak yang menolak kebijakan Trump khawatir sikap Amerika Serikat yang berubah begitu drastis dapat memicu ketidakstabilan karena menyebabkan banyak kekosongan kekuatan karena ditinggal Amerika Serikat seperti kondisi Eropa setelah Perang Dunia I, yang terbukti memicu perang dunia II, selain itu, konsep politik isolasi dianggap sudah tidak relevan pada masa ini karena adanya globalisasi, yang menyebabkan kejadian di suatu negara dapat memengaruhi kondisi negara lain. Namun pihak yang setuju dengan kebijakan-kebijakan itu mengatakan bahwa berbagai kekacauan yang terjadi bukan karena Amerika Serikat yang menarik diri, namun karena negara-negara itu terlalu bergantung pada Amerika, sehingga ketika Amerika menarik diri, mereka tidak bisa menjaga keseimbangan mereka sendiri, di sisi lain, dengan model politik isolasi, Amerika Serikat bisa lebih fokus mengatasi masalah dalam negeri dan membenahi berbagai masalah yang terjadi.

Saat ini, mungkin salah satu orang yang begitu pusing dengan kebijakan Trump adalah Presiden Barack Obama. Hal itu terlihat dari aktivitasnya yang lebih banyak didominasi usaha “menenangkan” negara-negara sekutu Amerika Serikat sehingga tidak terlalu khawatir dengan perubahan kebijakan antara Obama dengan Trump. Obama bahkan menyebut Trump sebagai seorang yang pragmatis sehingga kemungkinan kebijakan yang akan diberlakukan tidak benar-benar sesuai dengan yang dikatakan Trump saat kampanye. 

Mungkin maksud Obama mengatakan hal tersebut untuk menenangkan negara sekutu dan secara tidak langsung mengatakan bahwa semuanya masih bisa dinegosiasikan kembali dengan Trump, namun hal ini ditangkap berbeda oleh pihak lain, yang menganggap pernyataan ini menambah ketidakpastian akan kebijakan Trump nantinya. Jika benar Trump seorang yang pragmatis, maka semuanya akan menjadi semakin tidak jelas karena segala sesuatu masih bisa berubah hingga menit terakhir, bergantung pada situasi saat itu, tidak memperhatikan pola dari rangkaian kejadian yang berlangsung pada waktu tertentu, yang, dengan kata lain, akan lebih banyak kejutan yang muncul daripada yang diperkirakan.

Terlepas dari tebak-tebakan kebijakan seperti apa yang akan dijalankan Trump, ia telah mulai memilih orang-orang yang akan mengisi jabatan-jabatan penting, dimana sementara ini didominasi oleh orang-orang konservatif, jadi untuk sementara belum tampak ada kejutan dan semua masih sejalan dengan gambaran sebelumnya. Namun dunia masih akan menanti kebijakan Trump, terutama mengenai hubungannya dengan Rusia yang tampaknya akan membaik dalam masalah di Timur Tengah, serta dengan Korea Utara yang memungkinkan dibukanya perundingan langsung antara kedua negara, meski baru-baru ini beberapa sumber mengungkapkan bahwa Trump masih akan keras terhadap negara komunis-Juche itu. Dunia juga begitu menantikan kebijakan Trump masalah perubahan iklim. Kekhawatiran itu karena Trump pernah berkata bahwa dia akan membatalkan kesepakatan tentang pengurangan emisi karbon yang dikhawatirkan akan mengacaukan komitmen internasional dalam mengatasi perubahan iklim.

Trump memimpin Amerika, Apa Peluang Indonesia?

Latar belakang Donald Trump sebagai pengusaha tampaknya sangat memengaruhi berbagai kebijakan yang bakal dia tempuh, setidaknya berdasarkan komentar-komentarnya. Trump tampaknya berfikir, menurut saya, “Out of the Box”. Maksudnya, banyak hal yang dia lontarkan begitu berbeda dengan yang umumnya dilakukan oleh pejabat Amerika Serikat. Sebut saja hal yang berkaitan dengan penanganan terorisme, wacana mengajak Rusia sebagai partner merupakan terobosan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tentunya kita tahu bagaimana hubungan kedua negara yang sejak masa perang dingin saat Rusia masih bersatu dalam Uni Soviet, hubungan dua negara ini hampir tidak pernah dekat, bahkan lebih cenderung bermusuhan. 

Hal ini menunjukkan Trump lebih terbuka dalam melihat suatu masalah, tidak hanya fokus pada polarisasi kebijakan sebelumnya. Begitu pula soal perubahan iklim, jika lebih dicermati, sebenarnya Trump menginginkan suatu bentuk yang jelas tentang bagaimana setiap negara berperan secara adil dalam perubahan iklim, bukan hanya dibebankan pada Amerika Serikat sendiri. Trump ingin negara lain seperti Tiongkok dan negara Timur Tengah memberikan bentuk yang jelas tentang peran negara mereka dalam mengatasi perubahan iklim secara adil.

Lalu bagaimana Indonesia melihat Trump? Mungkin saat mendengar nama ini masyarakat kembali teringat dengan kasus kunjungan kontroversial pimpinan DPR yang menemui Trump saat ia masih berkampanye sebagai bakal capres dari partai Republik. Indonesia tentu harus melihat kemenangan Trump ini sebagai peluang dalam memenangkan persaingan global dan mempertahankan diri sebagai negara kuat dan berpengaruh di tingkat internasional. Pemerintah bisa memanfaatkan sikap Trump yang terbuka agar bersedia membantu Indonesia dalam beberapa hal, misalnya pemberantasan terorisme dan reformasi PBB.

Indonesia juga bisa memanfaatkan kondisi ini untuk mulai merundingkan perjanjian perdagangan dan investasi bilateral sehingga lebih menguntungkan kedua negara, apalagi Trump tampaknya lebih menyukai perundingan bilateral daripada multirateral karena ia melihat setiap negara memiliki “spesifikasi” berbeda sehingga tidak bisa menyamakan kondisi di satu tempat dengan lainnya, sehingga dengan segera mendekatkan diri pada Trump tentu lebih menguntungkan dalam berbagai proses negosiasi. Kebetulan juga Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sama-sama berlatar belakang pengusaha seperti Donald Trump, sehingga “Bahasa Pengusaha” memberikan nilai tambah tersendiri dalam kecepatan mencapai kesepakatan.

Selain itu, Indonesia bisa pula bertukar informasi mengenai kemungkinan adanya pelarangan muslim masuk ke Amerika Serikat. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, meski bukan negara Islam, Indonesia memiliki kapasitas untuk memastikan bahwa kebijakan itu bukanlah bentuk diskriminasi terhadap muslim. Pemerintah Indonesia bisa pula bertukar masukan tentang bagaimana mengatasi masalah Semenanjung Korea dan konflik Israel-Palestina. Meskipun dalam hal konflik Israel-Palestina tampaknya Indonesia perlu sedikit berusaha keras karena sikap Trump tampaknya lebih pro Israel dengan ucapannya akan menjadikan Yerusalem sebagai ibukota Israel, saya pribadi tetap yakin ada celah dalam mencari jalan keluar karena, sekali lagi, dibawah Trump, apapun bisa terjadi. 

Kuncinya adalah jangan merendahkan, meremehkan apalagi menghina Trump, namun anggap sebagai kawan dekat nan akrab. Hal ini sudah dicontohkan Presiden Rusia Vladimir Putin. Cukup dengan memuji dan membuka diri pada Trump, Rusia sudah diajak berkoalisi dalam mengatasi masalah di Suriah. Indonesia tentu tidak boleh melewatkan kesempatan ini karena belum tentu presiden Amerika Serikat berikutnya seperti Donald Trump dengan kebijakannya yang tidak normatif dan penuh intrik politk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun