Hal ini menunjukkan Trump lebih terbuka dalam melihat suatu masalah, tidak hanya fokus pada polarisasi kebijakan sebelumnya. Begitu pula soal perubahan iklim, jika lebih dicermati, sebenarnya Trump menginginkan suatu bentuk yang jelas tentang bagaimana setiap negara berperan secara adil dalam perubahan iklim, bukan hanya dibebankan pada Amerika Serikat sendiri. Trump ingin negara lain seperti Tiongkok dan negara Timur Tengah memberikan bentuk yang jelas tentang peran negara mereka dalam mengatasi perubahan iklim secara adil.
Lalu bagaimana Indonesia melihat Trump? Mungkin saat mendengar nama ini masyarakat kembali teringat dengan kasus kunjungan kontroversial pimpinan DPR yang menemui Trump saat ia masih berkampanye sebagai bakal capres dari partai Republik. Indonesia tentu harus melihat kemenangan Trump ini sebagai peluang dalam memenangkan persaingan global dan mempertahankan diri sebagai negara kuat dan berpengaruh di tingkat internasional. Pemerintah bisa memanfaatkan sikap Trump yang terbuka agar bersedia membantu Indonesia dalam beberapa hal, misalnya pemberantasan terorisme dan reformasi PBB.
Indonesia juga bisa memanfaatkan kondisi ini untuk mulai merundingkan perjanjian perdagangan dan investasi bilateral sehingga lebih menguntungkan kedua negara, apalagi Trump tampaknya lebih menyukai perundingan bilateral daripada multirateral karena ia melihat setiap negara memiliki “spesifikasi” berbeda sehingga tidak bisa menyamakan kondisi di satu tempat dengan lainnya, sehingga dengan segera mendekatkan diri pada Trump tentu lebih menguntungkan dalam berbagai proses negosiasi. Kebetulan juga Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sama-sama berlatar belakang pengusaha seperti Donald Trump, sehingga “Bahasa Pengusaha” memberikan nilai tambah tersendiri dalam kecepatan mencapai kesepakatan.
Selain itu, Indonesia bisa pula bertukar informasi mengenai kemungkinan adanya pelarangan muslim masuk ke Amerika Serikat. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, meski bukan negara Islam, Indonesia memiliki kapasitas untuk memastikan bahwa kebijakan itu bukanlah bentuk diskriminasi terhadap muslim. Pemerintah Indonesia bisa pula bertukar masukan tentang bagaimana mengatasi masalah Semenanjung Korea dan konflik Israel-Palestina. Meskipun dalam hal konflik Israel-Palestina tampaknya Indonesia perlu sedikit berusaha keras karena sikap Trump tampaknya lebih pro Israel dengan ucapannya akan menjadikan Yerusalem sebagai ibukota Israel, saya pribadi tetap yakin ada celah dalam mencari jalan keluar karena, sekali lagi, dibawah Trump, apapun bisa terjadi.
Kuncinya adalah jangan merendahkan, meremehkan apalagi menghina Trump, namun anggap sebagai kawan dekat nan akrab. Hal ini sudah dicontohkan Presiden Rusia Vladimir Putin. Cukup dengan memuji dan membuka diri pada Trump, Rusia sudah diajak berkoalisi dalam mengatasi masalah di Suriah. Indonesia tentu tidak boleh melewatkan kesempatan ini karena belum tentu presiden Amerika Serikat berikutnya seperti Donald Trump dengan kebijakannya yang tidak normatif dan penuh intrik politk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H