8 November 2016 kemarin menjadi puncak dari serangkaian pemilihan umum di Amerika Serikat. Warga negeri Paman Sam memadati tempat pemungutan suara untuk memilih orang-orang yang akan mengisi jabatan eksekutif dan legislatif baik di tingkat federal maupun lokal. Meskipun tanggal pemungutan suara telah dijadwalkan pada 8 november, beberapa negara bagian telah membuka pemungutan suara lebih awal (early voting) beberapa minggu sebelum hari H. Kedutaan Amerika Serikat di berbagai penjuru dunia pun menyediakan fasilitas early voting bagi warga Amerika Serikat yang berada di luar negeri. Hasil pemilu ini akan menentukan arah kebijakan Amerika Serikat selama 4 tahun (eksekutif) atau 2 tahun (legislatif) kedepan. Hasilnya, tidak terlalu mengejutkan, namun tidak pula sesuai perkiraan, di tingkat federal, berdasarkan hasil pemungutan suara, Partai Republik menyapu bersih kemenangan di Eksekutif dan legislatif.
Pemilu paling ketat dan keras sepanjang sejarah
Pemilu 8 November kemarin disebut-sebut sebagai pemilu paling ketat, bahkan keras dan “kasar” dalam sejarah Amerika Serikat. Hal tersebut sudah terlihat bahkan sejak masa nominasi calon presiden, baik dari partai Demokrat dan Republik, setiap calon sudah saling menyerang dengan keras satu sama lain. Mungkin kita masih ingat perseteruan antara Ted Cruz, John Kasich dan Marco Rubio dengan Donald Trump semasa Konvensi Partai Republik, serta Bernie Sanders dengan Hillary Clinton di Konvensi Partai Demokrat.
Mereka lebih banyak mengejek pribadi satu sama lain, bahkan dengan nominee dari partai lain, daripada beradu program. Hal tersebut terus terjadi bahkan hingga konvensi berakhir dan partai telah menentukan calon mereka masing-masing. Ted Cruz misalnya, dia memilih untuk tidak mendukung Donald Trump sebagai Capres Amerika Serikat dari Partai Republik, meski mereka separtai dan hal tersebut belum pernah dilakukan sebelumnya. Biasanya ketika Partai telah menentukan calonnya, semua peserta konvensi akan kompak bersatu dan mendukung calon tersebut.
Hal yang sedikit berbeda terjadi pada konvensi partai Demokrat. Meskipun Hillary Clinton harus sedikit berjuang memenangkan konvensi dari lawannya Bernie Sanders, namun setelah konvensi selesai, keduanya sepakat untuk bersatu dan berkampanye bersama. Meskipun demikian, Konvensi Demokrat bukan tanpa masalah. Beberapa hari menjelang puncak konvensi, Wikileaks membocorkan surat elektronik petinggi partai Demokrat yang tampaknya lebih berpihak pada Hillary Clinton. Hal ini menjadi masalah serius karena berkaitan dengan independensi konvensi. Meski Bernie Sanders tetap mengakui kekalahannya dan bersatu dengan Hillary, namun hal tersebut tampaknya tidak berlaku bagi pendukung Sanders sehingga bisa jadi menjadi salah satu penyebab kekalahan Calon Presiden Wanita Pertama dari partai besar di Amerika Serikat itu.
Begitu kerasnya pemilu kali ini, hingga setiap kampanye tidak lepas dari saling ejek dan serangan terhadap pribadi masing-masing capres dari capres lainnya. Misalnya saja Donald Trump yang menyebut Hillary berbohong selama karir politiknya, termasuk soal skandal surat elektronik pribadi Clinton, serta penyerangan Kedubes Amerika Serikat di Benghazi Libya, dan berdirinya ISIS yang menurut Trump merupakan ciptaan Hillary semasa ia menjabat sebagai menteri luar negeri. Hillary pun demikian, ia menyebut Donald Trump anti demokrasi karena tidak menghargai perbedaan, skandal kata-kata kasarnya yang disebut melecehkan perempuan, serta berbahaya karena sikap Trump yang sering berubah-ubah, bisa memicu ketidakpastian dan menyulut Perang Dunia.
Berbagai sumpah serapah dan cemoohan yang muncul selama pemilu menyebabkan warga Amerika Serikat bahkan dunia disuguhi saling serang, baik dalam kampanye maupun debat yang berlangsung. Masing-masing calon presiden lebih sibuk untuk menangkis serangan dan cemoohan yang ditujukan kepadanya daripada menjabarkan kebijakan yang akan diambil apabila terpilih dan menjabat sebagai presiden Amerika Serikat ke-45. Beberapa kebijakan yang sempat terucap pada kampanye, Donald Trump mengenai pengetatan imigrasi, pemotongan pajak besar-besaran, serta renegosiasi perjanjian keamanan AS dengan negara sekutu. Adapun beberapa kebijakan yang pernah diucapkan Hillary diantaranya mengenai peningkatan pajak dan upah minimum, pemberlakuan zona larangan terbang di Suriah, serta pengetatan kepemilikan senjata api.
Hasil Pemilu tidak sesuai harapan, meski tidak terlalu mengejutkan
Kemenangan partai Republik memang sudah diprediksi banyak pihak, mengingat secara “tradisi”, biasanya setiap 8 tahun, meskipun tidak selalu, terutama pada jabatan eksekutif akan ada perubahan partai yang berkuasa. Jika Demokrat melalui Barack Obama telah menjadi penguasa selama 8 tahun, maka wajar jika pada pemilu ini dimenangkan Republik. Selain itu, partai Republik memang sering memenangi pemilu dengan kemenangan tipis. Berdasarkan hasil pemungutan suara, Donald Trump dinyatakan terpilih sebagai presiden karena mencapai suara elektoral melampaui standar yang diperlukan untuk memenangkan pemilihan. Meskipun demikian, hal ini belum bisa dinyatakan resmi, karena untuk pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan yang sebenarnya baru dilaksanakan pada pertengahan Desember dan dilakukan dengan sistem yang disebut “Electoral College”.
Perlu diketahui bahwa warga Amerika Serikat tidak secara langsung memilih Presiden, melainkan “Elector” yang merupakan utusan partai yang bukan anggota DPR maupun Senat di setiap negara bagian. Elector inilah yang kemudian memilih presiden dan wakil Presiden AS dalam suatu pertemuan yang disebut “Electoral College”.
Namun, hampir dipastikan Elector tersebut akan memilih calon sesuai dengan partai yang mereka wakili. Belum pernah terjadi dalam sejarah ada Elector memilih calon selain dari partai yang mereka wakili, meskipun tercatat setidaknya dalam 3 kali pemilu, dan tahun ini akan jadi yang keempat kalinya calon dengan suara terbanyak tidak terpilih sebagai presiden karena kalah secara suara elektoral. Uniknya, keempat pemilu tersebut dimenangkan oleh partai Republik, jadi memang bisa dibuat istilah partai Republik adalah spesialis suara elektoral, istilah lainnya "Selected not Elected" (diucapkan Hillary Clinton menanggapi kemenangan George W. Bush atas Al Gore pada pemilu 2000).
Perbedaan tersebut bisa terjadi karena jumlah elector tiap negara bagian berbeda bergantung jumlah penduduk, serta sistem sapu bersih elector, yakni capres dengan suara terbanyak di suatu negara bagian menguasai seluruh suara elektoral di negara bagian tersebut, kecuali untuk Negara Bagian Maine dan New Hampshire yang memperbolehkan “Split Elector” atau tidak sapu bersih suara elektoral dengan beberapa ketentuan. Dengan adanya sistem tersebut, capres tidak harus mengumpulkan suara individu terbanyak, namun fokus pada penguasaan jumlah suara elektoral di setiap negara bagian.
Dengan hasil pemungutan suara yang menunjukkan kemenangan total partai Republik, maka kemungkinan presiden terpilih mampu menjalankan kebijakannya dengan lancar tanpa adanya hambatan dari Kongres seperti yang dialami Barack Obama di paruh kedua masa jabatannya. Pada paruh kedua masa jabatannya, DPR Amerika Serikat dikuasai partai Republik sehingga Obama harus beberapa kali mengeluarkan perintah eksekutif maupun veto guna mengamankan kebijakan yang dia ambil.
Namun, namanya politik tidaklah kaku, pasti ada lobi-lobi yang menyebabkan situasi menjadi cair sehingga bisa saja kebijakan Donald Trump dijegal di DPR atau senat, karena kemenangan partai Republik yang cukup tipis terutama di Senat, menjadikan Demokrat masih mungkin memenangi voting untuk menjegal kebijakan Trump dengan melobi beberapa senator republik, terutama pada mereka yang sejak awal tidak menyukai Donald Trump menjadi presiden.
Trump Berjaya, Unjuk Rasa dimana-mana
Menyusul kemenangan Trump pada pemilu lalu, secara de Facto dia sudah dinyatakan sebagai preseiden terpilih meskipun Electoral College belum dilaksanakan, bahkan Hillary Clinton yang merupakan rivalnya telah mengucapkan selamat melalui telepon dan bersedia bekerja sama dalam membangun Amerika Serikat. Pihak Gedung Putih juga telah mengadakan pertemuan antara Donald Trump dengan Barack Obama, membicarakan proses transisi kekuasaan hingga Januari 2017. Meskipun para elit, setidaknya secara kasat mata, tampaknya telah mengakui kemenangan Trump, tampaknya banyak warga yang belum bisa menerima hal tesebut.
Berbagai ekspresi penolakan terpancar di penjuru Amerika Serikat. Unjuk rasa melanda berbagai kota di seluruh penjuru Amerika Serikat menentang terpilihnya Donald Trump sebagai presiden. Mereka menyuarakan penolakannya karena khawatir dengan kebijakan Trump yang menurut mereka sangat anti imigran. Trump bahkan mengancam akan mendeportasi jutaan imigran ilegal di Amerika Serikat yang telah puluhan tahun tinggal di negeri Paman Sam.
Para imigran berbagai kebijakan Trump yang berkaitan dengan imigrasi memunculkan sikap rasisme, karena Trump memberi label tertentu pada imigran tertentu, misalnya imigran Meksiko yang menurut Trump adalah pemerkosa dan bandar narkoba, serta imigran muslim yang menurut Trump adalah teroris. Hal ini menurut pengunjuk rasa menyalahi sejarah Amerika yang terbentuk dari para imigran yang ikut membangun negara ini, bukan pembuat masalah seperti yang Trump sebut.
Beberapa unjuk rasa bahkan berlangsung ricuh dan harus dibubarkan polisi. Yang lebih ekstrim lagi, beberapa pihak separatis di California bahkan menyuarakan pemisahan California dari Amerika Serikat menjadi sebuah negara merdeka, hanya agar Donald Trump tidak menjadi presiden mereka. Mereka menggunakan istilah “California Exit”, yang terinspirasi dari “British Exit”. Istilah ini segera menjadi populer di media sosial dan disebut belasan ribu kali.
Penolakan yang begitu masif dari warga Amerika memang tampak dari hasil pemilu, selain karena secara suara populer kemenangan Donald Trump memang hanya selisih 1% dengan Hillary Clinton, jumlah pemilih yang menggunakan suaranya pada pemilu lalu hanya sekitar 53,3%, atau yang terendah dalam 20 tahun terakhir. Rendahnya partisipasi pemilih ini menjadikan banyak yang merasa bahwa legitimasi Donald Trump tidaklah kuat. Mungkin atas dasar itu pula pengunjuk rasa berani menunjukkan penolakan mereka, yang sebenarnya sangat jarang bahkan hampir tidak pernah terjadi sebelumnya.
Tampaknya rasa frustrasi akan kondisi ekonomi yang masih lemah, ditambah kemenangan Trump yang menebar ketakutan pada imigran menambah beban pikiran mereka menjadi putus asa, dan menggunakan segala cara untuk menggagalkan Donald Trump sebagai presiden. Hal ini sebenarnya bisa segera diredam jika Donald Trump setidaknya menyampaikan klarifikasi tentang berbagai kebijakannya, terutama yang kontroversial dengan lebih jelas sehingga berbagai ketidakpastian bisa segera diakhiri. Namun, Donald Trump malah mengkritik pengunjuk rasa dan media, hal ini mempersulit posisi Donald Trump sebagai Presiden Terpilih. Presiden seharusnya mampu menjadi pemimpin untuk seluruh orang Amerika, sehingga adanya kritikan melalui unjuk rasa seperti itu seharusnya tidak langsung dibalas kritikan, namun lebih dengan memberi tanggapan yang solutif.
Terpilihnya Donald Trump juga mendapat reaksi negatif dari pasar finansial. Pasar saham dan valas bergejolak begitu mengetahui Trump terpilih sebagai presiden. Kebijakan Trump yang dinilai proteksionis bisa mengancam pertumbuhan ekonomi dunia, terutama Tiongkok yang menjadikan Amerika Serikat sasaran utama ekspor mereka. Sikap Donald Trump yang juga menolak TPP maupun beberapa perjanjian perdagangan bebas lainnya menambah ketidakpastian masa depan ekonomi dunia.
Bersambung....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H