Perbedaan tersebut bisa terjadi karena jumlah elector tiap negara bagian berbeda bergantung jumlah penduduk, serta sistem sapu bersih elector, yakni capres dengan suara terbanyak di suatu negara bagian menguasai seluruh suara elektoral di negara bagian tersebut, kecuali untuk Negara Bagian Maine dan New Hampshire yang memperbolehkan “Split Elector” atau tidak sapu bersih suara elektoral dengan beberapa ketentuan. Dengan adanya sistem tersebut, capres tidak harus mengumpulkan suara individu terbanyak, namun fokus pada penguasaan jumlah suara elektoral di setiap negara bagian.
Dengan hasil pemungutan suara yang menunjukkan kemenangan total partai Republik, maka kemungkinan presiden terpilih mampu menjalankan kebijakannya dengan lancar tanpa adanya hambatan dari Kongres seperti yang dialami Barack Obama di paruh kedua masa jabatannya. Pada paruh kedua masa jabatannya, DPR Amerika Serikat dikuasai partai Republik sehingga Obama harus beberapa kali mengeluarkan perintah eksekutif maupun veto guna mengamankan kebijakan yang dia ambil.
Namun, namanya politik tidaklah kaku, pasti ada lobi-lobi yang menyebabkan situasi menjadi cair sehingga bisa saja kebijakan Donald Trump dijegal di DPR atau senat, karena kemenangan partai Republik yang cukup tipis terutama di Senat, menjadikan Demokrat masih mungkin memenangi voting untuk menjegal kebijakan Trump dengan melobi beberapa senator republik, terutama pada mereka yang sejak awal tidak menyukai Donald Trump menjadi presiden.
Trump Berjaya, Unjuk Rasa dimana-mana
Menyusul kemenangan Trump pada pemilu lalu, secara de Facto dia sudah dinyatakan sebagai preseiden terpilih meskipun Electoral College belum dilaksanakan, bahkan Hillary Clinton yang merupakan rivalnya telah mengucapkan selamat melalui telepon dan bersedia bekerja sama dalam membangun Amerika Serikat. Pihak Gedung Putih juga telah mengadakan pertemuan antara Donald Trump dengan Barack Obama, membicarakan proses transisi kekuasaan hingga Januari 2017. Meskipun para elit, setidaknya secara kasat mata, tampaknya telah mengakui kemenangan Trump, tampaknya banyak warga yang belum bisa menerima hal tesebut.
Berbagai ekspresi penolakan terpancar di penjuru Amerika Serikat. Unjuk rasa melanda berbagai kota di seluruh penjuru Amerika Serikat menentang terpilihnya Donald Trump sebagai presiden. Mereka menyuarakan penolakannya karena khawatir dengan kebijakan Trump yang menurut mereka sangat anti imigran. Trump bahkan mengancam akan mendeportasi jutaan imigran ilegal di Amerika Serikat yang telah puluhan tahun tinggal di negeri Paman Sam.
Para imigran berbagai kebijakan Trump yang berkaitan dengan imigrasi memunculkan sikap rasisme, karena Trump memberi label tertentu pada imigran tertentu, misalnya imigran Meksiko yang menurut Trump adalah pemerkosa dan bandar narkoba, serta imigran muslim yang menurut Trump adalah teroris. Hal ini menurut pengunjuk rasa menyalahi sejarah Amerika yang terbentuk dari para imigran yang ikut membangun negara ini, bukan pembuat masalah seperti yang Trump sebut.
Beberapa unjuk rasa bahkan berlangsung ricuh dan harus dibubarkan polisi. Yang lebih ekstrim lagi, beberapa pihak separatis di California bahkan menyuarakan pemisahan California dari Amerika Serikat menjadi sebuah negara merdeka, hanya agar Donald Trump tidak menjadi presiden mereka. Mereka menggunakan istilah “California Exit”, yang terinspirasi dari “British Exit”. Istilah ini segera menjadi populer di media sosial dan disebut belasan ribu kali.
Penolakan yang begitu masif dari warga Amerika memang tampak dari hasil pemilu, selain karena secara suara populer kemenangan Donald Trump memang hanya selisih 1% dengan Hillary Clinton, jumlah pemilih yang menggunakan suaranya pada pemilu lalu hanya sekitar 53,3%, atau yang terendah dalam 20 tahun terakhir. Rendahnya partisipasi pemilih ini menjadikan banyak yang merasa bahwa legitimasi Donald Trump tidaklah kuat. Mungkin atas dasar itu pula pengunjuk rasa berani menunjukkan penolakan mereka, yang sebenarnya sangat jarang bahkan hampir tidak pernah terjadi sebelumnya.
Tampaknya rasa frustrasi akan kondisi ekonomi yang masih lemah, ditambah kemenangan Trump yang menebar ketakutan pada imigran menambah beban pikiran mereka menjadi putus asa, dan menggunakan segala cara untuk menggagalkan Donald Trump sebagai presiden. Hal ini sebenarnya bisa segera diredam jika Donald Trump setidaknya menyampaikan klarifikasi tentang berbagai kebijakannya, terutama yang kontroversial dengan lebih jelas sehingga berbagai ketidakpastian bisa segera diakhiri. Namun, Donald Trump malah mengkritik pengunjuk rasa dan media, hal ini mempersulit posisi Donald Trump sebagai Presiden Terpilih. Presiden seharusnya mampu menjadi pemimpin untuk seluruh orang Amerika, sehingga adanya kritikan melalui unjuk rasa seperti itu seharusnya tidak langsung dibalas kritikan, namun lebih dengan memberi tanggapan yang solutif.
Terpilihnya Donald Trump juga mendapat reaksi negatif dari pasar finansial. Pasar saham dan valas bergejolak begitu mengetahui Trump terpilih sebagai presiden. Kebijakan Trump yang dinilai proteksionis bisa mengancam pertumbuhan ekonomi dunia, terutama Tiongkok yang menjadikan Amerika Serikat sasaran utama ekspor mereka. Sikap Donald Trump yang juga menolak TPP maupun beberapa perjanjian perdagangan bebas lainnya menambah ketidakpastian masa depan ekonomi dunia.