Kekerasan di Yerussalem semakin mengkhawatirkan. Hampir setiap hari ada warga yang menjadi korban kekerasan berupa penikaman maupun penganiayaan lainnya. Kondisi ini menyebabkan Kabinet Israel melakukan pertemuan darurat dan mengumumkan sejumlah langkah untuk mengatasi gelombang kekeasan ini, sementara pihak Palestina menyatakan keputusan kabinet Israel itu justru memperkeruh kondisi karena tindakan yang terlalu represif dan tidak solutif. Gelombang kekerasan memang terus memburuk dalam beberapa hari terakhir di Yerussalem. Hampir sepuluh orang tewas dan sedikitnya puluhan terluka akibat gelombang kekerasan yang terjadi di kota suci tiga agama tersebut. Mayoritas serangan adalah tindakan penikaman yang menyasar warga sipil.Â
Bila dilihat kebelakang, kondisi ini tidak lepas dari tindakan yang dianggap provokatif yang dilakukan oleh polisi Israel di tahun baru Yahudi. Sejumlah bentrokan yang terjadi di Kota tua Yerussalem yang dianggap suci, hingga tindakan paksa masuk kedalam lingkungan masjid Al Aqsa yang merupakan tempat ibadah suci bagi umat Muslim. Tindakan kepolisian Israel yang memaksa masuk dan dituduh merusak sejumlah properti di dalam masjid memicu kemarahan banyak pihak. Hujan kecaman mengalir ke Pemerintah Israel, bahkan Presiden Turki mengatakan tindakan tersebut sebagai "Bermain Api", karena bisa memicu ketegangan yang lebih parah dan berbahaya. Pihak Israel sendiri menyatakan bahwa tindakan tersebut semata-mata dilakukan karena provokasi warga Palestina yang menghalangi warga Israel untuk masuk ke lingkungan suci tersebut.
Kekerasan yang tiada henti seakan menjadi bola salju yang makin besar dan berbahaya, bukan hanya bagi Palestina namun juga bagi Israel itu sendiri. Banyak hal yang terjadi sebagai akibat dari berbagai permasalahan yang dipicu bentrokan tersebut. mulai dari unjuk rasa dan bentrokan lanjutan yang terjadi di kota tua karena keamanan Israel membatasi akses masuk ke kota tua. Pembatasan ini memperumit masalah karena sebelumnya Israel juga sempat membatasi akses masuk ke Baitul Maqdis dengan alasan keamanan.Â
Masalah semakin rumit, setelah bentrokan yang terjadi saat tahun baru Yahudi. Pengibaran bendera Palestina di Markas PBB serta  pidato "berani" dan "mengejutkan" dari Presiden Palestina dalam sidang Majelis Umum PBB yang membatalkan perjanjian Oslo tampaknya menjadi puncak amarah otoritas Palestina karena lebih dari dua dekade sejak perjanjian itu disepakati, Israel seakan tidak mengakui eksistensi Pemerintah Palestina dengan terus memperluas pemukiman Yahudi dan mencaplok wilayah - wilayah yang sebelumnya disepakati sebagai wilayah Palestina. Hal ini tentu melanggar perjanjian Oslo dan tampaknya Palestina sudah jengah dengan pelanggaran yang terus dilakukan Israel sehingga nampak seperti tidak pernah ada perjanjian Oslo. Perdana Menteri Israel menyesalkan pidato tersebut dan menyatakan tindakan Palestina mempersulit perundingan langsung yang hendak dilakukan. Di sisi lain, dengan pembatalan perjanjian tersebut, otomatis penyelesaian masalah Palestina dikembalikan kepada Israel yang disebut sebagai Negara Penjajah. Hal ini tentunya secara tidak langsung menyulitkan posisi Palestina untuk bebas dari cengkeraman Israel.
Di sisi lain, pernyataan pembatalan Perjanjian Oslo juga mejadi sinyal berbahaya bagi pemerintah Israel. Selain harus mengatasi penyelesaian posisi Palestina, Pemerintah Israel juga harus bersiap menghadapi gelombang kekerasan yang bisa saja terjadi di dalam wilayah kekuasaannya karena jalur negosiasi dianggap sudah tertutup. Manuver Palestina ini secara tidak langsung menggoyang pemerintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu karena dianggap gagal mengurus keamanan dalam negeri Israel. Tekanan makin kuat kala gelombang kekerasan yang terus meningkat semakin meningkatkan keraguan akan kemampuan kabinet Netanyahu dalam menjaga stabilitas. Untuk diketahui, isu keamanan telah menjadi amunisi penting yang memenangkan Partai Likud pada pemilu lalu yang otomatis mengamankan posisi Netanyahu sebagai Perdana Menteri. Keraguan ini tentunya bisa berbahaya pada posisinya nanti.
Khawatir Intifada
Gelombang kekerasan yang semakin parah memicu kekhawatiran terjadinya gelombang Intifada ketiga yang bisa saja terjadi dan kemungkinan besar terjadi. Dalam gelombang Intifada sebelumnya, tindakan kekerasan yang terjadi menimbulkan begitu banyak korban berjatuhan di kedua belah pihak. Kekacauan yang terjadi begitu mencekam hingga masyarakat takut keluar rumah, bahkan hingga menimbulkan gelombang pengungsi ke sejumlah negara tetangga. Serangan ketiga ini tentunya menjadi bentuk ketakutan sendiri, karena saat ini, meski belum dinyatakan sebagai benar-benar Intifada, sudah menjadikan kondisi Yerussalem begitu mencekam, banyak warga Yerussalem tidak berani keluar rumah karena khawatir menjadi korban serangan. Belum lagi aparat keamanan yang begitu banyak tersebar di penjuru kota menunjukkan kondisi keamanan pada level yang mnegkhawatirkan. Seraangan selain ditujukan kepada warga sipil juga menyasar pihak keamanan
Kondisi yang semakin mengkhawatirkan ini mengundang reaksi internasional. Berbagai negara meminta agar tensi dapat diturunkan untuk menghindari korban yang berjatuhan. kedua belah pihak diminta juga untuk segera berunding untuk mengatasi masalah yang semakin rumit ini. Masyarakat dunia tentu sedih dan khawatir tentang kejadian ini, berharap bahwa tindakan kekerasan bisa berkurang dan keadaan menjadi stabil.
Solusi Israel - Palestina
Solusi permanen tentunya menjadi impian semua pihak untuk mengakihri konflik puluhan tahun yang terjadi di kawasan ini. Kawasan yang dianggap suci bagi tiga agama besar dunia, nyatanya justru menjadi lokasi paling berdarah di dunia, karena menjadi arena perang tiada akhir. Berbagai perjanjian yang disepakati nyatanya malah memperumit konflik, menjadikan kondisi serba salah dalam siapa menentukan apa dan bagaimana mendamaikan wilayah ini.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa peperangan telah terjadi di wilayah ini selama beberapa kali. Banyak pihak mengkritik sikap negara tetangga Palestina dan Israel yang seakan membiarkan kekerasan terus terjadi. Beberapa pihak dengan lebih ekstrim bahkan menyebut negara tetangga sengaja membiarkan konflik dan tidak peduli dengan kekerasan yang terus berlanjut. Meski beberapa negara tetangga sudah menyatakan kecaman akan kekerasan yang terjadi, namun, masih dianggap belum cukup untuk menuju solusi yang benar-benar permanen. Meskipun demikian ada juga pihak yang memahami sikap negara tetangga tersebut. Kekalahan perang yang terjadi secara beruntun di masa lalu yang menjadikan perjanjian yang merugikan, tentunya menjadi satu pertimbangan untuk menghindari kerugian lebih lanjut yang bisa jadi mereka alami.Â
Melihat hal tersebut, sudah selayaknya kedua pihak yang bertikai mampu menahan ego dan berusaha mencari solusi damai. Solusi damai dua negara tampaknya semakin sulit setelah perjanjian Oslo. Perlu adanya persatuan nasional, untuk membentuk satu identitas bersatu yang mampu menaungi kedua pihak. Hal ini bisa menjadi solusi ketimbang membagi menjadi dua karena belum tentu pembagian menjadi adil bagi kedua pihak, terutama berkaitan dengan posisi Yerussalem yang oleh kedua pihak dianggap sebagai wilayah suci. Dengan adanya entitas bersatu yang mampu menaungi semua pihak, konflik bisa diatasi lebih baik karena adanya pengakuan akan satu induk yang sama, serta rekonsiliasi yang kuat untuk menyatukan kedua pihak yang bertikai. Â PBB juga harus melakukan tindakan yang lebih nyata dalam mengatasi konflik ini. Tindakan berupa resolusi sudah tidak cukup karena selama ini resolusi tidak pernbah dipatuhi. PBB harus benar-benar meyakinkan semua pihak untuk tidak saling melakukan provokasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H