Mohon tunggu...
Mardigu Wowiek
Mardigu Wowiek Mohon Tunggu... -

Die Hard Enterpeuneur Amateur Writter Micro Expression Expert Psychology Enthusiasm Pengamat Intelijen dan Terorisme

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Perlu Suara Keras"

5 Januari 2017   10:03 Diperbarui: 5 Januari 2017   10:24 1409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau saya mulai mengkritik keputusan pemerintah sekarang bukan saya ingin berkuasa atau membenci pemerintahan sekarang. Mohon jangan salah tafsir. Saya suka gaya pak Jokowi yang memang bersih dan polos.

Ya begini inilah Negara kalau ingin di pimpin oleh pemimpin yang berfikir hanya buat rakyat dan modalnya kerja dan kerja. Yang niatnya tulus hasilnya tulus namun di masa transisi kita rasakan sekarang, mules di perut karena ngak take off – take off.

Kalau saya mengkritik atau membahas tujuan saya satu. Ingin tindakan action pak jokowi itu memiliki  pengaruh besar untuk kepentingan masyarakat banyak dan CEPAT hasilnya.

Saat ini, menteri yang banyak saya kritik dan kedua yang saya kritik, DPR. Kedua lembaga ini saya anggap paling tidak produktif. Mending kali kalau di sebut tidak produktif, malah apa yang presiden canangkan dan perintah sering “counter produktif”. Kalau DPR wajar, orang berangkat menjadi negarawan baru, pas di bangku DPR itu baru pada belajar. Begitu buat p0licy atau kebijakan ya “mental dan knowledge “ nya jauuuuh dah dari “world class” state man.

 ok apa bukti omongan saya? apakah saya ngomong tanpa bukti? Ya salah besar saya kalau mengkritik  tanpa bukti dan tanpa solusi. Bukan bossman sontoloyo banget kalau begitu. Kritik keras plus solusi. Selalu itu!

Sekarang bukti dulu kita ungkap, kerja selam aini, 2 tahunan kementrian para pembantu presiden,  jajaran esolon atas, deputi dan CEO BUMNnya.

Fakta : “Pendapatan per kapita Indonesia dalam dollar AS semakin tertinggal oleh negara-negara tetangga seperti Korea, Malaysia, dan Thailand. Padahal, pada awal kemerdekaan, tingkat kesejahteraan ketiga negara hampir sama. China sudah menyusul Indonesia pada tahun 1998 dan Filipina menyusul Indonesia tahun 2015”

Indonesia  ingin tumbuh ekonominya lebih cepat—misalnya dengan memacu pembangunan infrastruktur—. Lalu pemerintah berutang lebih banyak,efeknya suku bunga naik sehingga mengakibatkan investasi swasta melemah. Selain melemah, investasi pun kurang berkualitas, tercermin dari porsi terbesar (74 persen) pembentukan modal tetap bruto berupa “bangunan” sedangkan berupa “mesin dan peralatan” hanya 11 persen. Manufaktur lemah, begitu baca sederhananya

Saat ini defisit anggaran harus ditutupi oleh utang luar negeri, menjual obligasi negara dalam denominasi mata uang asing (global bonds) dan meminjam dari negara donor dan lembaga keuangam internasional. Akibatnya :

Gonjang-ganjing perekonomian global  mengancam stabilitas makroekonomi indonesia. Gangguan di dalam negeri, termasuk faktor sosial dan politik, turut menambah rentan stabilitas makroekonomi. Inilah selalu yang menjadi bahan perkataan para menteri,”ini masalah global yang turun  pak Jokowi” ( saya sudah berkali-kali kritik hal ini). Lah, yang salah strategi anggaran dan pembangunan nasional  kok main tunjuk tangan masalah global sih, geblek bener nih menteri.

Ok sekarang kita gembar gemborkan, Pertumbuhan Indonesia sekitar 5 %. 

Ini  memang tergolong tinggi dibandingkan pertumbuhan dunia dan rata-rata negara berkembang. Namun, harus disadari bahwa sampai sekarang perekonomian Indonesia masih dalam kecenderungan yang melemah dan tingkat kesejahteraannya semakin tertinggal dengan negara tetangga dan berpotensi disusul oleh negara-negara tetangga lain yang sekarang lebih rendah seperti Vietnam, Myanmar, dan kamboja.

Pertumbuhan yang kurang berkualitas tanpa diiringi oleh transformasi struktural yang siginifikan diiringi pula oleh ketimpangan yang sangat buruk. Laporan Bank Dunia (2015) menunjukkan 1%  penduduk terkaya menguasai 50,3% kekayaan nasional indonesia, sedangkan 10 %  terkaya menguasai 77 %  kekayaan nasional Indonesia (Bank Dunia, 2015). 

Lebih miris lagi, orang-orang terkaya itu dua pertiga kekayaannya diperoleh dari praktek “kroniisme”. Angka crony-capitalism index untuk Indonesia memburuk dalam dua tahun terakhir dan menduduki posisi terburuk ke-7 dari 22 negara yang disurvei oleh The Economist (2016).

Atas nama “social justice” atau pasal ke 5 dari pancasila, lihat apa yang akan saya lakukan jika saya di perkenankan berada di ring Nol istana bersama presiden. Tapi apa presiden mau? Atau apa pembantunjya ikhlas ada orang sontoloyo yang menjadi “influencer” presiden. Atau jangan-jangan sesuai saran sahabat, apa saya harus gabung FPI yang bersuara keras, tapi juga apa FPI mau sama orang yang wudlu nya ngak lengkap dan ibadah bolong-bolong? #peace

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun