Seharusnya sudah saatnya PT KA bekerjasama dengan Pemerintah menertibkan pemukiman liar di pinggir rel. Namun PT KAI mengaku sulit untuk menerapkan UU KA no 13 Tahun 1992 tersebut. Warga yang rumahnya tertabrak gerbong tersebut membantah rumahnya disebut liar. Karena tahun 1975 mengaku membeli tanah tersebut seharga 2 juta dari PJKA. Tapi PT KAI mengaku hanya menyewakan. Rumah yang rusak ini sebenarnya pada tahun 2005 juga pernah diterjang gerbong tangki. Salah satu penghuninya luka berat di kakinya dan dideritanya sampai sekarang.
Sementara di ibukota, warga pernah menentang keras penertiban tersebut, karena merasa sudah membayar sejumlah uang perbulan kepada pegawai PT KAI. Dan konon penertiban juga mendapat tentangan dari sejumlah LSM yang membela warga. Wah, runyam kalau sudah begini. Ternyata sumber ketidak tertiban dari pihak PT KAI sendiri, dan tampaknya sudah mulai timbul ketika PT KAI masih bernama PJKA. Kalau memang di situ daerah bahaya, kenapa disewakan?
Di balik itu semua, penertiban atas hunian liar ini juga tak akan dapat menyelesaikan persoalan begitu saja. Pasalnya, penertiban tersebut harus diikuti oleh kebijakan pemerintah dalam memberikan solusi yang menguntungkan, terutama kepada pihak warga. Disamping itu penertiban bukan hanya untuk warga, tapi juga penertiban ke dalam , dalam hal ini mental PT KAI sendiri. Tanpa itu semua, bukan tak mungkin di masa mendatang akan semakin banyak warga yang mendiami lokasi pinggir rel.
Coba penertiban dilakukan waktu pemukiman liarnya masih sedikit, Tentu masalahnya tidak se kompleks sekarang.
sumber : kompas.com, buser.liputan6.com, tribunnews.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI