Mohon tunggu...
joe de sastro
joe de sastro Mohon Tunggu... -

Penggemar bola, heavy metal, tertarik dg masalah lingkungan, perkotaan, budaya dan lain lain..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

KA Tabrak Rumah, Salah Rumahnya?

5 Januari 2011   18:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:55 1033
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Empat Rangkaian gerbong KA Gajayana tanpa lokomotif jurusan Malang- Jakarta terlepas dan meluncur deras sejauh 2,5 km dari Stasiun Malang Kotabaru menuju Stasiun Malang Kotalama kemudian menabrak tiga rumah di sekitar Stasiun Kotalama. Seorang balita tewas akibat insiden itu.

Perbedaan ketinggian stasiun Kotabaru (444 m dari permukaan laut) dan Kotalama (429 m) menjadikan rangkaian gerbong meluncur tak terkendali. Satu-satunya jalan bagi petugas untuk menghentikan gerbong tersebut dengan membelokkan ke area spoor box. Spoor box adalah semacam beton yang dipasang di ujung rel mati. Spoor box fungsinya memang untuk ditabrakkan kereta yang tidak bisa berhenti. Walaupun berhasil dibelokkan, karena saking kencangnya kereta meluncur tak terkendali dan menghancurkan spoor box di ujung rel dan menabrak rumah di belakangnya.

Lepasnya gerbong dari ruang maintenance tersebut jelas kesalahan petugas dari PT KAI. Tapi yang jadi pertanyaan adalah : Bagaimana bisa ada rumah di daerah yang seharusnya steril dari bangunan itu?

Sekarang, pemilik rumah kesulitan minta ganti rugi atas rusaknya rumah tersebut. PT KAI tak mau mengganti kerugian atas kerusakan rumah karena menganggap pemukiman itu liar. PT KAI hanya mau menyantuni korban.

Jelas memang pemukiman liar, Di sepanjang lintasan KA sudah ditetapkan batas-batas aman  untuk mendirikan bangunan. Berdasarkan Undang-undang KA Nomor 13 Tahun 1992 dengan turunan Peraturan Pemerintah Nomor 69, wilayah sekitar 11 meter sisi rel kereta tak diperbolehkan mengadakan kegiatan apa pun, selain lalu lintas perjalanan kereta. Di stasiun sekitar Kotalama, jarak rumah dengan lintasan paling cuma 3-4 m. Tetapi mengapa PT KAI mendiamkan  rumah tersebut berdiri di situ. Bahkan rumahnya sudah permanen dan bagus kondisinya. Juga yang mengherankan, kenapa pemukiman tersebut bisa dapat sambungan listrik di situ.

Gerbong KA Gajayana tabrak rumah - kompas.com/Hendra A Setyawan

Hampir di setiap pinggir rel seluruh pulau Jawa penuh dengan pemukiman liar. Coba kalau kita perhatikan, dari Jakarta - Surabaya sampai Banyuwangi, Jakarta - Bandung - sampai Solo, pinggir lintasan yang mendekati kota, pasti ada pemukiman liarnya, dan jaraknya sangat dekat dengan lintasan. Ada yang masih gubug, semi permanen dan permanen, bahkan ada yang sudah bertingkat. Yang paling parah sebenarnya di sekitar Jakarta. Jika meleati rel-rel di sekitar ibukota, gubug-gubug bahkan hampir menyentuh gerbong KA yang lewat.

12942443651737435353
12942443651737435353

view from train, sekitar Tanah Abang - dok pribadi

Menurut pengakuan para masinis, mereka sebenarnya takut melewati kawasan tersebut, mereka terpaksa menjalankan KA dengan sangat pelan atau bahkan sampai berhenti, disamping was-was kalau menabrak orang, sinyal kereta api juga terhalang.

Seharusnya sudah saatnya PT KA bekerjasama dengan Pemerintah menertibkan pemukiman liar di pinggir rel. Namun PT KAI mengaku sulit untuk menerapkan UU KA no 13 Tahun 1992 tersebut.  Warga yang rumahnya  tertabrak gerbong tersebut membantah rumahnya disebut liar. Karena tahun 1975 mengaku membeli tanah tersebut seharga 2 juta dari PJKA. Tapi PT KAI mengaku hanya menyewakan. Rumah yang rusak ini sebenarnya pada tahun 2005 juga pernah diterjang gerbong tangki. Salah satu penghuninya luka berat di kakinya dan dideritanya sampai sekarang.

Sementara di ibukota, warga pernah menentang keras penertiban tersebut, karena merasa sudah membayar sejumlah uang perbulan kepada pegawai PT KAI. Dan konon penertiban juga mendapat tentangan dari sejumlah LSM yang membela warga. Wah, runyam kalau sudah begini. Ternyata sumber ketidak tertiban dari pihak PT KAI sendiri, dan tampaknya sudah mulai timbul ketika PT KAI masih bernama PJKA. Kalau memang di situ daerah bahaya, kenapa disewakan?

Di balik itu semua, penertiban atas hunian liar ini juga tak akan dapat menyelesaikan persoalan begitu saja. Pasalnya, penertiban tersebut harus diikuti oleh kebijakan pemerintah dalam memberikan solusi yang menguntungkan, terutama kepada pihak warga. Disamping itu penertiban bukan hanya untuk warga, tapi juga penertiban ke dalam , dalam hal ini  mental PT KAI sendiri. Tanpa itu semua, bukan tak mungkin di masa mendatang akan semakin banyak warga yang mendiami lokasi pinggir rel.

Coba penertiban dilakukan  waktu pemukiman liarnya masih sedikit, Tentu masalahnya tidak se kompleks sekarang.

sumber : kompas.com, buser.liputan6.com, tribunnews.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun