Mohon tunggu...
Abdullah Wong
Abdullah Wong Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Rokok, Cinta , Benci dan Kamu

24 Agustus 2016   09:04 Diperbarui: 24 Agustus 2016   09:10 793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

(FAREL)   Apa sih untungnya kamu merokok?

(SADRA)  Kamu sendiri apa untungnya tidak merokok?

(FAREL)   Lho, jelas. Saya tidak sakit.

(SADRA)  Tidak sakit belum tentu sehat, Bung.

(FAREL)   Tapi banyak riset yang menunjukkan bahwa merokok itu mengganggu kesehatan?

(SADRA)  Hanya rokok? Apakah hanya rokok yang mengganggu kesehatan? Bagaimana dengan gula, terigu, coklat, atau ice cream? Apakah semua itu tidak punya peluang mengganggu kesehatan? Lalu tentang riset yang kamu baca, aku juga membacanya. Tapi saya lihat riset yang akal-akalan itu berlebihan. Buktinya, 50 tahun saya merokok saya tidak mengalami apa yang diduga oleh riset itu.

(FAREL)   Kamu tidak bisa seenaknya bilang begitu. Terserah kamu mau merokok, tapi para perokok pasif itu lebih besar terkena dampaknya?

(SADRA)  Kamu ini bagaimana? Tadi kamu bilang apa untungnya aku merokok, sekarang kamu bilang terserah. Lalu kamu bilang kalau perokok pasif itu lebih besar terkena dampak merokok. Kalau memang begitu, kenapa tidak merokok saja sekalian. Jadilah perokok aktif.

(FAREL)   Tidak semudah begitu main logikanya, Bung! Kamu tahu gak sih apa bedanya perokok pasif dan perokok aktif?

(SADRA)  ya jelas tahu, dong!

(FAREL)   Apa coba?!

(SADRA)  Begini, perokok aktif itu adalah perokok yang secara aktif membeli rokok sendiri. Sedangkan perokok pasif adalah mereka yang suka ditraktir perokok aktif. Orang begini ini, tidak membeli, tapi dapat jatah.

(FAREL)   Ah, ngaco kamu ini. Bukan begitu.

(SADRA)  Lhah, terus bagaimana?

(FAREL)   Perokok pasif itu, adalah mereka yang setiap hari aktif merokok. Kemana-mana bawa rokok. Orang yang seperti ini, merasa hidupnya tidak keren kalau tidak menenteng rokok. Tanpa sadar, rokok sudah menjadi berhala. Orang seperti kamu ini, sudah memberhalakan rokok. Makanya baca tuh sajaknya Taufik Ismail. Sedangkan perokok pasif adalah orang yang bebas dari ketergantungan asap rokok, tapi kena dampak asap karena ada orang-orang seperti kamu yang aktif merokok.

(SADRA)  Berhala? Ah saya tidak merasa menjadikan rokok sebagai berhala. Saya tidak merasa bergantung dengan rokok.

(FAREL)   Apa buktinya?

(SADRA)  Buktinya, saat aku puasa, aku tidak merokok tidak masalah. Saat naik kereta atau pesawat, aku juga tidak masalah kalau tidak merokok. Saat dengar khutbah Jumatan, saya juga tidak masalah meski tidak merokok. Saya sama sekali tidak merasa bergantung. Ini hanya persoalan suka dan tidak suka saja. Artinya, kalau aku suka merokok, sedangkan kamu tidak merokok.

(FAREL)   Kamu hanya mengalihkan persoalan.

(SADRA)  Lho, memangnya apa yang aku alihkan. Aku hanya menjawab bahwa perokok itu bukan orang yang memberhalakan rokok. Perokok bisa saja tidak merokok pada momen-momen tertentu. Baru setelah ada kesempatan, ia akan merokok.

(FAREL)   Tapi, rokok itu bukan budaya kita. Asal kamu tahu, ya rokok yang berbahan tembakau itu adalah tanaman yang berasal dari Benua Amerika. Sejarah tembakau awalnya digunakan penduduk asli Amerika untuk kegunaan medis. Sejarah orang asli Benua Amerika yang penuh dengan legenda dan mitos banyak terkait dengan tembakau. Ajaran-ajaran kepercayaan mereka juga bersangkutan dengan tumbuhan tembakau. Konon, asap tembakau dipercaya dapat melindungi mereka dari makhluk-makhluk halus yang jahat dan sebaliknya memudahkan mereka mendekati makhluk-makhluk halus yang baik. Orang asli Amerika yang bermukim di New World telah menghadiahkan daun tembakau kepada Christopher Columbus saat melintasi Lautan Atlantik untuk pertama kalinya pada tahun 1942. Seabad setelah itu, merokok telah menjadi kegilaan global, dan seterusnya memberi manfaat ekonomi kepada para pengusaha di Amerika Serikat.

(SADRA)  Terus?

(FAREL)   Di Indonesia, tembakau sudah di kembangkan sebelum zaman tanam paksa era Van Den Bosch. Pada periode 1870 hingga 1940, penanaman tembakau berkembang di tempat-tempat seperti Kedu, Kediri, dan daerah perkapuran antara Semarang dan Surabaya. Setelah itu Klaten, daerah sekitar Vorstenlanden, Besuki, dan Jember justru menunjukkan hasil paling memuaskan. VOC membuka perkebunan tembakau di daerah Kesultanan Surakarta dan Yogyakarta sejak tahun 1820. Di daerah ini perusahaan harus beroperasi dalam lingkungan feodal, sehingga amat menghambat pertumbuhan perusahaan perkebunan. Dengan penghapusan sistem lungguh dan apanage terjadi kemajuan yang berarti dalam bisnis perkebunan saat itu. Di daerah Besuki pengusaha asing membuka tanah berdasarkan erpacht dan dibagi-bagi kepada rakyat sebagai tanah garapan. Dengan kerja sama seperti itu rakyat turut memeroleh keuntungan serta memeroleh kesempatan meningkatkan kesejahteraannya.

(SADRA)  Wow. Aku tak sangka. Kamu malah lebih paham sejarah tembakau dari pada aku.

(FAREL)   Tak hanya itu, kawan. Pada tahun 1856, VOC melakukan penanaman tembakau secara meluas di daerah Besuki - Jawa Timur, dengan dilengkapi suatu balai penelitian yaitu besoekisch profstation pada tahun 1910. Hasil dari balai penelitian tersebut adalah menyilangkan dan mendapatkan jenis tembakau yang cocok di Nusantara. Jenis tembakau cerutu yang sekarang banyak ditanam di Besuki adalah hasil persilangan antara jenis Kedu dengan jenis Deli, yang merupakan hasil riset dari balai penelitian ini. Dua tahun kemudian, yakni pada tahun 1858, diadakan penanaman jenis tembakau cerutu lainnya di daerah Yogyakarta-Surakarta, tepatnya di daerah Klaten.

(SADRA)  Terus maksud kamu apa jelaskan sejarah panjang lebar begitu?

(FAREL)   Saya hanya mau jelaskan, biar kamu paham, bahwa merokok itu bukan budaya kita. Kalau budaya asli kita adalah makan daun sirih. Paham?!

(SADRA)  Kamu sekarang pakai celana jeans. Budaya mana itu? Rumahmu sekarang bukan lagi joglo, budaya dari mana itu? Kamu pikir teh yang kamu itu budaya mana sih? Makanan junk food yang suka kamu makan itu kamu pikir budaya mana? Apakah mbah moyang kamu suka makan burger, pizza, spageti? Mbah moyangmu itu makan tiwul. Padahal, ketela juga buka asli nusantara. Tomat juga bukan asli Nusantara. Termasuk kurma yang sering kamu makan saat bulan puasa itu. Terlalu naif kalau menakar makanan dan minuman hanya sebagai laku budaya. Dan asal kamu tahu juga, agama yang kamu anut itu, adalah agama impor dari luar. Itu artinya, sudah lama bangsa kita telah bercampur dengan budaya-budaya global.

(FAREL)   Lho, kok jadi bawa-bawa agama?! Apa hubungannya kebiasaan merokok dengan agama?

(SADRA)  Ya jelas banyak. Setiap hal, dapat kita hubungkan keberadaannya. Tinggal bagaimana dan dari mana kita melihat hubungan itu. Apalagi kamu tadi menyebutkan tentang rokok sebagai berhala. Menurut kamu, apa sih definisi berhala itu?

(FAREL)   Ah itu sih, gampang! Pokoknya, semua hal yang menjadikan kita lupa kepada Tuhan adalah berhala.

(SADRA)  Misalnya?

(FAREL)   Ya, banyak sekali. Misalnya pekerjaan, harta, kekuasaan, Termasuk rokok yang kamu hisap itu.

(SADRA)  Jadi, semua yang membuat kita lupa kepada Tuhan itu namanya berhala?

(FAREL)   Bukan hanya itu. Tapi semua yang kita puja dan kita jadikan tempat bergantung, itulah berhala. Seakan, tanpa hal itu, kita akan mati.

(SADRA)  Sudah? Hanya itu.

(FAREL)   Ya, aku kira itu saja.

(SADRA)  Begini, om ganteng. Jika semua yang dapat melupakan Tuhan itu disebut dengan berhala, saya setuju. Pertanyaan saya, kalau ada orang merenungkan keagungan Tuhan sambil menghisap rokok, apakah orang itu sedang memberhalakan rokok? Terus, kalau kamu sebut berhala itu sebagai tempat bergantung, silakan tanya kepada para perokok, apakah hidup mati mereka bergantung pada rokok? Kalau kamu menyebut kamu bisa hidup karena rokok, itu sama saja dengan kamu yang meyakini bahwa hidup dan mati kamu karena bukan rokok.

(FAREL)   Lho, kok malah diputar-putar?!

(SADRA)  Saya tidak memutar persoalan. Saya justru berangkat dari logika kamu, komandan! Jika memang berhala adalah yang kita jadikan sebagai sandaran hidup mati kita, maka saya setuju kalau ada perokok yang meyakini bahwa hidup mati mereka tergantung oleh rokok. Tapi, di sini masalahnya. Kalau kamu merasa bisa sehat-bugar, lantaran bukan merokok, itu juga namanya kamu melupakan Tuhan. Padahal, yang menjadikan kita ini sehat atau tidak, mati atau hidup, bukan karena rokok sekaligus bukan karena tidak merokok. Tapi semata-mata karena Tuhan. Kalau kamu tidak merokok karena takut terjangkit penyakit, ya sudah jangan merokok. Tapi, kalau ada orang yang merokok karena dirinya yakin tidak akan terpengaruh oleh rokok, ya kamu tak perlu repot kepada orang yang merokok.

(FAREL)   Tapi, om, asap rokok itu jelas-jelas mengganggu kesehatan. Itu namanya polusi udara.

(SADRA)  Bagaimana dengan knalpot mobil? Motor? Pabrik-pabrik? Apakah itu tidak menyebabkan polusi udara?

(FAREL)   Saya tidak mengatakan kalau knalpot mobil itu bukan polusi. Aku juga setuju kalau asap pabrik, asap knalpot adalah polusi. Dan itu sama bahayanya dengan rokok?

(SADRA)  Kalau memang sama bahayanya, kenapa pabrik mobil tidak ditutup? Kenapa pabrik-pabrik yang mengeluarkan asap dari cerobongnya tidak ditutup juga?

(FAREL)   Itu kan dampak lingkungan dari industri, kawan. Beda dong! Kalau pabrik mobil, motor, dan pabrik-pabrik lain yang mengeluarkan asap itu ditutup, maka akan banyak pengangguran.

(SADRA)  Lha kamu pikir, rokok itu tidak dibuat di pabrik? Kamu pikir tidak ada ribuan pekerja  yang bekerja di pabrik rokok? Kalau pabrik rokok ditutup, apakah tidak akan ada pengangguran? Belum lagi petani tembakau, kuli, sopir dan siapa pun yang bekerja di dalamnya.

(FAREL)   Ya, tapi kan rokok tidak memberikan dampak ekonomi bagi negara ini, sobat!

(SADRA)  Apa? Rokok tidak memberikan dampak ekonomi bagi begara ini? Kamu paham devisa negara, nggak sih?

(FAREL)   Ya jelas aku paham.

(SADRA)  Kamu tahu cukai rokok?

(FAREL)   ya jelas, aku paham.

(SADRA)  Kalau kamu paham, bagaimana pungutan cukai untuk rokok?

(FAREL)   Mana aku tahu? Aku kan bukan perokok.

(SADRA)  untuk urusan cukai, ndak ada urusan dengan perokok atau tidak. Tolong kamu dengarkan ya panglima. Sejak 2006, penerimaan negara melalui pungutan cukai hasil tembakau selalu meningkat. Dimulai dari angka Rp 40 triliun hingga mencapai 140 triliun pada tahun 2015. Penerimaan ini, terus bertambah seiring semakin tingginya beban cukai yang dituntut negara. Sementara, hingga hari ini, diskriminasi terhadap para perokok masih saja diabaikan negara. Asal kamu tahum, ya, dalam setiap bungkusnya para perokok telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi negara. Bayangkan, Rp 140 triliun jelas bukan uang yang sedikit. Uang yang didapat ini tidak main-main besarnya. Sekitar 10% penerimaan negara. Ini bukan sembarang pemasukan. Dan perokok selaku konsumen menjadi pihak yang berjasa memberikan pemasukan ini buat negara. Jadi, bisa jadi, fasilitas BPJS yang kamu terima, jalanan yang rapi, hingga layanan lain dari pemerintah, itu juga diambil dari hasil cukai itu. Dan para perokok itulah yang dengan nikmat dan ikhlas menyumbangkan cukai kepada negara ini.

(FAREL)   Lho, kalau ndak mau kasih cukai ke pemerintah, ya ndak usah merokok lah.

(SADRA)  itu bukan pertanyaan cerdas, om! Perokok tidak bisa berbuat banyak atas perlakuan pemerintah yang sangat diskriminatif itu. Para perokok adalah para penyumbang devisa melalui cukai. Tapi apa balasan pemerintah? Selama ini perokok selalu mengalami didiskriminasi. Dimana-mana dibuat kawasan tanpa rokok. Tapi anehnya ruang merokok tidak disediakan.

(FAREL)   Tapi kan ada banyak ruang khusus merokok, Om.

(SADRA)  Kalaupun ada, yang disediakan hanya ruang sempit 4×6 meter yang pengap dan sumpek. Tidak ada sirkulasi yang baik. Seakan para perokok adalah alien yang sekalian saja mati di ruangan itu. Tidak ada tempat duduk yang nyaman. Kalau pun ada asbak, hanya satu untuk dipakai ramai-ramai. Ini berbeda dengan yang dilakukan pemerintah Jepang. Di sana, peraturan rokok sangat ketat. Mereka yang merokok sembarangan dihukum berat. Tapi, keberadaan ruang merokok tersebar di banyak tempat publik. Ruang yang disediakan juga sangat manusiawi. Jelas tidak sebanding dengan ruang merokok yang ada di Indonesia.

(FAREL)   Tapi, kami yang tidak merokok itu punya hak untuk menghirup udara tanpa asap. Kami sebagai warga punya hak untuk merdeka dari kepulan asap rokokmu itu.

(SADRA)  Jika kamu punya hak untuk tidak merokok, kami juga punya hak untuk merokok.

(FAREL)   Lho kalau merokok kan jelas mengganggu orang yang tidak merokok?! Bagaimana sih kamu ini?!

(SADRA)  Itulah kenapa, pemerintah harus menyediakan ruang untuk merokok.

(FAREL)   Atau kita bagi saja, kepulauan untuk para perokok, dan kepulauan bagi yang tidak merokok.

(SADRA)  Boleh saja. Tapi kamu, dan semua kegiatanmu, jangan coba-coba minta proposal kepada para pengusaha rokok. Dan TV atau media manapun tak usah merengek untuk minta kepada pengusaha rokok supaya membuat iklan rokok.

(FAREL)   Keterlaluan.

(SADRA)  Saya mau tanya.

(FAREL)   Silakan

(SADRA)  Apakah bapak kamu merokok?

(FAREL)   Ya, merokok.

(SADRA)  Berapa usianya?

(FAREL)   hampir 70 tahun.

(SADRA)  Bapakmu masih merokok?

(FAREL)   Masih. Memang kenapa?

(SADRA)  Sebentar. Kamu kemarin habis melayat teman kamu yang kena kangker, betul?

(FAREL)   Ya, betul. Kenapa memang?

(SADRA)  Berapa usianya?

(FAREL)   Kalau tidak salah 35 tahun.

(SADRA)  Apakah dia merokok?

(FAREL)   Tidak.

(SADRA)  Kenapa bapakmu tidak mati duluan kalau memang dia perokok aktif? Padahal kata kamu, rokok itu berbahaya dan menyebabkan kematian?

(FAREL)   Lho, kamu kok nyumpahin bapak aku mati?! Kurang ajar kamu!

(SADRA)  Aku tidak sedang nyumpahin bapak kamu segera mati. Justru aku sedang menjelaskan fakta bahwa bapakmu yang perokok berat itu, sehat-sehat saja.

(FAREL)   Lalu apa hubungan dengan teman saya yang kena kangker itu?

(SADRA)  Teman kamu itu, mati karena kangker. Bukan karena rokok. Di sini saya hanya sedang menjelaskan bahwa mati dan hidup itu bukan karena rokoknya. Tapi dari bagaimana memandang kehidupan ini.

(FAREL)   Kamu tidak usah berkhutbah. Aku tidak percaya kepada orang yang khutbah tapi dia sendiri masih melakukan kemubaziran. Salah satunya adalah merokok. Buat saya, ustad-ustad yang masih merokok adalah orang yang omong doang. Mereka menganjurkan kebaikan, tapi mereka masih saja melakukan kesia-siaan.

(SADRA)  Jadi merokok itu sia-sia?

(FAREL)   Ya jelas! Anak kecil saja tahu.

(SADRA)  Apa buktinya?

(FAREL)   Tidak usah saya buktikan. Saya cukup menyebutkan satu hal saja.

(SADRA)  Misalnya?

(FAREL)   Hanya orang bodoh, yang membeli rokok lalu membakarnya. Itu adalah perbuatan sia-sia.

(SADRA)  Kamu lupa dengan persoalan cukai tadi? Bahwa setiap batang rokok itu sama saja dengan memberikan sumbangan cukai bagi pemerintah. Mana sia-sianya?

(FAREL)   Jelas untuk kesehatan, Om. Kamu menyia-nyiakan kesehatan kamu.

(SADRA)  kamu sendiri yang suka minum es teh manis, apakah tidak sia-sia?

(FAREL)   Lho memang kenapa es teh manis itu?

(SADRA)  Kamu baca saja apa bahaya es? Apa bahaya gula? Kalau kamu tahu, kamu akan mengerti bahwa yang kamu lakukan adalah sia-sia.

(FAREL)   Ah sudahlah, sampai kapan pun, kalian sebagai perokok tidak akan pernah mengerti. Kalau kalian kena penyakit, kalian baru tahu rasa.

(SADRA)  ya, sudah. Sampai kapan pun, kalian yang tidak merokok, juga tidak akan pernah tahu bagaimana nikmatnya merokok. Ini persoalan rasa yang tidak bisa dirasa kecuali harus dirasakan dan dinikmati.

(FAREL)   Bagi saya, perokok itu orang-orang yang tidak taat dalam beragama. Mereka masih suka berbuat sia-sia.

(SADRA)  Sia-sia? Silakan kamu berpendapat bregitu. Kadang kita lebih pandai melihat orang lain berbuat sia-sia, ketimbang melihat diri kita yang seringkali berbuat sia-sia. Yang jelas, kita tak dapat menghakimi cara atau jalan manusia dalam berhubungan dengan Tuhan, apalagi hanya menurut dugaan dan sangkaan kita sendiri. Setiap orang punya cara atau jalan sendiri-sendiri. Toh Tuhan tidak melihat kata-kata orang, melainkan mendengar suara hatinya. Mestinya kita sadar, bukan luaran semata yang menjadikan kita dilihat sebagai orang beriman, tapi apakah hati kita bersih atau kotor?

(FAREL)   Aku tetap benci dan tidak suka rokok.

SADRA)  Maafkan, aku yang masih merokok. Tapi aku tidak mau membenci kamu, juga siapa pun yang tidak merokok. 

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun